Selasa, 30 Desember 2014

MPASI Homemade Itu Menghemat Biaya Hidup


                Pengalaman berMPASI ria dengan membuat sendiri di rumah untuk kedua anak saya, memang pada akhirnya menuai manfaat yang banyak saya rasakan. Padahal dulu ketika mempraktikkannya untuk anak pertama sempat putus asa. Qowiyy tak begitu suka, apalagi itu tanpa gula dan garam. Maksimal 8 suap sendok teh saja bisa masuk mulutnya. Itupun harus sambil bernyanyi, bermain pesawat-pesawatan, dsb. Perlu waktu lama deh biar termakan olehnya. Sering tidak habisnya.  Tapi saya tetap sabar. Hingga suatu kejutan terjadi menggembirakan saya. Usia 11 bulan Qowiyy mulai lahap makan. Bahkan sampai sekarang. Sayur dan buah tetap doyan. Waktu sakit dan rawat inap pun tetap doyan makan. Alhasil, cepat sembuhnya. Dokternya geleng-geleng kepala.

                Lain Qowiyy, lain pula adiknya, Nasywah. Ketika MPASI tak ada menunjukkan masalah yang berarti.Usia 6-7 bulan makan puree buah sangat lahap. Lalu lanjut nasi tim saring dan nasi tim biasa juga sangat lahap meski tanpa gula dan garam. Seneng deh pokoknya. Makin semangat MPASI homemade. Namun, ketika usia setahun sampai 18 bulan, makan mulai susah. Masuk sih ke mulutnya, tapi tak sebanyak ketika MPASI. Untungnya, karena sudah terbiasa buah sebelumnya, ketika makan susah, buah masih mau banyak. Hati saya masih tenang. Baru deh, setelah usia 18 bulan, Nasywah doyan makan lagi. Bahkan sekarang di usianya 2 tahun 5 bulan, makan sayurnya juga lebih banyak porsinya. Suka dicemili ketika makan barengan nasi.

                Yang pasti, dampak MPASI homemade adalah anak jadi suka makan di rumah. Saya amati kedua anak saya tidak begitu suka makan beli di warung. Kalaupun mau hanya beberapa menu dan sering tak habis. Masak sayur bening begitu saja sama tempe goreng, anak-anak saya sudah doyan makan. Tak pernah repot masak. Asyik, bukan?

                Dan yang pasti, dimana-mana masak sendiri di rumah itu lebih hemat biaya. Lha menunya sayur bening. Hemat, bukan? Apalagi anak-anak sekarang tidak minum susu lagi di rumah. Sesekali saja kalau lagi bepergian jauh. Wow, minum air putihnya jauh lebih hebat lagi. Makan sayur dan buahnya tambah menggila pula. Pepaya bisa habis separuh berdua sama anak saya. Pisang sekali makan masing-masing ambil 2.  Jeruk sekali makan bisa 4 berdua. Oh ya, anak saya juga sangat jarang minta untuk jajan di luar. Apalagi sampai merengek, kecuali jika memang di rumah tidak ada apa-apa untuk dimakan.

                Apakah saya tidak pernah membelikan jajan di luar? Pernah, dong! Tapi tetap terbatas. Paling juga biskuit seringnya. Itupun sebulan paling habis tak sampai 50 ribu sama kue yang lain. Belikan roti tawar juga paling sebulan sekali. Beli es krim paling juga 3 bulan sekali. Kue cubit juga sebulan sekali rata-rata. Seringnya saya buatin ubi rebus, jagung rebus, singkong goreng, dan beli makanan tradisional (sawut, gemblong, gethuk, dsb).. Anak-anak malah lebih doyan. Hemat, bukan?

                Tak ada ruginya deh orang tua bergerilya praktik MPASI. Saya sampai sekarang juga masak hampir tak pernah pakai gula. Dampak kebiasaan MPASI dulu. Kalau garam pakai secukupnya saja. Tambah hemat lagi, kan? Jangan ragu deh untuk MPASI homemade. Yuk..



Minggu, 28 Desember 2014

Majulah, Tan!

