Kurindu Penyejuk Jiwaku (Tulisanku yang pernah masuk di Majalah Tarbawi)
Edisi Tarbawi yang
berjudul “Anak-anak Juara yang Menyejukkan Jiwa” membuatku rindu. Rindu bukan
karena jauh dari lingkar mataku, tapi rindu karena aku sedang berusaha menunggu
hadirnya dia di rumah tanggaku. “Subhanallah!”. Satu kata ini yang sering
terlontar dari bibir saat membaca kisah pertama tentang anak-anak penyejuk jiwa
itu, menggugah semangat untuk bisa mempersiapkannya sedini mungkin. Visualisasi
dan imajinasi pikiran ini mampu membayang, betapa bahagia jiwa orang tua yang
punya anak seperti mereka. Berprestasi, anggota tubuhnya gatal untuk berkarya, ditambah lagi rutinitas ibadah
yang dilakukannya. Satu kunci yang bisa menggerakkan itu semua adalah kemampuan
orang tua mendidik dan membimbingnya dengan konsisten dan tentu saja
berlandaskan cinta.
Maka, aku, sungguh
tergerak untuk menelusuri terus halaman demi halaman edisi Tarbawi ini.
Anak-anak yang luar biasa karena orang tua yang luar biasa pula. Kebiasaan
membaca sejak kecil sudah ditanamkan sesuai dengan bagaimana Allah mendidik
Rasulullah pertama kalinya. Dibolak-balik hingga lusuh, namun ada sambungan
garis di antara titik-titik ilmu dari apa yang mereka baca. Lensa mata mereka
tak pernah lelah menangkap cahaya-cahaya jajaran huruf yang merangkai makna.
Kehebatan mereka sebagai bukti nyata.
Belum lagi, apa yang
ada di diri mereka. Tubuh yang nyaris tak pernah mengeluh. Jiwa yang tak rapuh
kala gagal datang menjegal. Semuanya justru menjadi tangga untuk mereka naik ke
puncak juara. Untaian kesabaran tanpa henti, tangan yang tak mati, bahkan terus
mencari misteri alam yang tersembunyi. Rasanya, benar apa yang dikalamkanNya
dalam penggalan QS Ali Imran ayat 191,” Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” Maka, sesungguhnya anak-anak itu benar-benar memikirkan tanda-tanda
kekuasaanNya.
Inilah yang membuatku
rindu. “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS Ali Imran:38). Doa Nabi Zakaria ini
ditambah kisah-kisah anak juara dalam edisi Tarbawi ini benar-benar menciptakan
inspirasi. Anak bukanlah sekedar lahir dari hubungan badan untuk selanjutnya
dibiarkan begitu saja. Ada hak-hak pengasuhan yang mereka tuntut dari orang tua
mereka. Kasih sayang, pendidikan, kebutuhan bermain dan berkembang dalam
koridor positif selain pemenuhan hidup manusia pada umumnya. Pengenalan dan
kecintaan mereka pada Allah Sang Maha Pencipta juga merupakan hal utama yang
perlu ditanamkan jauh-jauh sebelumnya. Anak adalah amanah dan orang tua pasti
akan dimintai pertanggungjawabannya.
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” Kiranya arti ayat 9 dari QS An Nisaa ini
bisa menjadi peluru untuk kita, para orang tua, para calon orang tua dalam
mengarahkan anak-anaknya menjadi generasi yang kuat ruh dan jasadnya,
bermanfaat bagi sesamanya. Tidak menyimpang dalam dunia yang tak terang dan tak
matang, apalagi sampai nyasar. Berada dalam lembah dosa kecil dan besar.
Naudzubillah.
Berkaca dari kisah Ummu
Sulaim yang menitipkan anaknya Anas bin Malik pada Rasulullah semasa hidupnya. Disuruhnya
sang putra belajar kepada manusia agung itu, dan ketika pulang bertanyalah Ummu
Sulaim tentang pelajaran apa yang sudah didapatkannya. Bukan karena tak sanggup
mendidik, tapi ini justru bentuk pendidikan istimewa yang diberikan Ummu Sulaim
kepada anaknya sehingga tak heran kalau akhirnya Anas bin Malik menjadi salah
satu manusia yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah.
Pertanyaannya sekarang,
adakah sekarang yang bisa menyejukkan mata melebihi Anas bin Malik ini? Adakah
kini orang tua yang mampu melahirkan generasi rabbani sehebat Ummu Sulaim ini?
Ada tidaknya tergantung pada kita, para orang tua. Ada, jika orang tua mau
untuk bersikap cerdas dan mencerdaskan, kuat dan menguatkan dalam setiap
langkah mengasuh anaknya. Sungguh, tak ada yang tak mungkin.
