Jumat, 18 Januari 2013

Nikmatnya Cesar (Tulisanku yang Menginspirasi dalam Group FB "Gentle Birth Untuk Semua")


Air mata saya pecah,manakala dokter cantik di depan saya berkata,”Kalau ICA sudah 6 begini, ya hanya cesar jalan keluarnya. Apalagi ibu sudah lewat HPL dan plasenta sudah pengapuran grade 3. Tidak ada kontraksi lagi.” Sungguh, saya tak bisa menahannya meski sudah saya coba. Suami hanya menepuk pundak untuk menambah energi kesabaran sayaa.
Kontraksi, khususnya kontraksi yang semakin kuat dan menjadi, itulah impian, harapan, dan sesuatu yang ingin sekali saya rasakan sejak kontraksi-kontraksi palsu sering datang. Apa yang harus saya lakukan? Hampir semua usaha saya jalani, mulai dari senam endhorphin, goyang inul, makan mangga, durian, nanas, jalan kaki, dan ah yang satu lagi ini sepertinya sudah biasa disarankan dokter atau bidan, maaf, hubungan suami istri.
Ketika itu saya mendatangi bidan untuk senam endhorphin sebanyak 2 kali sambil cek kandungan. Bidan berkata,”Subhanallah Mbak, posisi janinnya pas sekali. Ini mah ngejan sebentar juga langsung brojol.” Saya hanya tersenyum mengaminkan dan berharap itu menjadi sebuah kenyataan mengingat persalinan sebelumnya saya juga cesar dalam posisi janin sungsang dan ketuban pecah dini. Jadi ketika bidan berkata demikian betapa bersyukurnya saya.
“Yuk Mbak ke kamar sebelah, kita cek portionya.” Saya pun menurut saja. Bidan berkata,”Mbak tetap optimis ya, mulut rahimnya masih tebal, sepertinya tanggal 10 Agustus saya prediksikan belum bisa lahir, ya semoga dengan tetap berusaha semaksimal mungkin bisa menjadi tipis mulut rahimnya.”
Tanggal 10 Agustus 2012 adalah HPL janin saya. Sontak, mendengar penjelasan bidan sedikit sedih, tapi saya segera bertanya,”Apa yang harus saya lakukan lagi?” Bidan menyarankan seperti apa yang sudah saya jalankan selama ini. Ditambah satu lagi, yang akhirnya cara ini pun saya tempuh. Konsumsi vitamin B1. Pulang dari bidan langsung ngacir ke apotik. Pun saran-saran sebelumnya tetap saya lakukan semaksimal mungkin. Sebisa yang sama lakukan.
Vitamin B1. Vitamin dalam bentuk pil ini senantiasa saya makan sesuai anjuran. Alhamdulillah, perasaan tenang karena bisa menjalankan resep dari bidan.
Makan nanas, durian, dan mangga. Tiap hari 3 buah ini bergiliran mengisi perut saya. Dan luar biasa setelah makan buah-buah ini, perut rasanya kenceng dan sakit. Dan harapan itu tetap menyala bahwa kontraksi bisa semakin bertambah kuat. Namun, lagi-lagi, dia menghilang tanpa ijin. Kuelus-elus perutku sambil senantiasa berkata,”Nak, ayo bantu bunda! Engkau sudah pintar Nak karena posisimu sudah sangat baik. Sekarang, bantu bunda lagi ya agar bunda bisa kontraksi. Engkau bisa lahir secara alami sayang. Allah bersama kita.” Tentu dengan menangis. Maklum mungkin, karena saya seorang perempuan, seorang hamba Allah yang memang lemah adanya.
Selanjutnya, senam endhorphin. Luar biasa memang senam ini. Ketika melakukannya bersama bidan pun, bu bidannya saja berkata,”Tadi waktu senam ada kontraksi 2 kali lho Mbak.” Saya menjawab,”Iya, saya juga merasakan.” So pasti, bidan yang cantik dan meneduhkan serta ramah melayani saya pun menganjurkan agar saya melakukannya juga di rumah dibantu suami saya. Syukurlah, suami bersedia. Bahkan kala lelah mendera dan ngantuk menyerang, suami pun berusaha melakukannya ketika saya minta. Dan keajaiban selalu terjadi. Pasca senam selalu kontraksi. Namun, dia datang dan tak lama pergi. Tak ingin menyesal, dan seperti biasanya saya berkata kepada janin saya,”Nak, dengan pertolongan Allah, insyaAllah bisa. Kita terus berusaha ya.” Tentu, tangis itu pun senantiasa membasahi pipi sebagai wujud keseriusan saya meminta padaNya.
Goyang inul. Mendengarnya istilahnya saja juga tak ada keraguan saya melakukannya. Meski jujur, melakukannya harus nyuri-nyuri kesempatan ketika anak saya yang pertama, laki-laki masih berusia 2,5 tahun sedang asyik bermain sendiri. Dan teori yang akhirnya saya praktekkan ini memang ampuh. Tak lama setelah goyang, kontraksi memang terjadi. Tapi dia enggan untuk terus menguat. Dia melemah, lalu menghilang pergi. Dalam hati terus memohon agar Allah mengizinkan saya melahirkan alami.
Apa lagi ya? Oh ya, hubungan suami istri. Tentu dalam melakukannya harus karena landasan iman, cinta, dan tanpa keterpaksaan. Syarat yang ketiga ini yang benar-benar saya jaga. Saran dokter dan bidan ini sungguh luar biasa dalam menyebabkan terjadinya kontraksi. Saya merasakannya betul, namun, meski dokter atau bidan menganjurkan agar aktivitas ini jadi agenda rutin tiap hari, saya tak bisa melakukannya. Bukan karena tak mampu, tapi karena saya tak mau memaksa. Hari ini ok, tapi hari berikutnya belum tentu ok. Siapa yang tega membangunkan suami yang begitu lelah dan ijin untuk istirahat tidur untuk diajak begituan? Hati nurani saya tidak tega. Bagaimanapun dia, suami saya, telah bercucuran keringat menunaikan kewajibannya memberi nafkah keluarga. Rasanya tak adil jika saya mengganggu waktu istirahatnya. Alhasil, hari tersebut terlewati. Lagi, saya tak mau putus asa.
Jalan kaki dan ngepel rumah. Tiap hari saya selalu menyempatkan diri untuk melakukan hal ini. Jagoanku yang masih batita pun alhamdulillah bisa berkompromi. Jalan PP lebih dari 2 km pun kuat, hanya untuk menemani saya agar bisa cepat kontraksi alami. Berjalan sambil menikmati hidangan alam dengan tetap berdendang bersama si janin di rahim. Kontraksi?Iya, sejenak lalu entah kemana lagi dia bersembunyi.
Hingga 9 Agustus 2012, CTG saya jalani pagi hari. Tak ada kontraksi terdeteksi. Saya terus saja bicara dengan janin bahwa saya dan dia harus bersabar. Sabar, sabar, dan sabar. Tiga puluh menit berlalu dan dokter berkata,”Sudah, pesan kamar saja untuk operasi besok. HPL nya besok kan?”
Saya masih saja tersenyum dan menyapa dokter,”Doakan saya ntar malam bisa kontraksi ya?” Dokter mengangguk. Saya lega meski mendengar hasil CTG tadi sedikit bersedih. Tapi hari itu kami tak pesan kamar. Bukan karena apa-apa, hanya karena masih ada harapan 1 malam lagi.
Malamnya, dengan lembut dan hati-hati suami berkata,”Bunda, jika besok ayah dinas ke luar kota bagaimana? Ayah nggak bisa menolak tugas ini karena ini tugas dari atasan.” Dengan dada sedikit sesak saya mengiyakan. Tak bisa menolak karena memang itulah pekerjaan suami saya. Apalagi apa yang dilakukan suami pun juga dalam rangka ibadah kepadaNya.
10 Agustus 2012. HPL datang. Tak ada kontraksi juga. Tapi saya merasa baik-baik saja. Saya tetap menjalani aktivitas hidup seperti biasanya. Bermain bersama anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengisi pengajian, dsb. Hingga akhirnya saya mengirim pesan kepada seorang dokter spesialis kandungan lagi yang saya kenal lewat facebook. Saya konsultasi kepada beliau bahwa kemarin ICA saya 9 dan kondisi sekarang seperti ini. Dokter menyarankan untuk cek ketuban lagi di dokter yang lain dari yang biasa saya kunjungi untuk control kandungan. Saya pun ke dokter lain bersama suami pada 11 Agustus 2012. Dan hasilnya seperti yang saya tulis di awal tulisan ini. Saat itu sebenarnya akan CTG lagi agar dokter bisa memastikan sampai kapan janin saya bisa bertahan. Tapi kondisi anak saya yang pertama saat itu tak memungkinkan untuk bertahan di rumah sakit. Sudah kelamaan ngantri, keburu bosan dan rewel minta pulang. Maka kami pun pulang dengan kata-kata cesar masih terngiang. Sampai rumah magrib dan keputusan saya dan suami mau cek ketuban lagi di dokter saya sebelumnya tapi di tempat yang berbeda dengan yang ketika tanggal 9 Agustus 2012. Saya ngantri lama lagi, jam 23.00 baru dipanggil. Dokter saya tidak menyalahkan saya karena saya tak jadi pesan kamar sesuai sarannya beberapa hari yang lalu. USG dimulai dan hasilnya indeks ketuban masih 9. “Ya Allah, mana yang benar? Beri hamba petunjukMu,” batin saya. “Saya beri waktu sampai 13 Agustus ya Mbak. Jika nggak kontraksi lagi, maka harus operasi.” Saya lega. Ada waktu 3 hari saya harus berusaha semaksimal mungkin, ini pun disarankan oleh dokter yang saya kenal lewat facebook untuk terus berpikiran positif.
13 Agustus 2012 akhirnya datang. Setelah subuh saya langsung pergi ke rumah sakit dengan kepasrahan yang sudah total. Tak ada kontraksi saya rasakan. Digiring ke kamar operasi untuk dicesar. Menangis sebelum dan sesudahnya. Bukan karena membayangkan mahalnya biaya cesar, bukan pula membayangkan sakit yang lama pasca cesar. Saya menangis karena ternyata banyak hikmah berceceran yang akhirnya bisa saya pungut karena peristiwa ini. Allah lah yang memberi keputusan sepintar manusia belajar dan semaksimal manusia berikhtiar. Itu yang paling saya ingat dari perkataan suami saya yang sangat sederhana,”Ikhlas ya Bunda!” Dan saya mengangguk terharu sambil terus menyeka air mata.
Bayi perempuan mungilpun lahir di dunia. Tak langsung menangis,karena ternyata dia mengalami sesak karena kemasukan air ketuban. Lima hari pun dilaluinya di perinatologi dengan ASI diantar setiap harinya. Alhamdulillah masih bisa Inisiasi Menyusui Dini meski hanya sebentar. Hikmah berikutnya yang berhasil saya dapat adalah Allah lah yang Maha Mengetahui segalanya. USG dan dokter atau bidan hanya wasilah yang bisa memberikan informasi, motivasi, dan membantu proses persalinan kita, tapi Allah segalanya.
Meski 2 kali cesar saya begitu menikmati karena ada suami yang baik hati. Pun Allah yang selalu di hati. Pertanyaan saya,”Gentle Birth kah saya?”Wallahu a’lam.


1 komentar:

  1. saya juga caesar mbak.. karena posisi janin yang sungsang plus mata minus yang mencapai delapan yang ditakutkan bisa menyebabkan kerusakan syaraf mata bila dipaksa lahir normal.. Alhamdulillah lancar semuanya.. tidak kerasa.. tiba-tiba bayinya udah nangis aja :D

    BalasHapus