           
Radar Bojonegoro, 21 Desember 2014
           Tanti tampak murung. Setiap hari begitu. Di sekolah juga tak ada raut muka bahagia. Di rumah, dia memilih untuk menyendiri di kamar. Ayah dan ibunya sangat khawatir.
            “Sayang, adakah yang membuatmu sedih?” tanya Bu Gina.
            Tanti memilih diam. Sepiring nasi di depannya belum dimakannya juga. Dia tak ingin membuat ibunya juga ikut sedih. Ketika ditanya ibunya sekali lagi, Tanti juga menggelengkan kepala. Lantas dia menuju kamar kembali. Terdengar sesenggukan dari kamarnya. Bu Gina tampak cemas.
            Malam harinya, selesai mengerjakan tugas sekolahnya, Tanti juga langsung ke kamar. Padahal biasanya dia ngobrol dulu bersama ayah dan ibunya. Tak seperti biasanya. Sudah 3 hari ini semenjak dia pindah ke sekolah yang baru.
            Bu Gina mengintip dari balik jendela kamar Tanti. Anaknya semata wayang sudah tertidur. Bu Gina masuk dan tak sengaja membaca buku harian Tanti yang masih terbuka. Ibu yang lembut dan penuh kasih sayang itu pun menangis.
            “Tan, hari ini mau ke sekolah kah?”
            “Iya, Bu!” jawab Tanti kurang bersemangat.
            Tanti pun menyiapkan diri ke sekolah. Dia anak yang rajin dan cerdas. Setiap hari tak pernah terlambat ke sekolah. Semua guru menyayanginya. Namun tidak dengan teman-temannya. Tak ada yang mau berteman dengannya.
            “Tan, nanti kamu mewakili sekolah ya ikut lomba pidato,” pinta wali kelasnya.
            “Saya, Bu?” tanya Tanti ragu.
            Wali kelasnya mengangguk. Nama Tanti juga diumumkan di papan madding sekolah. Teman-temannya di kelas mencibirnya. Tanti yang bibirnya sumbing takkan mampu memikat dewan juri. Dia pun takkan bisa berbicara dengan lancar karena tak percaya diri dengan bibir sumbingnya.
            Olokan itu membuat Tanti menangis. Padahal di sekolah lamanya dia tak pernah diperlakukan begitu. Padahal berbagai perlombaan pidato juga sudah beberapa kali dimenangkannya. Tapi, Tanti kali ini merasa kecil hati.
            “Jangan saya ya, Bu!” jawab Tanti sepulang sekolah kepada wali kelasnya.
            “Kenapa, Tan? Kamu sangat mumpuni di bidang ini. Meski baru masuk 4 hari ini, saya tahu kamu bisa, Tan!”
            Tanti tak kuat bicara. Air matanya meleleh dan dia buru-buru pamit pulang. Sesampainya di rumah, Bu Gina menyambutnya dengan hangat. Dipeluk erat Tanti dan dielus-elus punggungnya sampai Tanti tenang.
            “Tan, ada apakah?”
            Tanti belum menyahut. Lima menit dia juga masih diam. Lantas, ibunya membuka pertanyaan.
            “Kau gelisah dengan bibir sumbingmu, Nak?”
            Tanti terkejut. Bu Gina segera memeluk kembali Tanti. Pelan-pelan anaknya mengangguk. Menceritakan semuanya yang sudah terjadi selama ini di sekolah. Termasuk penunjukkannya mewakili sekolah untuk lomba pidato.
            “Nak, bukankah ini kesempatan baik?”
            “Iya, Bu. Tapi, teman-teman Tanti?”
            “Apakah nanti teman-temanmu akan menjadi jurinya?”
            “Nggak sih.”
            Bu Gina terus menyemangati Tanti. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Tanti bisa tampil dengan baik. Apalagi ini temanya pas sekali. Memaknai Tahun Baru. Peluang bagi Tanti untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan.
            “Gimana, Tan?” tanya wali kelasnya.
            Tanti menoleh ke ibunya yang sengaja hari itu mengantarnya ke sekolah. Pendaftaran lomba tingga hari itu. Tanti masih tampak ragu. Dia diam. Namun, nasihat ibunya masih terngiang. Tanti memandang kembali ibunya.
            “Majulah, Tan!” sahut Bu Gina.
            “Baiklah, Bu!” sahut Tanti pelan.

            Dan benar, Tanti menjuarai lomba pidato itu. Juri tak melihat bibir sumbingnya. Melainkan puas dengan caranya berpidato.

Akhirnya Sang Ibu Bertanya



           
                 Mengelola sebuah daycare memang menimbulkan rasa senang dan sedih dalam diri saya. Senang, karenanya saya bisa membantu orang tua dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan yang baik buat anaknya. Ya, meski sebenarnya takkan bisa menggantikan posisi orang tua di hadapan sang anak. Sedihnya, jika terkadang menjumpai orang tua yang seolah melepas begitu saja anaknya di daycare. Asal sudah dibawakan jajanan kesukaan anaknya, sudah!

                Ada seorang anak, sebut saja namanya Farid, usianya sudah hampir 3 tahun. Anaknya begitu aktif.  Perkembangan motorik kasarnya sangat bagus. Dia sudah bisa memanjat pagar pinggiran tangga, perosotan dengan gaya akrobatik yang suka membuat deg-degan pengasuh di daycare. Berloncatan dari satu kursi ke kursi lainnya juga bisa dilakukan dengan lincah. Bergelantungan apalagi. Farid anak yang pemberani. Pernah di daycare jatuh 2 kali hingga luka wajahnya, juga tak ada kapoknya. Untung ibunya tak marah ketika Farid kecelakaan di daycare. Dan karena itu pula, saya dan pengasuh menganggap bahwa ibu Farid mengerti tentang polah dan keaktifan gerak anaknya.

                Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pengasuh yang memegang Farid bercerita bahwa suatu hari ibu Farid bertanya,”Bu, Farid anak yang sangat aktif ya geraknya?” Nah lho? Pengasuh kaget, tapi tetap tersenyum. Sang ibu lanjut bertanya lagi,”Gitu tuh bisa berhenti sendiri nggak ya, Bu, geraknya yang banyak itu?”

                Ayo, bisa berhenti, tidak? Ya, wajar dong kalau anak bergerak aktif, yang penting tidak mengganggu dan merusak yang ada. Dalam artian jika masih sifatnya bukan destruktif ya tidak mengapa.  Jatuh, luka, dan sakit? Itu juga wajar. Konsekuensi yang mesti diterima. Namun, ada kekhawatiran dalam benak ibunya Farid. Khawatir Farid susah untuk diam dan konsentrasi sejenak untuk belajar, dsb.

                Pengasuh Farid di daycare tetap tersenyum. Farid tidak seperti yang dikhawatirkan ibunya. Dengan program mendongeng setiap hari untuk Farid, meski awalnya Farid acuh dan tak mau mendengarkan, kini meski belum bisa bertahan lama, Farid mulai melirik buku dongeng yang dipegang pengasuhnya.Mulai bertanya tentang gambar yang dilihatnya. Mulai ada perhatian untuk fokus sejenak. Ibunya senang mendengar kabar itu.

                Pengasuh lebih senang lagi. Akhirnya sang ibu bertanya soal anaknya. Sehari-hari Farid dulunya diantar dan dijemput sama pengasuhnya yang di rumah menuju dan pulang dari daycare. Sejak pengasuhnya tidak bekerja lagi, ibunya lah sendiri yang mengantar dan menjemput meski lewat magrib. Bisa jadi kebersamaan Farid bersama ibunya kurang, sehingga wajar ibunya bertanya seperti tadi. Seperti apa Farid kurang detail mengenalnya.

                Untunglah, syukurlah, sang ibu akhirnya bertanya. Dengan jawaban pengasuh daycare, ada harapan Farid ke depannya akan jauh lebih baik lagi. Ada andil dan turun tangan orang tuanya yang lebih intensif dan maksimal untuk tumbuh kembang Farid.

                 

Rabu, 10 Desember 2014

Kembali Berteman

radar bojonegoro 23 nopember 2014

            Sudah 2 hari Rido dan Deni tidak saling menyapa. Masalahnya sepele sekali. Deni lupa tidak mampir ke rumah Rido ketika berangkat sekolah. Rido marah besar dan tak lagi mau berteman. Biasanya, dua bocah ini memang berjalan kaki bersama-sama ke sekolah. Demikian juga ketika pulangnya.

           Di kelas keduanya saling diam. Deni berusaha mendahului untuk menegur hari ini. Rido tak menyahut, malah memalingkan muka. Ketika ada tugas kelompok, biasanya mereka selalu bersama. Kali ini Rido memilih teman lainnya. Deni sedih karena Rido tak peduli padanya.

            “Deni, Rido mana? Biasanya dia sering belajar ke sini kalau sore ngerjain tugas sama kamu,” tanya ibu Deni. Bu Fifi namaya.
            “Rido marah, Bu, sama Deni. Gara-gara beberapa hari yang lalu Deni tak bisa mampir ke rumahnya berangkat sekolah sama-sama.”
            “Emang kenapa kamu tak mampir, Nak.”
            “Ketika itu di tengah jalan sebelum ke rumah Rido, Deni harus menolong seorang nenek buta yang mau ke tukang sayur. Daripada nyasar Deni tolong. Jalannya kan nggak nglewati rumah Rido.”
            Bu Fifi tersenyum kagum. Perempuan berkacamata itu mengingatkan agar besok tetap menyapa Rido lagi. Deni mengangguk.
            “Aduh!” tiba-tiba Rido berteriak keras sekali. Lalu tangisnya pecah membubarkan pekerjaan teman-temannya yang lain di ruang komputer sekolah.

            Kelas riuh dan ramai. Anak-anak ketakutan melihat yang dialami Rido. Pak guru datang dan melihat kejadiannya. Rido kesetrum. Ketika guru menjelaskan di depan, Rido asyik membaca komik sendiri. Tak sengaja kakinya menyentuh colokan listrik di tembok. Rido kesakitan. Karena kaget dan tak sanggup menahan, tubuh Rido jatuh ke lantai. Tangannya terbentur meja dan memar.

            “Adakah yang mau membantu bapak ambilkan obat salep di UKS untuk memarnya Rido.”
            “Saya mau, Pak! Salep saja?” sahut Deni.
            “Sekalian obat merahnya juga ya. Sepertinya ada yang tergores sedikit tangannya. Ada darahnya.”

            Deni segera menuju UKS. Dibantu petugas UKS, Deni bisa membawa salep dan obat merah buat Rido yang kesetrum baru saja. Deni pun membantu gurunya mengoles salep ke tangan Rido. Tampak serius Deni membantunya. Kaki yang kesetrum sudah diobati Pak guru.

            “Biar saya bantu, Pak, memapah Rido duduk lagi di kursinya,” Deni menawarkan bantuan lagi. Teman-teman yang lain duduk ke tempatnya semula dan mengerjakan tugas pelajaran komputernya. Setelah Rido duduk nyaman, Deni pun duduk di kursinya sendiri.

            Keesokan harinya Rido tak masuk sekolah. Deni tampak sedih. Ketika mampir di rumah Rido, orang tuanya berkata kalau Rido masih sakit kakinya. Sepulang sekolah, Deni mampir lagi. Kali ini Deni menjenguk Rido. Dibawakannya es krim kesukaan Rido yang dia beli dari uang sakunya.

            “Ini buatmu, Rido. Moga kau senang es krimnya.”
            Rido tersenyum bahagia. Tak menyangka Deni begitu baik kepadanya. Deni tak marah meskipun beberapa hari diabaikannya. Rido malu.
            “Aku pulang dulu, ya, Rido! Ntar kalau sudah sembuh kita main sama-sama lagi. Berangkat dan pulang sekolah lagi.”
            “Kamu masih mau ke sekolah bareng aku?” tanya Rido.

            Deni mengacungkan jempolnya. Keduanya tersenyum dan saling berjabatan tangan. Siang itu Rido juga tahu alasan beberapa hari yang lalu Deni tak mampir ke rumahnya. Rido mengerti. Deni bahagia karena teman baiknya sudah mau berteman dengannya lagi.


            Kesetrum membuat Rido sadar. Dia bisa kembali berteman dengan Deni yang telah menolongnya. 

Senin, 08 Desember 2014

Dari Baby Sitter Sampai Jadi Owner

Siera Ngangi

                Liku-liku perjalanan hidup setiap orang memang beda-beda. Setiap problematika senantiasa hadir di sela-selanya dengan kadarnya masing-masing. Manusia senantiasa berpikir keras menyelesaikannya apapun pekerjaannya.

                Siera Ngangi pun mengalami. Bahwa yang namanya hidup memang butuh pengorbanan. Apalagi ketika apa yang dicita-citakan tak menjadi kenyataan. Kecintaannya pada tari ballet membuat Siera Ngangi bermimpi menjadi penari yang professional tari ini. Namun, impian itu belum kesampaian. Lantas, murung dan berhenti di tengah jalan kah perempuan yang dalam usinya 18 tahun sudah berani berbisnis ini?

             Tidak! Siera Ngangi memang belum menjadi penari ballet professional, namun kepiawaiannya menari disalurkan menjadi guru tari ballet. Tercetuslah ide membuka sanggar tari. Tak mudah lho Siera Ngangi memantapkan membuka sanggar ini! Profesi baby sitter pun pernah dijalani Siera Ngangi semasa SMA dulu di Canada. Apakah Siera Ngangi malu? Tidak. Justru Siera Ngangi sangat mencintai anak-anak yang diasuhnya. Hasil dari pekerjaan inilah yang dijadikannya modal mendirikan Stefie’s House of Creativity (SHOC). Bekerja sambil sekolah sudah biasa bagi Siera Ngangi. Termasuk ketika SHOC sudah berdiri. Otomatis, sambil kuliah, Siera Ngangi mengelola sanggar ini. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dari waktu ke waktu, perkembangan SHOC sangat menakjubkan. Berbagai apresiasi positif disematkan untuk sanggar ini karena telah mampu mengakomodasi bakat anak di bidang tari.

                Bahkan kini kesibukan Siera Ngangi bertambah. Kepeduliannya terhadap dunia anak-anak tak berhenti begitu saja dengan dia menjadi owner SHOC. Bisnisnya merambah ke dunia pendidikan anak usia dini. Pengalamannya melakoni hidup dengan kemandirian berhasil melabuhkan dirinya di KiwiKids Preschool dan Kindergarten. Sebagai owner lembaga pendidikan ini, Siera Ngangi berharap bahwa keberadaan sekolah ini mampu memberikan andil bagi tumbuh kembang anak yang maksimal. Pendekatan Montessori yang diterapkan di KiwiKids Preschool dan Kindergarten ini diharapkan mampu melecut anak tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan berkarakter.


          Muda dan berkarya? Siera Ngangi bisa. Rela dicap sebagai perempuan rumahan pun tak menyurutkan semangatnya menggarap bisnisnya di usianya yang masih belia. 

Kamis, 04 Desember 2014

Jangan-jangan Anda Koruptor!

Zeti Arina

                “Bebaskan negara dari koruptor!”

                Sering dengar atau membaca tulisan seperti kalimat di atas? Baik yang disuarakan lantang para demonstran atau cukup bisa Anda lihat di spanduk-spanduk yang mereka bawa. Keberadaan koruptor memang harus disapu bersih di negara ini. O, o. Apa sih definisi koruptor? Orang yang memakai uang negara/rakyat untuk kepentingan pribadi tanpa izin? Ya, benar sekali. Namun, gelar koruptor tak melulu tersemat pada orang yang demikian, yang banyak digembar-gemborkan di media massa dan elektronik hingga terang-terangan disebut koruptor. Awas! Jangan-jangan Anda pun koruptor!

                Kok bisa? Zeti Arina, seorang konsultan pajak sekaligus ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) wilayah Jawa Timur menerangkan panjang lebar soal koruptor tak kentara ini. Hal ini terkait erat dengan prosentase membayar pajak di Indonesia yang masih tergolong rendah.  Masih banyak warga Indonesia yang wajib pajak tidak membayar pajak.

                Ada banyak penyebabnya mengapa hal ini terjadi. Adanya peraturan soal perpajakan yang cukup rumit sehingga warga jadi enggan menghitung dan membayar pajak. Ada juga yang memang tidak tahu bagaimana seharusnya membayar pajak. Apapun itu, fakta ini menjadi landasan bagi Zeti, CEO Artha Raya Consultan untuk senantiasa semangat mengedukasi warga agar melek pajak. Bahwa pajak tak seseram yang dikabarkan orang. Pajak banyak manfaatnya, termasuk kembali kepada si pembayar pajak itu sendiri.

                Tak ingin bukan Anda disebut koruptor gegara tak sadar pajak dan tidak membayarnya? Mulai sekarang, apapun profesi dan pekerjaan Anda, entah penulis, pebisnis, pegiat UKM, karyawan, pemilik perusahaan, dsb tunaikan pajak Anda. Bahkan ketika Anda menjadi pengunjung restoran pun jangan protes jika tagihannya membengkak. Itu pajak, lho! Nah, kalau bingung menghitungnya, konsultan keuangan bisa membantunya. Daripada kena denda dan sanksi yang nilainya malah lebih besar lagi jika ketahuan nantinya. Dan ini sering terjadi. Sengaja tidak melapor atau melapor tapi salah pencatatan malah akhirnya menjadikan seseorang terkena denda pajak.


                Siap membayar pajak? Iya dong! Ehm, malu disebut koruptor gara-gara tak bayar pajak. Belajar tentang pajak kini lebih mudah. Banyak edukasi dan penyuluhan yang dilakukan konsultan pajak. Curhat dengannya bisa menyelesaikan masalah. Jadi, tunggu apa lagi? Bayar pajak, yuk!

Kiat Menghemat Pengeluaran Keuangan Keluarga


                “Yah, uang di dompet bunda sudah habis nih! Tinggal seribu, dua ribu.”

                Pernah mengalami hal demikian padahal belum akhir bulan? Jatah bulanan sudah habis? Oh tidak, pusing dong kepalanya? Minta suami lagi deh untuk kebutuhan sampai akhir bulan? Nah, bagaimana agar hal ini tidak terjadi?

                Hal pertama yang harus dilakukan memang mendata anggaran biaya hidup sebulan. Anggaran ini tentu saja berdasar kebutuhan pokok dan lainnya yang memang selalu ada di setiap bulannya. Seperti kebutuhan makan, terkait rumah (litrik, air, dsb), transportasi, infaq, dsb. Hitung semuanya sesuai kebiasaan dan jumlahkan semua. Maka akan nampak bilangan besarnya. Setelah itu eksekusi sesuai dengan yang sudah dianggarkan. Saya kira semuanya sudah paham dengan hal ini semua.

                Namun, ada lho beberapa cara pada akhirnya malah menjadikan anggaran biaya hidup sebulan itu jadi bersisa, alias bisa ditabung setelahnya, meskipun sebelumnya sudah dianggarkan tersendiri untuk nominal menabung ini. Apa saja?

                Ini terkait dimana Anda berbelanja kebutuhan sehari-hari. Berbelanja di penjual grosir tentu akan bisa lebih menghemat. Sebisa mungkin hindari berbelanja kebutuhan itu sedikit demi sedikit, apalagi belinya di warung tetangga. Harganya sudah naik. Berbeda jika Anda berbelanja langsung banyak sekaligus kebutuhan sebulan di penjual grosir. Sekali jalan, uang pun bisa lebih dihemat.

                Nah, sekarang jika keluarga Anda adalah pecinta buku. Apa yang bisa dilakukan agar biaya membeli buku tak membengkak bahkan bisa dihemat. Membeli buku bekas, sungguh tak ada salahnya. Toh isi buku tak pernah basi. Membeli buku lama yang biasanya diobral murah pun tak menjadi masalah. Wawasan Anda dan keluarga tetap bertambah, bukan?

                Selanjutnya, soal biaya transportasi. Jika jarak antara rumah dan tempat tujuan bisa ditempuh dengan jalan kaki/bersepeda, tak ada salahnya dong mencoba melakukannya. Misalkan datang ke pengajian tetangga. Jika jalan kaki cukup 10 menit mengapa harus naik motor? Jika ke tukang sayur cukup 5 menit jalan, mengapa harus naik motor juga? Kecuali jika memang waktunya mendesak sekali. Hemat bahan bakar, bukan? Otomatis bakalan nggak sering-sering ke pom bensin untuk membelinya.

                Terakhir, mengenai penggunaan air. Anda habis mencuci baju misalnya, sedangkan setelahnya Anda akan membersihkan lantai kamar mandi. Menggunakan bekas air mencuci baju untuk membersihkan lantai kamar mandi, bisa jadi alternatif untuk menghemat penggunaan air. Atau air bekas nyuci baju untuk membasahi tanah kering di halaman. Anda tidak perlu pakai air baru kan untuk menyiram halaman?


                Berhemat bukan berarti pelit dan irit ya. Namun, berhemat adalah mengakali bagaimana yang masih bisa dipakai ya dipakai, bagaimana menyiasati kebutuhan dengan cara lain tapi tetap terpenuhi. 

Kenalkan Allah di Setiap Kegiatan Anak


                Anak Anda yang masih balita sudah mengenal Allah? Sudah hafal asmaul husna? Ehm, di sekolahnya diajarkan dan dihafalkan ya? Wajar dong kalau hafal? Apalagi jika orang tua juga mengulanginya atau sengaja mengenalkan asmaul husna ini di rumah.

                Saya pun demikian halnya. Di setiap kegiatan anak berusaha mengenalkan Allah kepada mereka. Ketika makan, misalnya. Adakalanya anak nyeletuk,”Ih, nggak mau tahu ah!” Ketika itu saya mengingatkan,”Siapa ya yang memberikan tahu?” Anak saya langsung diam. Mengapa? Karena sebelumnya setiap makan saya selalu berkata,”Lauk ini Allah yang kasih. Allah Ya Wahab. Bersyukur masih dikasih lauk seperti nama Allah, Ya Syukur!”

               Ya, nggak serta merta langsung paham sih, tapi dengan selalu menyertakan Allah di setiap kejadian yang dialami anak, lambat laun anak lebih mengenal Allah. Ya, nggak mesti juga sih anak langsung diam. Adakalanya protes juga jika tak cocok lauknya, namun dengan menunjukkan bukti bahwa di tempat lain ada yang tidak bisa makan, anak akan tumbuh empatinya. Meski tak sesempurna yang kita harapkan. Tapi, mengenalkan Allah tak bisa lantas berhenti.

                Lewat permainan juga bisa lho! Ketika itu, saya menyiapkan mainan orang-orangan dari kertas dengan tinggi yang berbeda-beda. Anak saya menyusunnya dengan memasukkan benang ke lubang di tangan tiap orang-orangan tersebut. Qowiyy berhasil menyusun orang-orangan tersebut dari yang paling pendek ke yang paling tinggi.

                “Yang paling pendek yang mana, Mas?” tanya saya.
                Qowiyy pun menunjukkan dengan tepat. Demikian juga untuk orang-orangan yang paling tinggi. Qowiyy tahu dan mengerti.
                “Adakah yang lebih tinggi dari orang-orangan yang paling tinggi itu, Mas?”
                “Tinggian adik!”
                “Yang lebih tinggi dari adik?”
                “Qowiyy deh!”
                “Kalau Qowiyy sama ayah tinggian siapa?”
                “Ayah lah!”
                “Yang lebih tinggi dari ayah?”
                “Pohon!”
                “Yang lebih tinggi dari pohon?”
                “Awan yang ada di langit, Bunda!”
                “Terus, yang lebih tinggi dari awan?”
                Qowiyy terdiam seolah berpikir. Lalu, tiba-tiba dia menjawab,”Allah yang paling tinggi!”

                Saya kaget sekaligus kagum. Begitukah yang dipikirkan Qowiyy? Padahal selama ini tak pernah tahu kalau Allah Maha Tinggi. Saya hanya menjelaskan setiap saat bahwa awan, langit, bumi, pohon, manusia, dsb adalah Allah yang menciptakannya. Tak tahu saya bagaimana logika sulung saya bisa sampai ke sana.


                Intinya, libatkan senantiasa Allah dalam kegiatan anak. Jiwanya akan mengenali dan senantiasa mengingatnya. Bukankah iman kepada-Nya adalah bekal segala-galanya?