Kini, kusulut lagi rindu pada penyejuk jiwaku.
Seperti pada rangkaian doa-doaku,” Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Anak yang mewarisi ilmu,
amanah terbesar untuk mengantar ke surga yang takkan pernah layu. Anak yang tak
lelah beramal meski badan harus berpegal-pegal. Dengan keyakinan dan usaha,
maka kemenangan itu akan tiba. Anak-anak penyejuk jiwa akan menjadi milik kita.
Aku dan Anda semua, wahai orang tua.Pertama yang Menggetarkan Jiwa (Tulisanku yang menang audisi "Lagu Opick Inspirasiku")
Pertengahan Oktober tahun 2005. Di
sebuah kota kecil dekat Jakarta, tepatnya di Bekasi, di sebuah aula sekolah
yang luas tempat aku melakukan aksi pertamaku menjadi seorang trainer matematika. Ada sekitar 30 guru
di sana, sedang menikmati perjalanan training yang aku bawakan duet bersama
teman seniorku.
Dua hari saja. Penuh dengan kegembiraan
karena memang begitulah karakter pelatihan yang biasa kami bawakan. Aku begitu
terkesan. Tanggapan peserta begitu antusias meski mereka tahu aku adalah trainer baru yang sedang uji coba
kemampuan. Tak ada yang mencemooh meski kekurangan nampak padaku ketika
membawakan materi pelatihan. Macam-macam bentuknya. Kedangkalan materi yang
membuatku sadar bahwa aku harus banyak belajar, performance saat tampil yang kadang kurang mulus dan runtut, dan
cara berpakaian yang sedikit kurang rapi.
Peserta, guru-guru itu, bagiku adalah
saudara-saudara yang mampu mengingatkanku. Meski tak langsung mereka bicara.
Mereka adalah lampu yang mencerahkan diriku yang saat itu masih baru.
Bersentuhan dengan mereka seolah memberi rambu-rambu agar aku menambah porsi
belajarku.
Mereka memang peserta, aku memang trainer untuk mereka. Semestinya, akulah
yang harus jauh lebih pintar, lebih berpengalaman dibanding mereka. Namun,
ternyata mereka tak merasakan itu. Aku dianggapnya teman, dianggapnya saudara
sehingga mengingatkan adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Sama-sama belajar,
bertukar pikiran mencari solusi atas masalah pendidikan terutama tentang
pembelajaran matematika.
Ada yang beda. Aku merasa lebih
diorangkan. Hak kemanusiaanku terpenuhi. Ketika salah ada yang meniupkan angin
kebenaran. Ketika benar, ada daun yang melambai berkata bahwa aku harus
menularkan apa yang benar itu. Dan puncaknya adalah hari kedua, hari terakhir
aku mengisi training pertamaku.
Di sebuah kamar menginap yang cukup luas
aku dan temanku belajar, membuat rencana kegiatan penutup untuk hari terakhir
kami melatih.
“Bu He, ntar yang baca puisinya pas lagu
Opick sampai pada nada ini!” Bu Dyah, teman seniorku meminta begitu. Oh ya,
lagu Opick yang dimaksud adalah yang berjudul “Alhamdulillah”, album yang
pertama, yang dinyanyikan bersama Gita Gutawa.
“Wah, Bu Dyah saja. Aku takut menangis
ketika membacanya Bu,” lobiku kepada temanku setelah kubaca sekilas syair puisi
buatannya.
“Ayolah, nggak papa dicoba dulu. Kan
belajar?”
“Ya udah, tapi aku belum hafal betul
lagunya Bu, apalagi yang pas nada itu. Takutnya pas nadanya datang, aku lupa
nggak baca puisinya.”
Namun, aku tetap mencoba menghafal nada
lagu Opick tersebut dan menghafal puisinya. Waktu istirahat di tengah-tengah
sesi training pun kumanfaatkan untuk
melakukan itu. Hingga penutupan pelatihan pun tiba. Dan skenario manusia
lagi-lagi kalah dengan skenario Allah, Tuhan alam semesta.
“Bu, di mana file lagunya?” tiba-tiba Bu Dyah kehilangan jejak dimana lagu
berjudul Alhamdulillah bersama lagu yang lainnya dalam satu album itu berpindah
folder.
“Sebentar aku cari Bu!” Bu Dyah pun maju
ke depan memandu lirik lagu Opick tersebut dengan lisannya bersama peserta.
Ibaratnya latihan awal. Sambil menunggu kutemukan filenya dan mainkan.
Yes!
Ketemu. Kunyalakan Windows Media Player,
lalu lagu itu pun mengalun. Bu Dyah yang saat itu menggantikan posisiku di
depan meminta untuk replay lagu Opick
tersebut dan mengajak peserta untuk bernyanyi bersama. Aku dimana? Aku pun
bergabung dengan peserta dalam posisi berdiri dan saling bergandengan tangan.
Bersyukur kepada Allah, bersyukur
sepanjang waktu. Setiap langkahku, seluruh hidupku, semoga diberkahi Allah …
Sampai sini saja, hatiku sudah bergetar.
Allah menyentil kalbuku semoga kesombongan tak mampir setelah aku mengisi training. Karena aku telah merasa memberi
ilmu. Sungguh, aku ingin jauhkan rasa takabur itu. Lagu Opick tersebut rupanya
mampu menggugah nuraniku. Aku tak ingin hidupku sia-sia. Aku pun berharap
perjalananku ke Bekasi bisa menjadi bekal untuk akhiratku kelak.
Masih terus mengalun. Peserta kulihat
makin bersemangat mendendangkannya dengan goyangan kepala yang melambangkan
bahwa mereka begitu menghayati. Dengan genggaman tangan yang saling
bergandengan juga makin terasa erat. Apalagi ketika lirik lagu sampai pada yang
berikut ini:
Alhamdulillah, wa syukurillah, bersyukur
padamu Ya Allah
Kau jadikan kami saudara, hilanglah
segala perbedaan
Aku tertunduk. Aku menangis. Senja itu
terasa begitu syahdu, memendarkan kasih sayang, meletupkan letusan kebahagiaan.
Ada sisi lain yang meresap di kantung hatiku. Yang sejak awal sudah aku rasakan
saat berinteraksi dengan peserta dalam pelatihan. Namun, baru membuncah
sekarang. Padahal saat aku menghafal lirik lagu ini sebelumnya, aku masih
terkesan datar-datar saja. Tak ada yang merasuk. Tak ada yang menusuk. Namun
ketika kami bersama-sama melantunkannya, hatiku terketuk.
“Ya Allah, subhanallah. Ya Allah,
Alhamdulillah,” begitu kataku dalam hati. Cocok dengan judul lagunya. Ada rasa
syukur yang membumbung tinggi masih dipertemukan Allah dengan guru-guru yang
layaknya saudara ini. Nikmatnya bersaudara benar-benar aku rasakan.
“Ya, demikianlah sesi penutup pelatihan
kali ini. Setelah bernyanyi, maka kami minta semua peserta untuk berjabat
tangan dengan kedua trainer kita!”
Kepala Sekolah menginstruksikan.
Tanpa banyak kata, guru-guru pun
menghampiri aku dan Bu Dyah untuk saling melepas maaf jika ada kesalahan selama
pelatihan. Lagu Opick “Alhamdulillah” masih terdengar mengiringi jabat tangan
dan peluk kami. Aku tak kuasa menahan tangis. Setiap kali berjabat tangan
dengan peserta, haru biru makin kurasakan.
“Terima kasih Ustadzah atas ilmunya,”
seorang peserta berkata demikian. Aku, sungguh, merasakan betapa tulusnya dia
mengatakan itu meski mungkin sedikit yang didapatkannya dariku.
Yang lain pun seia sekata. Aku yang
sebenarnya masih harus banyak belajar, malah mendapatkan penghargaan seperti
itu. Malu sekaligus menjadi pelecut untuk terus maju. Dalam kebaikan.
Sungguh, pelatihan pertamaku
menggoreskan kesan. Ada banyak pelajaran padahal sebelumnya hikmah-hikmah indah
ini masih berceceran. Belum pernah aku memungutnya. Pertengahan Oktober yang
tak terlupakan. Sentuhan yang menggilas kesombongan, terapi yang terpatri indah
terlukis di hati.
Saudara adalah harta yang bernilai.
Dikirimkan Allah untuk saling menasihati. Berbagi dan peduli. Tak ada yang
berkata,”Ah, ini kan hidupku sendiri. Peduli amat dengan hidup orang
lain.”Apalagi sampai mencibiri perbedaan yang tak hakiki, yang tak menyimbolkan
posisi. Aku lebih baik, engkau yang lebih buruk. Tak ada. Karena perbedaan
taqwalah yang mampu menggambarkannya. Dan hanya Allah yang mampu menilainya.
Dan hanya orang-orang bersaudaralah yang bisa baur membaur meningkatkan derajat
ketaqwaan ini.
Tetap beruntung orang
yang bersaudara. Sesuai fitrahnya bahwa orang takkan pernah mampu hidup
sendirian. Tak terkecuali aku. Diriku yang benar-benar bukan siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar