Selasa, 31 Maret 2015

Agar Kehamilan Senantiasa Sehat



                Kehamilan ada masa yang ditunggu-tunggu oleh perempuan. Kalau sudah hamil, rasanya dunia serasa lengkap. Sebentar lagi status akan berubah menjadi ibu. Kehadiran sang buah hati di dunia pasti akan memberikan rasa bahagia tiada kira. Bagi orang tua dan keluarga.

                Semua ibu hamil tentu ingin kehamilannya sehat, baik secara fisik ataupun batin. Hal ini tak bisa dilakukan sendirian oleh ibu hamil. Ada peran suami pula yang dituntut di sini, bahkan orang lain yang sehari-hari terkait dengan keberadaan ibu hamil.

                Agar hamil senantiasa sehat, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Masalah asupan makanan. Kebutuhan asam folat, kalsium, protein, dan zat besi harus cukup. Berbagai sumber makanan sehat seperti sayur dan buah tak boleh terlewatkan dalam menu harian ibu hamil. Bahkan bagi ibu yang sedang menjalani kehamilan kedua atau lebih sedang sebelumnya mengalami persalinan cesar, jika ingin melahirkan normal, maka kebutuhan 80 gram sehari akan protein wajib terpenuhi. Tak lupa, ibu hamil jangan sampai mengalami dehidrasi. Sedia selalu air putih kemana-mana untuk mencegah terjadinya hal ini.

                Ibu hamil juga harus jujur, terutama kepada suami atau orang terdekat, bahkan kepada siapa saja yang ada hubungan sehari-hari dengannya, misalnya rekan kerja. Ini penting, tujuannya agar mereka yang berada di sekitar ibu hamil bisa memberi aura positif kepadanya. Terutama di kehamilan triwulan pertama yang masih rawan akan potensi keguguran. Jika memang sangat lelah dan butuh uluran tangan, sampaikan saja. Bahkan ketika tak sanggup cuci piring sekaligus. Terhadap rekan kerja demikian halnya. Utarakan kehamilan Anda, sehingga rekanan bisa memperlakukan sebagaimana mestinya. Ada hal-hal yang bisa didelegasikan, lakukan saja. Jangan sampai pekerjaan dan rekan kerja malah membuat stres ibu hamil. Kalau sudah stres, bisa dibayangkan bagaimana janinnya.

                Ibu hamil perlu yoga sebagai salah satu bentuk olahraga. Jika tak ada masalah di kehamilan triwulan pertama, ibu hamil bisa melakukannya sejak awal. Seminggu 3 kali saja selama 1 jam. Atau ibu hamil bisa memulainya ketika usia kehamilan 16 minggu. Tujuan yoga ini adalah latihan nafas dan otot-otot yang diperlukan dalam persalinan nanti, khususnya bagi yang menginginkan persalinan alami/normal. Berarti yang ingin cesar tak perlu yoga dong? Ehm, memang ada yang ingin cesar? Yoga juga sangat penting untuk membangun pikiran positif ibu hamil. Pikiran ini sangat dibutuhkan demi kesehatan janin juga. Hubungan komunikasi ibu hamil dengan janin lebih terasa. Apalagi hubungan ibu hamil dengan Sang Maha Pencipta, jauh meresap ke dada.

                Agar kehamilan sehat, ibu hamil harus bergaul dengan orang-orang yang senantiasa sehat baik perilaku maupun pikiran. Karena pikiran yang sehat akan memunculkan perilaku yang sehat. Memilih tenaga kesehatan yang sehat juga menjadi prioritas. Jangan sampai malah timbul was-was setelah kontrol ke tenaga kesehatan. Rekomendasi dari teman yang sudah berpengalaman sangat diperlukan, atau informasi terkait kinerja tenaga kesehatan harus benar-benar ibu hamil perhatikan.


                Kehamilan yang sehat hingga saatnya persalinan berlangsung lancar sangat didambakan ibu hamil. Mengupayakannya semaksimal mungkin adalah jalan yang memang harus ditempuh ibu hamil.

Senin, 30 Maret 2015

Agar Sama Panjang



            “Sedotannya lagi diapakan Nak?”
            “Buat mainan aja kok Pak, disambung-sambung,”jawab Farzan.
            “Kalau disambung bisa panjang dong?”
            “Memang begitu.”
            “Bisa minta sedotannya 4 buah, sayang?”
            “Ini,”jawab Farzan.
       Lalu bapaknya meminta tolong Farzan untuk menyambung 2 sedotan yang lain. Bapak Farzan memberdirikan 1 sedotan dan 2 sedotan yang sudah disambung anaknya di lantai.
            “Mana yang lebih panjang?”tanya sang bapak.
            “Yang disambung Pak!”jawab Farzan.
            “Mengapa lebih panjang?”
            “Terlihat lebih tinggi ketika berdiri.”
            “Bagaimana agar sama panjang?”
            “Yang lebih panjang tadi diambil saja sedotannya 1, pasti akan sama,”jawab Farzan sambil melepas sambungan sedotan sehingga sisa 1 sedotan.
            “Wah, benar sekali, tapi rasanya ada yang janggal tidak?”
            “Nggak ada tuh Pak.”
            “Coba bapak tanya, kalau misalkan 2 sedotan yang tadi kamu sambung itu adalah sebuah tanaman dengan panjang segitu, lalu tiba-tiba kamu potong tanamannya agar dia panjangnya jadi sama dengan tanaman serupa di sebelahnya yang masih baru saja tumbuh, kira-kira apa yang terjadi?”
            “Bisa-bisa mati ayah.”
            “Tanaman yang di sebelahnya?”
            “Tetap hidup karena tidak dipotong.”
            “Karena tidak dipotong, kira-kira bisa tidak suatu saat panjangnya menyamai tanaman yang tadi mau dipotong tapi nggak jadi?”
            “Bisa saja, apalagi dikasih pupuk lebih banyak, disiram tiap hari.”
            “Berarti bagaimana tadi mestinya agar sedotannya jadi sama panjang?”
        “Mendingan sedotan yang cuma satu ditambah lagi 1 dengan cara disambung, sama kayak sebelahnya.”
            “Betul. 2 sedotan yang sudah disambung sebelumnya adakah merasa dirugikan?”
            “Nggak lah, kan nggak diapa-apain."

            Intisari dialog sederhana di atas adalah bagaimana ketika seseorang ingin berubah, maka dialah sendiri yang harus berusaha mengubahnya, tanpa merugikan orang lain. Dan ini tidaklah mudah. Buktinya, masih ada saja karena ingin menjadi kaya, seseorang nekat menjadi pencuri, seseorang berani untuk korupsi. Yang demikian ini tentu saja merugikan orang lain. Seharusnya dia bisa bersikap seperti Abdurrahman bin Auf yang ketika hijrah ke Madinah dalam keadaan tidak punya apa-apa, ketika ditawari harta saudara kaum Anshar, dia tidak mau menerima melainkan Abdurrahman bin Auf ingin ditunjukkan dimana pasar. Di sanalah dia akhirnya berdagang. Usaha berdagangnya membuahkan hasil sehingga dia menjadi orang yang kaya raya. Saking kayanya Abdurrahman bin Auf bingung kemana dia harus infakkan hartanya. Hingga suatu ketika aka nada berita bahwa pasukan muslim akan menghadapi Perang Tabuk. Maka Abdurrahman bin Auf bersegera menemui Rasulullah dengan membawa 200 uqiyah emas. 


            Pesannya singkat saja. Jika ingin berubah, berubah saja. Jika tak mau pun tak usah merugikan orang lain, karena apa yang dilakukannya juga berlaku untuk dirinya sendiri. Allah Maha Menyaksikan apa yang manusia niatkan tentang sebuah perubahan. Dia akan menolong hamba-Nya manakala dia berusaha sendiri mengubah hidupnya. Lagi-lagi anak harus mampu memaknai hal ini. Bahwa jika dia ingin menjadi juara di kelasnya dia pun harus berusaha sendiri tanpa merugikan orang lain. Filosofi sedotan bisa mengajarkannya. Anak tak sekedar memahami konsep panjang, namun lebih dari itu.

Telur Mirip Bola



            “Ma, enaknya pagi-pagi begini ngapain ya? Mumpung masih libur sekolah nih!”tiba-tiba Lutfiah menyeletuk mamanya yang ada di dapur.
            “Lha mau ngapain sayang? Gimana kalau bantu mama masak sekarang. Biar cepat selesai juga, biar cepat sarapan,” Bu Ridho menawarkan.
            “Ehm, boleh-boleh.”
            “Oke, sekarang tolong bantu mama ambil telur di kulkas sebanyak 4 ya!”
         Lutfiyah langsung melangkahkan kaki. Diambilnya telur sebanyak 4 lalu diberikannya kepada mamanya.
            “Ok, terima kasih sayang! Nah, sebelum kita masak telurnya, mama mau tanya dulu sama adik Lutfiah.”
            “Katanya mau masak, kok pakai pertanyaan segala, Ma.”
            “Nggak apa-apa, biar masaknya nggak bisu, nggak sepi.”
            “Oh. Ok, Lutfiyah siap!”
          “Dari 4 telur yang kamu ambil tadi, mana yang mirip bola?”tanya Bu Ridho.
            “Yang mana ya? Sepertinya nggak ada. Kan bola itu bulat penuh, Ma.”
            “Coba dilihat lagi dengan lebih teliti!”
          Lutfiyah memandangi kembali 4 telur yang diambilnya tadi. Diamati satu per satu, tapi bentuknya tidak ada yang seperti yang ditanyakan mamanya. Bola itu kelereng, bola itu bola tenis, bola pingpong. Telur bukan bola. Demikian yang dipikirkan Lutfiyah.
            “Nggak ada yang bentuknya seperti bola, Ma!” 
           “Benar? Coba simak kembali pertanyaan mama tadi! Manakah dari 4 telur tadi yang bentuknya mirip bola?”
            Lutfiyah diam sejenak. Dicernanya kembali pertanyaan ulangan dari mamanya. 
            “Mirip bola? Oh ya, yang ini Ma. Yang agak kecilan ini!”
            “Pinternya anak mama. Emang yang lain kenapa nggak mirip bola?”
            “Yang lain lebih panjangan. Nggak bulat-bulat amat.”
            “Kok bisa tahu?”
            “Kan mama yang suruh Luthfiyah teliti lagi!”
           “Kira-kira kalau mama berkata bahwa kemarin Luthfiyah marah karena nggak dibelikan mainan sama papa, gimana?”
            “Ya marah! Kan bukan karena itu!”
            “Kenapa marah?”
            “Ya bukan karena itu!”