Selasa, 02 Desember 2014

Permainan “Di mana Aku Berada?” untuk Melatih Kemampuan Klasifikasi Anak

                Anak-anak suka bermain. Bahkan dengan bermain, banyak hal positif yang didapatkan anak. Tak sekedar secara kognitif, namun lebih dari itu karakter positif anak juga bisa dibangun dengan permainan. Sebagai contoh permainan “Di mana Aku Berada” yang beberapa waktu yang lalu saya lakukan untuk anak-anak.

                Bagaimana cara mainnya? Sebelumnya siapkan terlebih dahulu bahan-bahan yang dibutuhkan. Saya menyiapkan beberapa gambar benda yang biasanya ada di kamar tidur, ruang tamu, dapur, tempat jemuran, dan kamar mandi. Ya, ini sesuai dengan kondisi rumah saya. Sangat kontekstual. Orang tua bisa menyesuaikan sendiri dengan kondisi rumahnya masing-masing.

                Ada gambar kasur, bantal, guling, almari baju, dsb untuk benda-benda di kamar tidur. Ada sofa, karpet, rak buku, dsb untuk benda-benda di ruang tamu, dst. Gambar bisa menggambar sendiri atau mencari di internet lalu diprint, atau bisa juga foto langsung lalu dicetak. Terserah saja. Lalu campur semua gambar tersebut. Selanjutnya, siapkan kertas agak besar/papan yang masing-masing sudah ditulisi “kamar tidur, ruang tamu”, dst. Tata rapi di lantai atau di dinding. Jika permainan dilakukan di dinding maka gambar benda-benda tadi dilengkapi dengan alat perekat agar bisa menempel di kertas/papan yang dipasang di dinding. Saya sih mainnya di lantai saja.

             Selanjutnya, jelaskan instruksinya kepada anak. Bahwa anak harus menempatkan gambar di tempat yang sesuai. Karena anak saya belum bisa membaca, saya berikan petunjuk, bahwa kertas ini untuk benda-benda yang ada di dapur (sambil menunjukkan tulisan “dapur” yang ada di kertas/papan) dst. Lalu, biarkan anak mengambil satu per satu gambar dan menaruhnya di tempat yang benar. Tak ada kendala berarti bagi anak sulung saya yang hampir 5 tahun meski belum membaca. Bagi adiknya yang 2 tahun 3 bulan, awalnya agak susah. Saya tak membantunya langsung. Saya memintanya untuk meminta tolong kepada kakaknya untuk membantu.



                “Mas, gayung di mana? Di kamar mandi ya?”
              “Ya, tuh kamar mandinya!” sahut sulung saya sambil menunjuk kertas/papan bertuliskan “kamar mandi”. Adiknya pun menaruh gambar gayung di sana. Tak ada kesulitan bagi anak kedua saya untuk menaruh gambar benda yang lain setelah semua kertas/papan terisi minimal 1 gambar benda. Anak saya bisa mengklasifikasi sendiri.

                Mudah,bukan, cara bermainnya? Permainan ini memang sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan klasifikasi anak. Semakin diasah dengan berbagai jenis permainan dan kegiatan yang menarik, kemampuan ini akan sangat bermanfaat bagi anak nantinya. Anak semakin peka mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Kemampuannya memilih dan memilah sudah terasah, dan tentunya di zaman yang makin deras arus informasi seperti sekarang ini, kemampuan ini sangat dibutuhkan. Anak takkan ragu lagi untuk berkata “tidak” manakala diajak temannya untuk tidak sholat, misalnya.

                Permainan ini juga mampu mengasah kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi terutama jika dimainkan bersama-sama. Kakak menolong adiknya, dan adik bisa dengan baik bertanya kepada kakaknya. Apalagi jika ini diterapkan di lingkup yang lebih luas dan banyak anak (tentu didukung media yang cukup banyak juga) maka permainan ini akan lebih seru.


                Mengasah kemampuan klasifikasi anak sejak dini akan bermanfaat di kemudian hari. Permainan sederhana ini selain menyenangkan, juga bisa menstimulus kemampuan ini. Selamat mencoba!

Menikah Tak Sekedar Cinta


                Menikah tanpa cinta sebelumnya? Bisakah? Ehm, mungkin sebagian besar bilang tidak mungkin nikah tanpa cinta. Iya sih, kan cinta itu pondasinya. Cinta untuk siapa?

             Menikah memang butuh rasa cinta. Namun, tentu saja rasa ini bisa dipupuk setelah menikah tentunya. Dan untuk menumbuhkan rasa cinta ini perlu perjuangan yang luar biasa, bahkan jauh sebelum menikah. Persiapan  untuk memupuk dan menumbuhkan cinta ini lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu sebelum rasa ini ada nantinya di bahtera rumah tangga.

