Siang
memang tak begitu memanggang. Mendung tampak melenggang, tak berjalan di langit
yang luas. Masih berdiam diri, mengumpulkan awal hitam dan siap untuk
menurunkan hujan. Salma menengok telepon genggamnya, melihat waktu yang tertera
di layarnya yang sudah mulai dimakan usia. Maklum. Di rumah yang disewanya dari
seorang penjual bakso selepas dia melahirkan belum terpasang jam dinding yang
bisa dengan cepat dipandang. Hanya ada kalender besar terpampang di tembok yang
lembab karena cuaca. Sudah pukul satu siang. Saatnya memandikan si kecil yang
masih berumur 1 bulan. Air hangat sudah siap, handuk, dan perlengkapan bayi
lainnya pun komplit di atas kasur yang tak lagi empuk, dipinjamkan oleh si
pemilik rumah. Di dalam kamar tanpa langit-langit, terkadang air hujan suka
jatuh menembus genting tanpa permisi. Pun tingkah tikus-tikus layaknya pelari
marathon meramaikan seisi rumah. Tak malam, tak siang.
“Zaid,
ikut bunda ngaji ya? Biar dekat ma Allah. Biar tenang hati ini,” kata Salma
mengajak bicara bayi laki-lakinya yang mungil saat mandi. Operasi Caesar yang
baru saja dijalaninya tak meredupkan keinginannya untuk menghadiri majelis ilmu
rutin mingguan yang biasa didatanginya. Salma memang termasuk wanita yang kuat
dan rajin untuk belajar. Ketika bayinya pun masih berumur satu minggu, dia pun
belajar untuk memandikan si buah hatinya, anak pertama, sendiri meski bak mandi
ditaruh di atas lantai. Salma pun harus jongkok untuk bisa memandikan bayinya.
Otomatis, sakit yang masih terasa bekas operasi tak terkira dia tahan. Tapi,
dia ingin belajar. Maka, tak heran, aktivitas mengaji pun tak ingin pula dia
tinggalkan.
Salma
menikah Desember 2008 dengan seorang lak-laki baik tentunya. Sama-sama
mempunyai aktivitas mengaji. Suaminya pun tergolong orang yang tak pernah absen
dari aktivitas yang satu ini. Meski hujan, suami Salma selalu berusaha datang.
Tentu, terkadang ada andil Salma yang turut mendorongnya. Keluarga yang luar
biasa.
“Bunda,
dah selesai mandinya?” sapa suami Salma, Fatih namanya, dari kamar, yang
kebetulan bersebelahan persis dengan kamar mandi.
“Ya,
dah ganti pakaian. Zaid masih tidur kan?” jawab Salma dari kamar mandi sambil
mengeringkan badan.
“Iya
sih, tapi di luar gerimis,” ujar Fatih ketika melihat Salma sudah di depan
pintu kamar.
Salma
pun melongok ke depan, mengintip dari balik kaca. Gerimis memang mengundang.
Padahal waktu sudah berjalan satu jam dari Zaid mandi tadi. Berarti tersisa 1
jam untuk bisa sampai ke tempat mengaji. Perjalanan yang dibutuhkan kira-kira
45 menit untuk sampai ke sana. Surabaya wilayah utara timur, tepatnya. Sedang
Salma dengan modal bismillah, kontrak rumah di Surabaya selatan. Gelisah
membunuh perlahan-lahan hati Salma. Keinginannya mengaji begitu kuat. Apalagi
selama nifas satu bulan, ada gersang yang terhampar di padang kehidupannya.
Salma menggigit bibir mulutnya, berharap Allah mendengar doanya, “Hujan,
berhentilah!”
“Jadi
berangkat? Hujan tuh!” Fatih membuyarkan pikiran Salma.
“Tunggu
sampai ba’da ashar ya ayah. Ayah
sholat di masjid dulu aja. InsyaAllah cuaca terang ntar. Semoga,” jawab Salma
penuh kekhawatiran. Dia sangat kental dengan karakter suaminya. Suaminya pasti
tak mengijinkan dan tak mau mengantar mengaji jika hujan entah rintik-rintik
atau deras. Sejak ada Zaid. Minggu sebelumnya juga hampir saja perang kecil
terjadi antara Salma dan Fatih, tapi untung bomnya tak meledak. Ketika pulang
mengaji, langit gelap dan tak kuasa meneteskan airnya. Spontan, Fatih pun
mengencangkan laju sepeda motor.
“Ayah,
pelan dong, kasihan Zaid kena anginnya,” pinta Salma sambil menggendong dan
memangku Zaid. Tak lupa, selimut tebal sudah dipasangnya menutupi tubuh Zaid
agar terlindung dari gerimis hujan.
“Dah
gerimis bunda, ntar tambah deras. Kasihan Zaid juga. Jalan yang cepat menuju
rumah yang mana enaknya?” tanya Fatih.