            Telur mirip bola. Namanya saja mirip, bukan seperti. Tapi, karena justru namanya mirip, maka butuh kejelian apakah telur tersebut benar-benar mirip bola. Butuh kejelasan melihat. Teliti. Bahkan, butuh kejelasan mendengar, jika memang kabar yang didengar masih samar-samar. Tak perlu berprasangka buruk karena itu berbahaya. 

         Buku Seven Habits for Teens karangan Sean Covey juga menceritakan bahayanya berprasangka buruk. Ada seseorang bernama A sedang menunggu kedatangan pesawatnya di ruang tunggu keberangkatan bandara. Karena bosan, ia ingin sekali memakan makanan ringan yang ia beli sebelumnya. Makanan ringan itu belum dimakan, tiba-tiba seseorang bernama B mengambilnya dari tempat duduk di sampingnya dan tanpa minta izin langsung membuka dan memakannya. A langsung kaget.
A segera merebut kembali makanan ringan tersebut dari tangan B, kemudian memakannya dengan penuh emosi. Karena jengkel, B pun mencomot makanan yang telah direbut sama A lagi. A merebutnya lagi lalu segera menghabiskannya.
Begitu akhirnya pesawat tiba. Dan A sudah duduk di dalamnya, alangkah terkejutnya ia ketika membuka tas, rupanya makanan yang ia beli masih berada di dalam tasnya. Berarti, makanan ringan yang tadi ia makan adalah milik B. 

            Seram, bukan? Alias ngeri! Bisa juga memalukan! Maka, itulah yang sedang ditumbuhkan dalam diri Luthfiyah oleh mamanya. Sikap berprasangka, hindari prasangka buruk. KH Abdullah Gymnastiar berkata bahwa su `udzon atau berburuk sangka dapat membuat hati kita menjadi busuk karena apapun yang kita sangka akan mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita bersikap, dan cara kita mengambil keputusan. Berbahagialah bagi orang-orang yang bisa berkhusnudzon atau berbaik sangka.

            

            

Selasa, 24 Maret 2015

Konsep Luas dan Menutup Aib Saudara


            “Uh, sebel banget sama Salsa, awas besok aku pasti akan membalasnya,” gerutu Azka.
           “Sepertinya anak ibu sedang jengkel ya? Mungkin bisa cerita ke ibu?” tanya Bu Farida.
            “Iya Bu, aku lagi jengkel. Salsa mah hanya baik namanya doang, tapi kata-katanya itu lho terdengar pedas di telinga!”
            “Oh, kamu marah dikatain Salsa? Emang parah ya?”
            “Ya iyalah, masak Azka dikatain ‘Kaki Koreng’ ma dia! Kan wajar jika aku marah Ibu!”
            “Kaki koreng?”
         “Iya, kan kaki Azka sedang sakit Bu, dia tahu kalau kakiAzka yang dibalut perban ini sedikit bernanah waktu diganti perbannya ma Bu guru. Eh, dia langsung nyebut Kaki Koreng. Sebel deh!”
            “Trus, besok Azka mau berbuat apa sama dia?”
            “Mau aku katain juga Bu, dengan sebutan, sebutan, sebutan apa ya?”
            “Sebutan apa sayang?”
            “Nggak tahu. Nggak jadi aja deh. Kasihan!”
            “Kenapa nggak jadi?”
            “Memang Ibu setuju jika aku balas dendam ke Salsa?”
            “Menurut Azka gimana?”
            “Sepertinya nggak!”
            Bu Farida memeluk anaknya. Beliau bangga mendengar keputusan anaknya untuk mengurungkan niat membalas dendam temannya.
            “Oh ya Azka, engkau sudah belajar tentang luas untuk pelajaran matematika?”
            “Sudah Bu, minggu kemarin.”
        “Apa makna luas Nak? Jika ada permukaan meja seperti ini bisa tidak Azka mengetahui luasnya?”tanya Bu Farida sambil menunjuk meja belajar Azka di kamar.
            Azka mencari kertas HVS bekas di rak buku. Diambilnya beberapa buah  lalu menatanya satu per satu hingga menutupi permukaan meja yang ditunjuk ibunya.
            “Permukaan meja ini luasnya segini Bu,” jawab Azka sambil menghitung banyaknya kertas yang menutupi permukaan meja.
            “Yap benar sekali. Lalu, bagaimana jika kertasnya ibu ambil 1?”
            “Ya luasnya jadi berkurang, permukaan meja nggak jadi tertutupi semua.”
            “Jika ibu ambil lagi 1?”
            “Ya yang nggak ketutup jadi 2 Bu, jika ibu ambil lebih banyak lagi atau semuanya ya permukaan meja jadi terlihat semua.” 
            “Nah, sekarang andaikan permukaan meja tadi sudah usang bahkan banyak coret-coretannya, kira-kira enak tidak dipandang atau digunakan?”
            “Ya nggak lah. Mata jadi perih malahan!”
            “Mau nggak menggunakannya?”
            “Nggak mau.”
            “Kalau itu hanya meja satu-satunya dan Azka sangat membutuhkannya untuk belajar gimana?”
            “Ya dipakai ja, tapi sebisa mungkin dicat ulang lagi aja Bu, atau digambari dengan lukisan yang lebih baik.”
            “Seberapa yang dicat atau digambari?”
            “Semua permukaan meja.”
            “Kalau hanya setengah saja gimana?”
            “Ya aneh, tetap nggak enak dilihat juga Bu!’
            “Andaikan permukaan meja tadi yang buruk rupa adalah kejelekan orang lain bagaimana? Apakah Azka juga akan berusaha menutupinya hingga tak terlihat orang lain?”
            “Semestinya begitu. Sama kayak kertas yang menutupi tadi. Jika diambil ibu jadinya malah nggak menutupi.”
            “Jadi Azka bisa dong menjadi seperti kertas-kertas tadi?”
            “Jadi kertas? Maksudnya menjadi penutup permukaan meja?’
            “Iya, yang akan menutup kejekan orang lain sebagaimana kertas menutupi meja.”
            “InsyaAllah Bu. Makasih dah ingetin Azka. Tadi Azka hanya jengkel ja ma Salsa.”