                Menikah butuh uang? Iyalah! Namun, jangan pernah khawatir soal uang ini. Uang bisa dicari. Bisa diusahakan. Istri menyemangati suami mencari nafkah halal tentu akan menumbuhkan rasa cinta tersendiri. Bagaimana tidak? Sebelum berangkat kerja istri menyiapkan semua kebutuhan kerja suami. Peluk dan cium mengiringi. Suami kerja semangat tiada henti. Uang hendaklah jangan dirisaukan lagi. Ada banyak jalan halal untuk mendapatkannya. Bahkan bisa menyemai cinta lebih dalam lagi. Bagaimana jika istri bekerja? Uang siapa itu? Untuk apa uang yang didapat istri? Membincangkannya dengan suami dengan pikiran dan hati terbuka tentu akan didapatkan keputusan yang mendamaikan hati.

                Menikah butuh fisik yang kuat. Bukan ketika menikah saja, namun setelahnya juga. Dan fisik yang kuat didapatkan dari kebiasaan baik justru jauh sebelum menikah. Olahraga 30 menit setiap hari akan membuat tubuh menjadi bugar. Kekuatan fisik penting manakala seorang perempuan menjadi istri maupun ibu nantinya. Mendidik anak bukanlah perkara mudah. Fisik akan banyak terkuras dalam hal ini. Menjadi istri demikian halnya. Tak ingin bukan terlihat loyo dan lemas di hadapan suami? Kalau sudah lemah begitu, bagaimana cinta akan bersemi?

                Menikah juga memerlukan kesiapan yang satu ini. Apakah itu? Kesiapan mental. Maksudnya adalah bahwa setiap diri yang akan menikah harus mampu memupuk rasa saling mengerti. Rasa inilah yang akan menjadikan pasangan nantinya mampu berkomunikasi dengan baik sehingga membangun komitmen berumah tangga menjadi lebih mudah. Tak semudah yang dibayangkan soal memupuk rasa saling mengerti ini. Yang pertama harus dilakukan setiap diri yang mau menikah/sudah menikah adalah bisa melepaskan ego diri. Membuka diri dari A sampai Z tak ada yang tersembunyi. Demikian juga dengan pasangan. Manakala masih ada rasa lebih sempurna atau lebih baik dari pasangan, maka ego itu masih melekat. Dan ini justru tak akan menjadi perekat, namun penghalang cinta itu akan tumbuh. Parahnya lagi, jika hal ini terus berlanjut dan berlangsung, maka kebaikan sedikitpun dari apa yang dibisai pasangan tak menjadi ada artinya lagi. Lalu, buat apa membina rumah tangga?

                Lantas, bagaimana agar bisa antar pasangan bisa saling terbuka dan tercipta komunikasi yang efektif? Ada 3 ketrampilan dasar yang mesti dilatih oleh tiap pasangan. Mendengar aktif. Di sini tiap pasangan mendengar dengan penuh hikmat apa saja yang dikatakan dan dilakukan pasangannya. Tujuannya sederhana, agar bisa menemukan titik temu atas persepsi yang mungkin berbeda. Misalkan soal kebersihan. Bisa jadi antara istri dan suami ada standar yang berbeda soal hal ini. Bagi istri, bersih itu jika rumah dipel tiap hari, sedangkan bagi suami mungkin bersih itu cukup disapu saja rumah yang ditempati. Karena tak sepaham, maka jika tidak ada kemampuan mendengar aktif ini, sangat mungkin terjadi istri ngomel-ngomel manakala rumah tak dipel sehari saja. Jembatani hal seperti ini dengan menjadi pendengar aktif.

                Ketrampilan kedua adalah merasa dan menerima. Mendengar aktif akan memunculkan jiwa tiap pasangan untuk merasa. Untuk kasus tadi, istri akan merasa, jika dipel setiap hari ada lelah yang dirasa atau membutuhkan waktu untuk melakukannya. Suami juga merasa kalau tidak dipel setiap hari akan memungkinkan rumah terjangkiti kuman penyakit. Akhirnya, keduanya bisa saling menerima dan berdiskusi bagaimana seharusnya.

                Dan ketrampilan dasar yang terakhir adalah melakukan respon positif. Nabi Muhammad telah memberi bukti nyata soal respon ini. Masih ingat, bukan, bagaimana perlakuan penduduk Thaif kepada Nabi di babak perjuangan dakwah beliau? Nabi diolok-olok, dilempari batu, dihujani kotoran hewan, dsb. Sampai-sampai Fatimah tak tega dan Jibril ingin menjatuhkan gunung untuk membalas perlakuan meraka. Namun, Nabi memiliki ketrampilan mendengar aktif, merasa dan menerima dengan kondisi penduduk Thaif kala itu. Karenanya, respon yang keluar dari Sang Nabi pun begitu luar biasa. Nabi malah mendoakan penduduk Thaif. Siapa tahu dari mereka nantinya akan lahir generasi yang akan mencintai Allah dan takut kepada-Nya. Respon yang benar-benar positif. Dalam berumah tangga demikian halnya.

                Menikah memang tak sekedar cinta. Banyak hal yang perlu disiapkan sebelumnya bahkan ketika sudah menikah pun harus dilatih dan dipupuk terus-menerus.