“Terserah!
Ya kalau hujannya deras berhenti dulu. Berteduh!” ujar Salma.
“Wah,
tambah kasihan Zaid,” Fatih terus menyetir sepedanya.
Salma
terdiam. Dalam hati dia berharap moga Allah menghentikan gerimisnya. Agar tak
berujung hujan deras. Apa yang dilakukan suaminya tak lagi ditanggapinya. Salma
hanya fokus melindungi Zaid.
“Sayang,
kamu kuat. Jangan takut, Allah Maha Menjaga,” Salma menghibur Zaid yang mulai
risih dan menggoyang-goyangkan kakinya. Selimut yang menutupinya rupanya
membuatnya gerah. Ditambah cuaca yang mendung dan rintik-rintik hujan, angin
pun enggan berhembus menyejukkan. Panas. Dan terlihat semua pengendara
buru-buru mengendalikan tunggangannya. Salma menghibur anaknya lagi,”Zaid
sholih. Yuk doa ma Allah. “Ya Allah, hentikan hujannya, Zaid mau pulang!””
***
“Jadi
berangkat Bunda?” Fatih bertanya seusai pulang dari masjid dengan berjalan kaki.
“Enaknya
gimana? Gerimisnya dah nggak kayak tadi sih. Nggak deras amat! Kecil-kecil.
Lagian langit utara sepertinya nggak mendung,” jawab Salma berharap suaminya
mau mengantarnya mengaji.
“Zaid
gimana?” tanya Fatih enggan untuk mengiyakan.
“Ya
diajak,” jawab Salma yang sudah mulai tahu arah pembicaraannya. Bahwa suaminya
tak mengijinkannya berangkat. Dia pun beralih, beranjak menuju kamar. Dia
pandangi Zaid yang tidur pulas, mengenakan baju lengan panjang warna merah
muda, dipadu dengan celana warna putih. Terkadang, batin Salma begitu paham
maksud suaminya, namun di sisi lain, ada gejolak penolakan yang besar
dirasakannya. Salma tak ingin kehadiran sang anak justru membuat dirinya lemah.
Lesu dalam menuntut ilmu, lesu untuk berdakwah, lesu untuk melakukan kebaikan.
Dia hanya bisa yakin, bahwa jika dia menolong agama Allah, maka Allah pun akan
menolongnya. Dalam menghadapi biji demi biji ujian. Dan kini, hujan dan suami
adalah ujiannya.
“Kenapa
menangis? Karena ayah nggak mau berangkat antar bunda?” tiba-tiba suara Fatih
memecah alam pikir istrinya yang memang mudah sekali menangis.
“Nggak
apa-apa? Lihat Zaid saja pengin nangis rasanya.”
“Ah,
pasti bunda marah karena nggak jadi berangkat?”
“Emang
kalau ya kenapa?”
“Bunda,
tahu nggak jika bunda berangkat siapa yang ayah khawatirkan?”
“Tahu.
Tapi kan cuma gerimis kecil ayah! Seminggu yang lalu juga nggak apa-apa Zaid
kita bonceng waktu pulang mengaji. Toh, bunda kan mesti menutupinya. Kalau
deras ya berhenti.”
“Bunda
tahu nggak bagaimana Surabaya?”
“Iya.
Bunda paham. Banyak kendaraan, banyak asap. Bahaya buat Zaid!”
“Nah
tuh.Terus?”
“Terus
kapan dong Bunda bisa mengaji lagi? Masak gara-gara hujan dan Zaid yang masih
bayi, bunda nggak ngaji? Sampai kapan ayah? Bunda kan juga harus memikirkan
umat juga. Dan ayah sangat tahu, kalau waktu ngaji sebenarnya bunda nggak hanya
ngaji, tapi juga selalu membicarakan masalah strategi pengembangan dakwah di
masyarakat,” Salma menjelaskan dengan sedikit kesal. Suaranya agak melirih
karena takut membangunkan Zaid. Dan dia sebenarnya masih sangat pantangan
berselisih dengan suaminya di depan anaknya. Namun, rumah kontrakan bercat biru
itu memang tak seberapa besar. Hanya ada 1 kamar, 1 kamar mandi, dan ruang tamu
yang tak begitu luas. Berhimpit lagi rumah kontrakan itu dengan rumah sang
pemilik aslinya. Maka, tak ada jalan lain. Merendahkan suara.
“Ya
udah kalau mau berangkat. Terserah bagaimana baiknya Zaid menurut bunda,” jawab
Fatih.
“Apa-apa
kok terserah bunda sih? Ayah tuh aneh. Terkadang bunda heran!”
“Aneh
apanya?”
“Kemarin
Selasa juga begitu. Ketika mau diantar ayah pergi ke tempat adik-adik binaan
bunda, ayah juga menanyakan,”Berangkat nggak?” Eh, sebenarnya bunda tuh sebel
ma ayah. Ayah kan sudah tahu kalau ngisi ngaji adik-adik itu kan hal yang baik.
Seharusnya ayah mendukung dong! Seharusnya tuh berkata,”Ayo Bunda berangkat!”
Apalagi saat itu nggak hujan. Cuma mendung saja!”
Fatih
tersenyum. Ya, dia tahu bahwa tak seharusnya bersikap seperti itu. Tapi, entah
mengapa, sejak Zaid lahir, Fatih tak seperti sebelumnya.
“Tapi
maksud ayah bukannya nggak mendukung, tapi ayah khawatir ma Zaid,” jelas Fatih.
“Kan
belum hujan ayah! Kalau hujannya deras bunda kan pasti berpikir ulang. Ah,
masak gara-gara ada anak, bunda hanya bisa di rumah saja.”
“Iya,
iya ayah salah. Maaf! Jadi berangkat nggak sekarang? Masih gerimis tuh!”
“Nggak
usah berangkat. Sudah telat. Sampai sana sudah selesai. Dan bukan ini yang
bunda harapkan dari ayah yang semuanya selalu diserahkan kepada bunda!”
“Lho
katanya ntar katanya kalau hujan deras berhenti? Kalau masih gerimis begini
Zaid ditutupi?” Fatih bertanya ulang seolah menyindir.
“Iya,
tapi jam berapa sekarang? Sebenarnya tadi bunda tuh dah perkirakan waktunya,
tapi ayah begitu sih! Nggak pernah ada sepakatnya ma bunda soal hal ini.
Terlalu banyak kekhawatiran. Padahal sudah jelas, maksud bunda kan baik. Tujuan
bunda kan baik. Ayah malah nggak mendukung! Bunda kan jadi kesal!”
Menengang
wajah Salma. Tak ada senyum menggaris di bibirnya. Dia peluk Zaid yang masih
tidur. Perlahan namun pasti, air matanya luluh. Buru-buru dia menyeka, karena
tak ingin mengenai bayinya. Salma masih menunggu suaminya angkat mulut untuk
mengutarakan solusinya. Bukan untuk sekarang, karena waktu sudah berjalan
sampai pukul 4 sore dan mereka berdua masih hanyut dalam persengketaan. Tapi
untuk minggu depan, hari-hari berikutnya yang masih selalu menunggu kehadiran
Salma dalam majelis mengaji itu. Salma tak berhenti bergerak. Dirapikannya tas
berisikan perlengkapan Zaid yang tadi sudah dipersiapkan ke tempatnya semula.
Dikeluarkan isinya, lalu dia pun mendekap Zaid lagi sambil berkata,”Zaid, siapa
bilang bunda nggak khawatir sama Zaid? Bunda sayang Zaid. Bunda cinta Zaid.
Tapi bunda juga cinta Allah, Nak.”
“Ya
udah, ke depan kalau bunda waktunya mengaji bunda berangkat saja. Jika cuaca
baik bawa Zaid, Jika hujan, bunda bisa bawa Zaid tapi naik taksi atau bunda
naik sepeda sendiri, tapi bunda dah siapkan perahan ASI untuk Zaid. Biar Zaid
sama ayah di rumah,” Fatih akhirnya berbicara.
“Kenapa
nggak dari kemarin-kemarin ayah bilang begini? Ini yang sebenarnya bunda
tunggu. Bunda tu pingin berepakat ma ayah tentang hal ini. Bukan semua terserah
bunda,” Salma menjawab. Lega sudah merambah dalam dadanya. Paling tidak
suaminya ternyata masih bijak dan paham bahwa memang kebaikan tetap harus
dijalankan. Apalagi ini demi tegaknya agama yang mulia ini. Toh, Fatih juga
mengaji selama ini. Jadi, dia masih paham dengan semua ini. Zaid hanya sentilan
kecil yang wajar jika sempat mengganggu ketenangan hatinya. Anak pertama yang
memang dinantikannya. Namun, memang sebenarnya Fatih orang yang sangat lembut. Perselisihan
apa pun dengan Salma selalu diakhirinya dengan keputusan yang melapangkan dada
keduanya. Menggoreskan senyum dan tetes air mata yang mengharukan jiwa. Hingga
Salma dan Fatih kembali saling menguatkan untuk mencapai tujuan mereka berumah
tangga. Senantiasa dalam ketaatan, membangun keluarga percontohan dengan iman
dan taqwa sebagai landasan utamanya.
Salma
pun berlalu. Kali ini dibukanya pintu rumah. Semilir angin melanjutkan roda
kehidupan setelah gerimis berhenti tak berbuah hujan. Pukul 16.15. Salma
mengambil telepon genggamnya yang sudah usang. Dipencetnya tombol-tombol kecil
mengetikkan kalimat ijin kepada guru ngajinya. Bahwa dia tak bisa datang.
Syukur, respon yang positif pun mengalir dari guru ngajinya. Lalu, Salma pun
meraih Al Quran. Dilantunkannya perlahan meski ada isak tangis yang belum
hilang. Sebelumnya sempat tertahan. Dengan pakaian yang masih lengkap seperti
ketika dia akan berangkat mengaji tadi. Pakai kerudung putih dan gamis
berkancing depan. Suaranya pun memecah senja hingga ambangnya akan hilang
menjelang magrib dan malam.
Tak
tertinggal pula Fatih. Dia pun berlalu. Entah kemana perginya, dia keluar
rumah, berjalan kaki. Kalau tidak ke masjid, pasti ke warung internet. Dua
orang ini memang begitu. Ketika sedikit tak akur, untuk menentramkan jiwa agar
tak menambah keruh, ada caranya masing-masing.
“Ayah,
maafkan bunda atas kejadian barusan. Bagaimanapun bunda butuh untuk
menghidupkan kembali hati yang tertidur. Nifas membuat bunda gersang. Bunda
juga kangen teman-teman seperjuangan yang ada di tempat mengaji. Bunda butuh
taujih, bunda butuh itu. Terima kasih atas solusi yang barusan ayah utarakan.
Semoga bisa diwujudkan ke depannya. Ke mana ayah pergi sekarang? Terserah ayah
jika itu memang membuat hati ayah tenang. Bunda dan Zaid tetap akan membukakan
pintu ketika ayah sudah mau pulang,” Salma berkata lewat SMS.
Tak
ada jawaban. Ah, biarlah! Begitu batin Salma. Sebentar lagi juga akan reda
gejolak hati suaminya yang baru saja tersulut. Seusai tilawah, Salma pun masuk
ke kamar. Direbahkannya tubuhnya miring ke kanan menghadap Zaid yang masih
tertidur. Biasanya pukul 17.00 bayi yang lahir dengan berat badan 2,6 kg ini
bangun. Menyusu. Dan benar, selang beberapa menit kemudian, Zaid terbangun. Salma
pun segera melayani permintaan anaknya. Ketika sudah kenyang, diletakkannya
kembali Zaid ke tempat tidurnya semula dan Salma mulai mendendangkan dzikir
pagi dan petang dilanjutkan hafalan surat-surat pendek juz 30.
Pintu
rumah diketuk. Fatih pulang. Salma pun turun kasur beranjak membukakan pintu.
Keadaan sudah aman, kembali normal.
“Makan
yuk Bunda! Ayah dah lapar,” ajak Fatih memulai percakapan.
“Emang
ayah sudah beli lauk?”
“Ini!”
Fatih menjawab sambil menjulurkan kresek hitam berisikan capjay kesukaan Salma.
“Ayo!”
Piring
digelar. Nasi sudah ditumpahkan siap untuk dituangkan capjaynya. Lalu disantap hangat-hangat. Salma dan suaminya terihat
lahap. Cekcok yang singkat rupanya sudah cukup menguras energi mereka sehingga
perut tak tahan lagi membunyikan keroncongnya. Dan nasi plus capjay adalah penawarnya.
“Bunda,
maafin ayah! Seharusnya ayah tak bersikap seperti itu. Apa yang dilakukan bunda
kan sesuatu yang baik. Ayah egois. Ayah terlalu khawatir sama Zaid. Padahal
Allah pasti menolong hambaNya yang berjuang untuk agamaNya,” Fatih berkata
tatkala dia dan istrinya merebahkan badan ketika menjelang tidur malam.
“Nggak
papa. Bunda ngerti kok. Tapi solusi tadi bisa dijalankan, bukan?”
Fatih
mengangguk. Dipegangnya jemari tangan istrinya. Ada haru yang membiru di dada
Salma. Peristiwa sore itu begitu membuatnya mendesah berkali-kali. Desah
harapan agar tercipta sebuah kesepakatan. Bersama Fatih, suaminya tercinta. Dan
kini, desah berubah bungah. Keduanya saling menguatkan.
“Ya
Allah, terima kasih,” ucap lirih Salma.
Dan
malam mengantarkan kantuk hingga pasangan suami istri ini pun terlelap. Namun,
masih ada hari esok yang menantang, menuntut keduanya untuk lebih matang
menghadapi segala rintangan. Utamanya ketika ada aral saat perbuatan baik akan
dilakukan. Ketika turun hujan, yang sangat wajar sebagai alasan. Lalu keduanya
menjalankan alternatif solusi yang sudah disepakatkan sambil hati takkan seraya
berhenti berdoa,”Hujan, berhentilah!”
suka bgt mbak dgn cerpennya :)
BalasHapus