            Suasana di kamar itu benar-benar terharu. Bu Farida memeluk anaknya. Menjadi pemaaf adalah lebih baik dan Allah juga Maha Pemaaf bagi hamba-Nya yang berbuat salah lagi memohon maaf. Lebih jauh lagi, orang tua juga bisa menambahkan penjelasan bahwa ketika seseorang mau menutup kejelekan atau aib saudaranya, maka Allah akan menutupi kejelekan atau aibnya di akhirat kelak. Berbanding lurus. Dan fitrah manusia adalah ia tak menginginkan kejelekannya diketahui orang lain.

            Dialog di atas juga bisa digunakan untuk menanamkan karakter kepada anak tentang pentingnya berkata sopan. Ada lidah yang harus dijaga karena banyak sekali penghuni neraka adalah orang-orang yang tidak menyelamatkan lidahnya. Kata-kata kasar dan menyakitkan keluar tanpa ada penyaringnya. Di sini, self control anak akan terbangun dengan sendirinya. Dia akan memikirkan setiap kata yang akan diucapkannya sebelum berlanjut kepada tingkah laku nyata.


            Matematika, terutama tentang konsep luas tak sekedar akhirnya anak bisa menghitung, tapi bagaimana ada makna yang dalam terkandung di dalamnya jika orang tua mau menggali. Integralitas matematika dan dunia anak akan nampak indah di sini.

Suka Duka Mengelola Daycare



             Banyak ibu rumah tangga akhirnya berbisnis daycare. Termasuk saya. Memberanikan diri nyemplung di bisnis ini memang banyak suka dan dukanya. Keputusan sudah diambil, apapun yang terjadi dijalani dengan tenang, tegar, dan tetap sabar. Ibu-ibu lain banyak yang bertanya soal bisnis ini. Ada yang maju mundur karena masih ada kekhawatiran akan terjadi banyak duka nantinya. Urus anak sendiri saja perlu pengorbanan, bagaimana harus ditambahi ngurus anak orang lain. Masih balita lagi, masa-masa mereka suka berebutan, bertengkar, dsb.

                Duka. Pasti ada. Tak mungkin kan hidup lurus-lurus saja. Mengelola daycare demikian halnya. Anak jatuh dari prosotan, anak digigit anak lainnya, anak dipukul anak lainnya, anak nangis seharian di daycare karena hari pertama dititip, anak hanya mau satu pengasuh saja, dsb. Terpaksa bawa ke dokter, ya memang harus dilakukan oleh pengelola daycare jika ada anak jatuh dan luka parah. Menjelaskan kepada orang tua terkait anaknya disakiti oleh anak lain, ya iya memang. Dan kejujuran pengasuh saya andalkan di sini. Menggendong anak seharian karena belum nyaman, ya memang sudah resiko. Intinya, siapkan bagaimana solusinya, bagaimana aturannya. Jelaskan di awal ketika orang tua mendaftarkan anaknya untuk dititip.

                Suka. Ya, iyalah. Saya pribadi banyak suka yang saya rasakan. Setiap polah anak di daycare jadi inspirasi bagaimana mendidik anak saya dan mereka lebih baik lagi. Setiap kegiatan di daycare juga menjadi input berharga untuk aktivitas menulis saya. Pun, menjadi tantangan bagi saya bagaimana daycare tak hanya tempat penitipan anak biasa ke depannya.

              Duka bisa menjadi suka asal bisa mengatasinya dengan sabar dan tenang. Pemberdayaan pengasuh dari segi ruhiyah, kompetensi, dan skill haruslah terus diasah. Hubungan baik dengan orang tua yang menitip juga harus berjalan dengan baik.

                Sebaliknya, suka jika tidak dikelola dengan baik justru akan menghancurkan. Anak-anak merasa nyaman dan bahagia di daycare, namun jika tidak diarahkan kepada pembentukan karakter yang baik, efeknya juga berbahaya. Kebiasaan buruk anak yang satu bisa menulari anak lainnya. Dan ini bisa menjadi boomerang buat daycare.


                Suka dan duka itu biasa ada. Maju atau mundur terserah Anda memilihnya. Semua ada resikonya. Tinggal bagaimana menyikapinya.

Merawat Kipas Angin Agar Awet


Ini pengalaman saya ya.. maaf jika berbeda dengan pengalaman Anda..

                Jengkel terasa bila saatnya gerah tiba-tiba kipas angin tak mau nyala. Awalnya lancar dan tak ada halangan. Lama-lama ketika dinyalakan, lama tak mau berputar baling-balingnya, lantas berputar dengan sendirinya. Selanjutnya, sama sekali meski sudah dinyalakan kipas angin tak menyala. Kipas-kipas pakai kertas deh!

                Menyalakan kipas angin memang tidak tiap hari. Namun, ada kalanya kebutuhan terhadap kipas angin tak bisa dihindari. Menjaga dan merawatnya tentu saja harus dilakukan. Terutama membersihkan kotoran yang menempel di baling-balingnya. Dibukalah penutup kipas angin yang seperti ruji-ruji itu lalu dilap bersih baling-balingnya. Lalu, dipasang lagi. Eh,pas dinyalakan kasusnya selalu seperti cerita tadi. Nyala lancar,lalu sempat ngadat, dan lama-lama tak bisa berputar sama sekali. Beberapa kali setiap beli kipas angin selalu begitu.

                Sadar menghabiskan uang, akhirnya mencoba merawat kipas angin dengan cara yang lain. Kali ini ketika memasang kipas angin waktu pertama kali beli, disengaja tidak menutup bagian depan kipas angin dengan bingkainya yang seperti ruji-ruji itu. Ketika kotor baling-balingnya bisa dengan mudah mengelapnya dengan tisu. Dan tak perlu repot memasangnya lagi.

                Hasilnya? Ternyata kipas angin malah awet, meski baling-baling dibersihkan berkali-kali. Entah apa penyebabnya, tapi ketika gerah dan panas melanda tak ada kekhawatiran macet di tengah jalan. Memang, akan cepat kotor baling-balingnya karena tak ada filter dari bingkainya itu, namun membersihkannya juga hanya sebentar saja.

                Di saat tertentu keberadaan kipas angin memang dibutuhkan. Memastikan baling-balingnya lancar berputar memang harus dilakukan. Membuatnya lebih awet dengan cara merawat yang jitu akan membuat isi dompet tetap aman.


Kamis, 19 Maret 2015

MOMOGI

Garnier Duo Clean
Kamis sore yang melelahkan. Nyetir motor ngebut di atas jalanan yang becek. Belum lagi sampai di perempatan lampu merah menyala cukup lama. Wuih, nggak tahan bau asap motor dan asap mobil dimana-mana. Apalagi saya risih jika pakai helm harus diturunkan penutup wajahnya. 

Pulangnya, tak jauh beda. Bahkan saya kehujanan. Iseng mampir penjual tempe penyet untuk pakai jas hujan. Malu dong nggak beli. Akhirnya saya meminta abang penjualnya untuk membuatkan saya 1 porsi penyetan untuk dibawa pulang. Kembali bau asap dari kompor menyapu wajah ini. Hujan masih deras, dan wajah ini tertampar air hujan berkali-kali.

Merasa sudah sangat lelah sampai di rumah, dan ingat kalau sore hari tadi sudah mandi, maka tak ada mandi kedua. Saya cuci kaki dan langsung menuju kamar. Tepar, tidur melingkar. Tak ingat yang lainnya. Namun, semakin malam semakin gerah. Maklum, saya tak tahan kalau harus menyalakan kipas angin atau AC.

Tengah malam terjaga. O, o, ada yang tak enak rasanya. Wajah rasanya kusam. Saya sentuh terasa licin. Lalu saya mencari Garnier Duo Clean yang sudah saya beli sebelumnya dan memakainya. Wow, segarnya! Lembabnya juga terasa. Adem! Trus, harum apelnya itu lho! Sampai saya menulis setengah jam juga tak hilang-hilang. Kesat dan ringan! Ehm, jadi ingin memakai lagi dan lagi.




Selasa, 17 Maret 2015

Tips Mengatasi Sembelit


                Melihat orang lain lancar buang air besar setiap hari, tentu senang dan berharap tubuh yang kita miliki juga memiliki siklus pencernaan yang bagus seperti itu. Kotoran tubuh bisa dikeluarkan tanpa ada hambatan. Sembelit memang membuat gelisah dan makin stres saja. Ketika sembelit menyerang, badan pegal bahkan kepala juga pusing dibuatnya. Tak enak sama sekali.

                Lantas bagaimana? Bagi sebagian orang,melakukan detoksifikasi dengan meminum ramuan, obat, atau herbal tertentu sangat membantu. Beberapa kali mengkonsumsinya, buang air besar jadi lancar. Namun, bagi sebagian orang tidak berpengaruh sama sekali kecuali memang harus mengubah pola hidup sehat dalam kesehariannya.

            Berikut tips sederhana, namun butuh komitmen dan kekonsistenan untuk melakukannya agar sembelit tak menyerang.

1.       Pola makan
Salah satunya dengan menggunakan pola makan sehat ala food combaining. Ketika bangun tidur pagi, saat mulut belum kemasukan apapun, segera siapkan air hangat berisi perasan air jeruk nipis. Lanjutkan ketika waktu biasa Anda sarapan dengan menyantap buah berserat dan cukup kandungan airnya minimal 3 jenis buah. Pisang tidak termasuk di sini karena pisang mengandung zat pati. Sebisa mungkin pagi sampai jelang makan siang tidak mengkonsumsi nasi. Cukup buah. Kalau mau pisang,silakan disantap jelang makan siang. Kapan makan nasi? Manfaatkan makan siang dan makan malam dengan dilengkapi sayur bergizi (mentah atau melalui proses pemanasan yang tidak lama) serta lauk yang kaya  protein nabati. Oh ya tak harus nasi ya. Bisa juga makanan lain sumber karbohidrat yang cukup.
Tak lupa minum air putih yang cukup. Dalam piramida makanan, kebutuhan air putih adalah kebutuhan terbesar tubuh kita. Jangan sampai Anda melupakannya. Termasuk anak Anda, ketika usia 2 tahun, air putih adalah kebutuhan utama.

2.       Olahraga
Aha! Ini yang biasanya terlewat dari agenda rutin harian kita. Padahal ini penting untuk kesehatan tubuh. Badan yang terbiasa olahraga akan mudah buang air besar karena gerak peristaltic ususnya bekerja dengan baik. 30 menit saja setiap hari.

3.       Hilangkan stres
Seorang bapak pernah bercerita bahwa pola makan yang sehat sudah dijalaninya selama ini. Olahraga juga, namun dia tetap saja sembelit. Apa pasalnya? Ternyata si bapak mudah sekali stres. Ketika tubuh stres, memang akhirnya anggota tubuh tidak bekerja sebagaimana juknisnya. Tertekan, dan biasanya jika stres menyerang, yang muncul adalah pikiran negatif. Kalau sudah negatif, mau apa saja juga bisa gagal, termasuk buang air besar.

Relaksasi sebentar akan bisa membantu Anda. Ajak ngobrol anggota tubuh Anda, ucapkan terimakasih karena selama ini menjalankan tugasnya dengan baik, dan bersyukurlah kepada Sang Maha Pencipta. Ambil nafas dan keluarkan dengan teratur, maka aliran positif akan menjalar di seluruh tubuh Anda.


Sembelit memang menyiksa. Anda tak bisa melakukan pekerjaan Anda dengan lincah dan lancar karena banyak gangguan yang terjadi ketika sembelit datang. Cek pola hidup Anda!

Minggu, 15 Maret 2015

1001

          Ini  bukan kisah 1001 malam. Yup, ini adalah permainan matematika yang sangat menyenangkan. Bisa dipraktikkan oleh anak SD minimal kelas 3. Tapi, jangan salah! Bahkan orang tua pun ternyata suka juga melakukan permainan ini. Hiks, pengalaman nih!

          Tak usah lama-lama ya! Bagaimana sih aturan permainannya?
·       Permainan ini dilakukan oleh 2 pemain. Maka, jika anak ibu mau melakukan permainan ini harus mencari 1 orang teman untuk dijadikan lawan tanding. Atau ibu bisa melakukannya bersama anak ibu.

·                          Secara bergiliran, pemain menyebut bilangan, misalkan dari 985 sampai 1001 secara urut satu atau dua bilangan. Bilangan awal seperti 985 adalah sesuai kesepakatan. Jika ingin menggunakan bilangan lain, silakan saja.

         Contoh simulasi untuk aturan kedua permainan ini adalah sebagai berikut:
Giliran pertama, pemain pertama, misal ibu. Ibu menyebut bilangan 985, 986 (sebenarnya ibu bisa juga hanya menyebut 985 saja), maka anak (pemain kedua) boleh menyebut selanjutnya 987 (atau 987, 988, terserah saja!), dst. Intinya maksimal hanya boleh menyebut dua bilangan saja. Tentu saja, hal ini juga sudah disepakati sebelumnya. Bisa saja jika mau menyepakati boleh menyebut maksimal 3, 4, atau berapa pun bilangan.
·         Pemain yang menyebut bilangan 1001 terlebih dahulu dialah yang akan menjadi pemenangnya.

        Coba deh! Dan rasakan! Bagaimana sebenarnya matematika tak harus berhadapan dengan kertas dan pensil saja. Tak harus mengerjakan LKS, tak harus menulis.

        Kembali ke permainan 1001, kira-kira konsep matematika apa yang ingin dilihat ibu dari anaknya? Aha, ya! Mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke terbesar. Selama ini seringnya ditulis di buku soal seperti ini: 985, …, 987, …, …, 989, dst. Bosan, sangat membosankan. Anak pun cenderung tak menyukainya. Permainan ini juga sekaligus melihat kemampuan anak dalam membilang dan membaca bilangan. Ingat! Bahwa 985 dibacanya sembilan ratus delapan puluh lima, bukan sembilan delapan lima. Nah, meski begitu permainan ini juga bisa lho jika bilangannya diganti dengan bilangan loncat, bilangan pecahan, bahkan bilangan bulat sekalipun.

       Ada hebatnya lagi permainan ini lho! Yang jelas, ibu dan anak jadi semakin erat jalinannya. Anak semakin percaya bahwa ibunya benar-benar teman yang enak diajak bermain bersamanya.


         Ok, selamat bermain!

Sabtu, 14 Maret 2015

Ibu, Peluklah Kembali Anakmu!



            Ini tentang cinta. Dan tak ada yang bisa memberikan cinta kepada seorang anak, melainkan ibunya sendiri. Seorang pengasuh bisa memberikan perhatian kepada seorang anak manakala ditinggal ibunya bekerja. Namun, pengasuh tak bisa memberikan cinta. Sekelas Halimatus Sa’diah sekalipun, ketika Muhammad kecil disusui dan diasuhnya, tetap saja Halimatus tak sanggup memberikan cinta. Ketika peristiwa pembelahan dada atau ketika Muhammad akan diculik orang dari Habasyah, Halimatus mengambil keputusan untuk mengembalikan Muhammad kepada ibunya. Aminah memeluk dan menggendongnya. Tak ada ketakutan sedikit pun atas peristiwa yang dialami anaknya. Aminah tenang, maka Muhammad pun tenang.

            Ini tentang siapakah madrasah anak pertama dan utama? Ibu, jawabannya. Memeluk adalah bagian pengejawantahan kasih sayang serta cinta, dan karenanya anak akan dekat dengan ibunya. Kalau sudah dekat, ibu berkata apa saja akan mudah anak menerimanya. Ketika pertama kali ibu yang mengajarkan kebaikan, anak akan mengingatkan dalam pikiran bawah sadarnya. Apalagi jika berulang-ulang terekam. Apa jadinya jika pertama kali dekat dengan anak adalah keburukan yang datang di luar ibunya? Oh, mohon jangan salahkan anak! Ibu, peluklah kembali anakmu!

            Tapi bagaimana? Terkadang ibu terpaksa harus bekerja. Berangkat pagi pulang malam, sampai rumah lelah melanda. Masalahnya bukan karena itu. Namun, seberapa mau ibu kembali memeluk anaknya. Memeluk itu mudah, namun memulainya kembali yang susah. Apalagi jika anak sudah tak balita lagi. Sudah saatnya menyudahi. Meluangkan waktu sesaat sebelum dan sesudah pulang kerja untuk memeluk anak adalah terapi hubungan yang luar biasa. Tahanlah kantuk, bercengkramalah sebentar dengan anak. Anak akan memahami kelelahan ibunya. Bahwa bekerjanya ibu bukan adalah untuk kebaikannya. Dua jam sehari sungguh akan memberi rasa dan warna.

            Ini soal peradaban. Dan pepatah berkata bahwa ibu adalah tiang negara, patut direnungkan kembali dalam dada. Asma binti Abu Bakar, sang ibu yang begitu luar biasa menggembleng anaknya hingga berani syahid membela Islam adalah contohnya. Peradaban ada karena peran seorang ibu di dalamnya. Serangkaian motivasi dan pembelajaran berharga dari ibu akan mudah diserap anak manakala ibu bersamanya. Memeluk, mencium, dan ungkapan kasih sayang lain hingga mampu mensibghah kebenaran dan kebaikan dalam jiwa, pikiran, dan tingkah laku anaknya.

            Bukankah tujuh tahun pertama adalah pondasi yang seharusnya kuat untuk anak bertumbuh dan berkembang setelahnya? Golden age akan mencapai puncaknya manakala anak benar-benar merasakan kelembutan dan sentuhan kasih sayang ibunya. Tak ada hukuman fisik ataupun hukuman verbal. Tujuh tahun berikutnya, pelukan itu tetaplah dibutuhkan. Ibu sedang cerewet-cerewetnya mendampingi anak mengenal dan mempraktikkan kebaikan hingga usia ini pun mencapai masa emasnya. Memeluk bisa menjadi baterai baru bagi anak. Dan tujuh tahun berikutnya lagi anak sudah siap dan matang menjalani hidupnya. Mana yang benar dan mana yang salah, anak sudah punya landasannya.

            Tabungan pelukan tetaplah harus diberikan oleh seorang ibu. Banyak godaan dan masalah yang membelit anak. Rona kehidupan bersliweran tiada henti di hadapannya. Ada yang menakjubkan namun mengandung dosa. Ada pula yang kelihatannya tak sedap dinikmati, namun sebenarnya jalan surga. Anak bimbang. Ada kebingungan. Peluklah, karena pelukan itu menentramkannya, menyejukkannya. Ibu akan mudah menjelaskan mengapa itu demikian.


            Memeluk bukan persoalan sempat atau tidak sempat. Memeluk adalah bagian yang tak boleh terlupakan dari seorang ibu kepada anak. Memeluk adalah bagian pengungkapan bagaimana peradaban itu sanggup tercipta. Ibu, peluklah kembali anakmu!

Kamis, 12 Maret 2015

Islam dan Pemuda, bukan Islam dan Remaja


Ini adalah tulisan saya yang dimuat di Majalah Al Falah Surabaya, Januari 2015
Belum ada foto bukti dimuatnya nih! Tapi tulisan aslinya seperti ini. Moga bermanfaat.

