Jumat, 18 Januari 2013

IRT (Ibu Rumah Tangga dan Istri Rumah Tangga)


1 Juni 2010. Momen yang tak terlupakan menggulung semua pikiran tatkala diri masih menjabat sebagai seorang pegawai. Ibu rumah tangga status baruku. Kalau hidupkan Yahoo Massenger atau fesbuk, status bisa berubah setiap saat, tapi statusku ini akan tetap berlangsung selama ada anak dalam pengasuhan. Aku menikmati. Kubaktikan seluruh anggota tubuh ini untuk membangun peradaban baru melalui anakku. Melu murinya dengan kasih sayang, pendidikan, dan pemikiran agar menjelma menjadi sang juara. Juara kehidupan, pemimpin kaum bertaqwa.
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota ‘ayun lil muttaqina imama …
Bukan hanya doa minta jodoh atau anak saja, tapi “lil muttaqina imama” juga harus menginspirasi segala ruang aktivitas. Berat,  tapi akan mudah dengan Allah sebagai penolongnya.
Maka, aku pun menikmati menjadi ibu rumah tangga. Ada segudang telur pahala menetas di rumah tempat dia mengabdikan dirinya. Dia adalah akar yang akan memperkuat batang agama ini jika ditanam dengan benar. Ilmu dan iman. Tapi, semua ada tuntutan. Ibu rumah tangga haruslah banyak belajar. Ekstra keras, bahkan.
Nikmat. Ehm, bukan acungan jempol saja. Atau kepala manggut-manggut mengiyakan enaknya. Tidak cukup itu. Ini masalah yang sifatnya batiniah. Meski ada beban berat terpanggul di pundaknya.
“Dan seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah dan anak suaminya dan dia bertanggung jawab atas mereka.” (HR Bukhari)
Amanah yang bisa-bisa membuat kepala pecah. Namun, lagi-lagi hanya Allah tempat curhat yang tepat. Ditambah dengan kebersamaan bercanda dan bermain bersama anak, ternyata berhasil memutar fakta. Berat jadi ringan, meski tetap tak seringan kapas kering di tangan. Bahkan, ada saja kejadian berjalan secara otomatis.
Awalnya bukan pendongeng menjadi raut muka pendongeng. Awalnya bukan pengarang lagu,nyatanya dengan mendidik anak berubah menjadi pujangga musik, pengubah syair lagu. Tak jarang lagu baru tercipta mendadak. Anak adalah cemeti yang memunculkan potensi.
Peran sebagai ibu sudah barang tentu merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan peran sebagai istri. Tak bisa dihitung memang berapa prosentase masing-masing. Sulit, karena keduanya bersifat komplementer. Semuanya indah, keajaiban pun kerap merekah.
Misalnya saja soal waktu. Luangnya waktu saat menjadi ibu tentu tak sebanyak menjadi ibu. He he he, dengan syarat tak ada pembantu lho di rumah. Tentu saja, anak juga menyita dengan sengaja detik-detik yang dipunya. Maka, pribadi seorang istri yang kini menjadi ibu pun merombak alokasi waktu yang dia punya. Dan ini mengalir begitu saja. Akibat tak langsung.
Kedua tentang pasangan bunda. Sang ayah. Kepala keluarga. Kebaikannya bertambah pula.Inilah yang disebut dengan barokah. Demi anak, dia mengalah. Baju baru tak lagi dipikirkannya. Malam pun tak langsung terlelap sebelum anak pejamkan mata. Rambut istri dibelainya juga sambil berkata,”Sabar ya. Terima kasih.” Sabar sebagai wujud dukungan bagi istri yang menghadapi anaknya dengan segala tingkah. Terima kasih karena peran sebagai pemimpin rumah dan anaknya, sang istri telah berusaha menunaikannya. Bunga keharmonisan itu tak hanya mekar, tapi kian menampakkan warna apik dan baunya yang semerbab.
Keraguan seharusnya kini sirna. Ibu rumah tangga atau istri rumah tangga, ada kenikmatan di dalamnya. Di dunia, pun akhirat dengan limpahan kesenangan. Pertanyaannya,”Adakah Anda menginginkannya?”

2 komentar:

  1. Salam kenal mbak, membaca tulisan mbak membuat aku yang seorang IRT ini merasa "berarti", meskipun terkadang terabaikan setidaknya aku bisa menganggap peranku juga penting.
    Trims ya mbak, aku ikutin blognya mbak mudah mudahan kemampuan menulisku bisa meningkat ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita harus bangga dengan peran kita sebagai istri atau ibu ... namun tetap harus mengasah potensi sebagai wujud syukur kita

      Hapus