Senin, 21 Oktober 2013

Kecil-kecil Sudah Jadi Pemimpin, Apalagi Nanti

Inilah Qowiyy ... sang pemimpin sekarang dan nanti

Pemimpin itu visioner. Paling tidak ini yang saya pahami dari seorang kepala sekolah yang pernah saya kenal. Beliau berkata,”Tahun pertama kepemimpinan saya harus ada siswa yang lulus dengan nilai matematika 10.” Abdullah Gymnastiar menegaskan pula bahwa visioner itu memiliki strategi yang tepat, dapat membaca potensi dan menyinergikannya serta mampu memotivasi. Bagaimana agar anak saya, Qowiyy dipanggilnya bisa berjiwa demikian? Ini dia yang selama ini saya lakukan.
“Mas, habis mandi sore ngapain?”
“Baca Quranlah, terus baca buku.”
“Kenapa suka baca Quran dan baca buku?”
“Kan Qowiyy bisa. Qowiyy suka baca buku.”
“Biar bisa apa lakukan itu?”
“Masuk surga lah! Biar dapat bintang dari bunda juga.”
O, o. Qowiyy visioner. Dia tahu kesukaannya dan dia tahu mengapa dia melakukan hal itu. Selamat, Nak!

Lalu, pemimpin itu kreatif dan inovatif. Kehidupan dunia yang semakin menggila dan global menuntut seorang pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah secara kreatif dan cara yang tak terduga. Tidak stagnan, senantiasa berpikir dan berpikir. Sesungguhnya, secara fitrah, anak itu kreatif dan inovatif. Sejak kecil dia sudah layak disebut pemimpin. Tugas orang tua hanya mengarahkan dan membimbingnya. Tips saya sederhana, biarkan anak bereskplorasi dengan bebas. Ketika mewarnai sebuah bunga dengan mahkota yang banyak saya membiarkan Qowiyy memilih warnanya dengan bebas. Alhasil terciptalah bunga sapta warna. Saya acungi jempol dan Qowiyy tersenyum bahagia.

Ehm, apalagi ya? Oh ya, pemimpin itu mudah beradaptasi. Maksudnya tidak hanya bisa bergaul saja lho, namun bisa menempatkan diri. Jika salah mau diluruskan, jika benar haknya untuk diikuti. Sebuah percakapan Qowiyy dengan adiknya berikut ini membuat saya bangga.
“Adik, nggak boleh mandi sama-sama. Harus antri Adik! Mas Qowiyy dulu. Malu!”
“Kenapa Mas?” tanya saya.
“Kan bunda mandinya juga sendiri. Kan adik perempuan, nggak baik mandi sama-sama.”
He,he. Benar juga. Namun, suatu hari ketika saya memandikan adiknya yang masih setahun usianya, Qowiyy tiba-tiba ikutan masuk di kamar mandi. “Mas Qowiyy!” sapa saya dengan nada melenggang. “Harus antri ya Bunda?” Keren, bukan?

Selanjutnya, pemimpin itu memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi. “Mintalah fatwa pada dirimu sendiri”. Kata bijak dari sang nabi ini yang selalu menginspirasi. Dan ini pula yang saya stimulus terus terhadap Qowiyy. Saya suguhkan kisah menarik ini, pengalaman saya menumbuhkan kecerdasan ini.
“Bunda, ntar kalau ikut bunda ngajar ibu-ibu Mas Qowiyy boleh nggak mainan gelas?”
“Ehm, gimana lho?” saya balik bertanya.
“Nggak boleh ya, ntar bisa-bisa gelasnya pecah. Ntar lantainya kotor karena kena air yang tumpah.”
Saya tersenyum dan berkata,”Hebat Nak!”
“Boleh nggak Mas Qowiyy main puzzle?”
“Ehm, gimana lho?”
“Boleh lah, kan biar pinter. Ntar mainnya sama-sama adik ya.”
Qowiyy bisa memimpin diri sendiri sebelum memimpin orang lain karena dia terbiasa meminta fatwa pada dirinya sendiri.

Tentu, usaha saya agar ciri-ciri pemimpin yang sudah ada pada diri Qowiyy terus berlanjut sampai nanti harus senantiasa saya pupuk. Pemberian kasih sayang yang tepat, dukungan doa yang tiada henti, serta seperangkat nutrisi yang mampu menjaga fisik dan akalnya senantiasa dalam kondisi ready. Lucu jika pemimpin gampang sakit-sakitan. Aneh jika seorang pemimpin juga berotak “dodol”. Pemberian makanan yang sehat selalu menjadi perhatian saya. Sayur dan buah harus senantiasa menjadi menu hariannya. Bagaimana dengan asupan akal? Memasukkannya di sekolah yang bagus serta merangsang otaknya dengan permainan edukatif di rumah juga tak luput dari keseharian saya mendampingi Qowiyy, bocah 3 tahun 8 bulan ini, menjalani hari-hari.

Kini, Qowiyy sudah bisa menjadi seorang pemimpin, apalagi nanti. Optimis itu sebuah kemestian.