            Dia adalah seorang panglima muda Islam yang gagah berani, kuat, matang, dan berkepribadian mulia. Rasulullah tak salah memilihnya untuk menjadi panglima perang meski saat itu ada sahabat senior sekelas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Putra Zaid bin Haritshah dan Ummu Aiman ini memikat hati Rasulullah untuk memimpin pasukan perang. Padahal usianya ketika itu masihlah 16 tahun. Siapakah dia? Ya, Usamah bin Zaid.

            Usia 16 tahun merupakan usia remaja. Tepatnya remaja pertengahan. Begitu menurut pandangan beberapa ahli di dunia ini. Pada usia ini, atau remaja pada umumnya (13-21 tahun) identik dengan manusia yang penuh masalah. Kondisi emosi yang labil karena peralihan dari anak-anak menuju orang dewasa. Kadang sok berani, namun dalam hati juga masih merasa takut. Kecenderungan untuk ikut-ikutan pun tinggi, seolah remaja adalah pribadi yang plin plan, bodoh, dan tak punya pendirian. Keguncangan sering terjadi dalam jiwa remaja. Pokoknya bermasalah! Sering menimbulkan kegelisahan orang tua.  Bahkan ada yang terang-terangan menyatakan bahwa usia remaja memang usia penuh masalah. Banyak perubahan terjadi dan butuh penyesuaian. Dan adakalanya, remaja beradaptasi dengan cara yang ekstrim.

            Banyak definisi remaja (adolensence) yang diungkap para ahli. Secara umum memang menyatakan masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Belum matang karena peralihan dan masih dalam proses menuju kematangan dalam segala aspek. Dalam bahasa arab, istilah remaja dikenal dengan sebutan Al Murohaqoh, yang memiliki makna dungu,jahat, dzalim, dan senang melakukan kesalahan. Intinya, remaja adalah pribadi yang bermasalah, senada dengan ciri yang sudah tertulis sebelumnya.

            Lantas, apakah seperti ini generasi remaja Islam? Bagaimana dengan Usamah bin Zaid tadi? Tampakkah kedunguan dan kejahatan, atau masalah lain yang tak beres dalam dirinya? Tidak! Dan sejarah Islam sudah banyak menelurkan generasi yang matang di usia remaja ini. Karena itulah, istilah remaja tidak layak ada dalam kamus Islam. Rasulullah sendiri tak pernah menggunakan istilah ini. Yang ada adalah “pemuda”. Pemuda (syabab) memiliki arti yang beda. Kekuatan, baru, indah, tumbuh, awal segala sesuatu. Dari definisi ini menunjukkan bahwa pemuda itu lambang optimisme, kemenangan, positif. Bukan kebalikannya, sebuah penyakit dan masalah.

            Allah berfirman,”Dialah Allah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS ar Ruum:54)

            Dari ayat di atas tampak ada fase lemah lalu kuat dan berakhir lemah kembali. Kata “lemah” yang pertama memang menunjukkan masa anak-anak, sedangkan kata “lemah” yang kedua menunjukkan masa tua. Hanya ada satu masa di antaranya, yaitu masa kuat. Dan inilah masa muda, masa pemuda (syabab), masa penuh kekuatan.

            Apa yang ada di pikiran, itulah yang akan jadi lisan yang terucap. Lisan inilah yang akan membentuk kebiasaan hingga berujung kepada karakter yang terbentuk. Apa yang terjadi jika dalam benak orang tua bahwa ketika anaknya berusia 13-21 tahun adalah remaja? Orang tua senantiasa berpikir penuh ketakutan karena anaknya pasti bermasalah. Orang tua akan dibuat bingung meski bagaimana memperlakukan anaknya dalam usia ini. Berbeda jika mindset awal bahwa anaknya usia tersebut adalah seorang pemuda (syabab). Keyakinan orang tua bertambah karena generasi hebat dan tangguh muncul di tengah-tengah kehidupan mereka.Apalagi jika sang anaknya sendiri berpikiran bahwa dirinya adalah pemuda. Peradaban akan terjadi.

            Mulai sekarang, gunakan istilah “pemuda”! Islam jaya karena peran pemuda. Islam tampak tinggi di dunia juga karena semangat dan kemauan keras pemuda. Mari kita tilik beberapanya. Ada Zaid bin Tsabit sang pakar faraidh (ahli ilmu waris) yang ketika Nabi Muhammad wafat usianya tidak lebih dari 23 tahun. Tercatat dalam sejarah pula bagaimana Rafi’bin Khudaij, seorang ahli panah dan Samurah bin Jundub (ahli gulat) akhirnya pun berhasil menaklukkan hati Rasulullah untuk bisa ikut perang Uhud padahal usia keduanya belum mencapai 15 tahun. Atau Umair bin Abi Waqqas, saudara Sa’ad bin Abi Waqqash yang secara sembunyi-sembunyi ikut perang Badar karena tak ingin Rasulullah menolaknya hanya karena beliau menganggap dirinya masih kecil.


            Cukup satu kata “pemuda”. Bukan remaja.