Jumat, 18 Januari 2013

Enyah Kau dari Arena Ini


Begitulah Ruben, presenter ternama Indonesia yang membawakan acara Ranking 1 di salah satu stasiun televisi swasta berkata. Lisan yang menyimbolkan ketidakberdayaan para peserta dalam menjawab saol pada saat acara. Arena kompetisi untuk mencari peserta tunggal yang menyabet gelar “ranking 1”.
Ranking 1. Semua pasti tergiur dengan embel-embel keren ini. Orang tua zaman dulu, sebelum dunia pendidikan mengenal istilah kecerdasan majemuk, juga pasti ikut busung dada tatkala buah hati kesayangannya di rapornya tertulis kata-kata ini. Tapi, terlepas ditulis atau tidak,hakekatnya manusia ingin menjadi yang terdepan. Dalam kepandaian, kekayaan, jabatan, keilmuan, dan kebaikan lainnya. Bahkan, diantaranya butuh pengakuan juga, langsung atau tidak langsung.
Tentu saja, kita sebagai manusia akan lebih baik memilih terdepan dalam hal-hal baik saja. Pengakuan, biarlah Sang Pencita yang menyematkannya sebagai bekal akherat kita. Ada dua sumber kekuatan untuk bisa meraihnya, ikhlas dan serius. “Barang siapa yang hanya ikhlas maka enyah dari arena ini. Dan barang siapa yang hanya serius, maka dia pun akan mengalami hal yang sama.”
Bukan hanya segelintir manusia yang mengalami kerugian karena tidak serius meskipun ikhlas. Ada dua pemuda sama-sama mendapat bagian warisan yang sama. Berupa sawah. Tentu saja, keduanya ikhlas menerimanya karena bapak mereka telah berbuat adil. Pemuda pertama setiap hari mondar mandir ke sawahnya untuk menceburkan diri menanam padi. Alhasil, panen pun dia dapatkan. Pemuda yang kedua berbeda. Tiap hari hanya duduk di kursi goyang, bertopang dagu, melamunkan sawahnya penuh dengan padi kekuningan. Tapi nyatanya sawahnya tetap berupa tanah kosong saja.
Sudah barang tentu kita pun ingat betapa khalifah Umar bin Khathab marah besar ketika melihat para pemuda yang hanya menanti uluran tangan manusia yang datang ke masjid untuk memberinya makan, sedangkan dia sendiri hanya diam, ikhlas beribadah di dalam masjid saja. Umar menampakkan murkanya.
Sebaliknya demikian juga. Serius saja tidak cukup. Perlu sokongan keikhlasan untuk senantiasa tetap mendulang rahmatNya.
“Kaya ya dia sekarang, tapi kalau sedekah kok sering diungkit-ungkit ya? Amit-amit.”
Ini yang terjadi. Meski ada keringat dari jerih payahnya, meski ada peluh mengucur keluar dari kulitnya. Ikhlas tak hanya niat dalam hati. Tapi teraplikasi dalam kesungguhan bertindak, tersirat dalam kepasrahan tertinggi kepadaNya terhadap hasil yang telah dicapainya.
Enyah. Sungguh, tak enak rasanya. Nelongso, minoritas, kalah. Tersingkirkan, kecuali orang-orang yang mematri keikhlasan dan menjalaninya dengan penuh keseriusan. Hati, ucapan,dan tindakan selaras dalam segala aspek kehidupan.
Kembali ke ranking 1. Satu, memang lambang kedigdayaan. Wahid. Tanpa tandingan. Tak ada penyamaan. Jadi teringat nasehat teman. Dia berkata,”Jangan berusaha menyamai, tapi berusahalah mengungguli!” Sama dengan ranking 1. Yang lainnya,”Enyah kau dari arena ini!” Unggul dalam keikhlasan, unggul dalam keseriusan.
Kisah Umar bin Khatab dan Abu Bakar as Shidiq layak jadi panutan. Keduanya berlomba dalam hal berinfaq, meski akhirnya terbukti Umar tak bisa mengalahkan Abu Bakar.
Hadits berikut juga mengajarkan betapa keunggulan memang menjadi sasaran hidup manusia agar tidak enyah dari arena ini. Arena dunia, arena akhirat. Tak terkecuali para sahabat. Abu Hurairah ra berkata,“Rasulullah saw bertanya,’Siapakah di antara kamu pada hari berpuasa?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Beliau bertanya,’Siapa di antara kamu yang pada hari ini menjenguk orang sakit?’ ‘Saya,’ jawab Abu Bakar. Beliau bertanya,’Siapakah di antara kamu yang hari ini mengiringi jenazah?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Beliau bertanya,’Siapakah di antara kamu yang pada hari ini memberi makan orang miskin?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Nabi saw bersabda,’Tidak berkumpulsifat-sifat ini pada diri seseorang dalam satu hari melainkan ia akan masuk surga.’” (HR Muslim dan Ibnu Huzaimah)
Jadilah ranking 1, agar tak “enyah kau dari arena ini”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar