1 Juni 2010. Momen yang tak terlupakan menggulung
semua pikiran tatkala diri masih menjabat sebagai seorang pegawai. Ibu rumah
tangga status baruku. Kalau hidupkan Yahoo Massenger atau fesbuk, status bisa
berubah setiap saat, tapi statusku ini akan tetap berlangsung selama ada anak
dalam pengasuhan. Aku menikmati. Kubaktikan seluruh anggota tubuh ini untuk
membangun peradaban baru melalui anakku. Melu murinya dengan kasih sayang,
pendidikan, dan pemikiran agar menjelma menjadi sang juara. Juara kehidupan,
pemimpin kaum bertaqwa.
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota
‘ayun lil muttaqina imama …
Bukan hanya doa minta jodoh atau anak saja, tapi “lil
muttaqina imama” juga harus menginspirasi segala ruang aktivitas. Berat, tapi akan mudah dengan Allah sebagai
penolongnya.
Maka, aku pun menikmati menjadi ibu rumah tangga. Ada
segudang telur pahala menetas di rumah tempat dia mengabdikan dirinya. Dia
adalah akar yang akan memperkuat batang agama ini jika ditanam dengan benar.
Ilmu dan iman. Tapi, semua ada tuntutan. Ibu rumah tangga haruslah banyak
belajar. Ekstra keras, bahkan.
Nikmat. Ehm, bukan acungan jempol saja. Atau kepala
manggut-manggut mengiyakan enaknya. Tidak cukup itu. Ini masalah yang sifatnya
batiniah. Meski ada beban berat terpanggul di pundaknya.
“Dan seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah dan
anak suaminya dan dia bertanggung jawab atas mereka.” (HR Bukhari)
Amanah yang bisa-bisa membuat kepala pecah. Namun,
lagi-lagi hanya Allah tempat curhat yang tepat. Ditambah dengan kebersamaan
bercanda dan bermain bersama anak, ternyata berhasil memutar fakta. Berat jadi
ringan, meski tetap tak seringan kapas kering di tangan. Bahkan, ada saja
kejadian berjalan secara otomatis.
Awalnya bukan pendongeng menjadi raut muka
pendongeng. Awalnya bukan pengarang lagu,nyatanya dengan mendidik anak berubah
menjadi pujangga musik, pengubah syair lagu. Tak jarang lagu baru tercipta
mendadak. Anak adalah cemeti yang memunculkan potensi.
Peran sebagai ibu sudah barang tentu merupakan satu
rangkaian yang tak terpisah dengan peran sebagai istri. Tak bisa dihitung
memang berapa prosentase masing-masing. Sulit, karena keduanya bersifat
komplementer. Semuanya indah, keajaiban pun kerap merekah.
Misalnya saja soal waktu. Luangnya waktu saat menjadi
ibu tentu tak sebanyak menjadi ibu. He he he, dengan syarat tak ada pembantu
lho di rumah. Tentu saja, anak juga menyita dengan sengaja detik-detik yang
dipunya. Maka, pribadi seorang istri yang kini menjadi ibu pun merombak alokasi
waktu yang dia punya. Dan ini mengalir begitu saja. Akibat tak langsung.
Kedua tentang pasangan bunda. Sang ayah. Kepala
keluarga. Kebaikannya bertambah pula.Inilah yang disebut dengan barokah. Demi
anak, dia mengalah. Baju baru tak lagi dipikirkannya. Malam pun tak langsung
terlelap sebelum anak pejamkan mata. Rambut istri dibelainya juga sambil
berkata,”Sabar ya. Terima kasih.” Sabar sebagai wujud dukungan bagi istri yang
menghadapi anaknya dengan segala tingkah. Terima kasih karena peran sebagai
pemimpin rumah dan anaknya, sang istri telah berusaha menunaikannya. Bunga
keharmonisan itu tak hanya mekar, tapi kian menampakkan warna apik dan baunya
yang semerbab.
Keraguan seharusnya kini sirna. Ibu rumah tangga atau
istri rumah tangga, ada kenikmatan di dalamnya. Di dunia, pun akhirat dengan
limpahan kesenangan. Pertanyaannya,”Adakah Anda menginginkannya?”
Salam kenal mbak, membaca tulisan mbak membuat aku yang seorang IRT ini merasa "berarti", meskipun terkadang terabaikan setidaknya aku bisa menganggap peranku juga penting.
BalasHapusTrims ya mbak, aku ikutin blognya mbak mudah mudahan kemampuan menulisku bisa meningkat ^_^
kita harus bangga dengan peran kita sebagai istri atau ibu ... namun tetap harus mengasah potensi sebagai wujud syukur kita
Hapus