Begitulah Ruben, presenter
ternama Indonesia yang membawakan acara Ranking 1 di salah satu stasiun
televisi swasta berkata. Lisan yang menyimbolkan ketidakberdayaan para peserta
dalam menjawab saol pada saat acara. Arena kompetisi untuk mencari peserta
tunggal yang menyabet gelar “ranking 1”.
Ranking 1. Semua pasti tergiur
dengan embel-embel keren ini. Orang tua zaman dulu, sebelum dunia pendidikan
mengenal istilah kecerdasan majemuk, juga pasti ikut busung dada tatkala buah
hati kesayangannya di rapornya tertulis kata-kata ini. Tapi, terlepas ditulis
atau tidak,hakekatnya manusia ingin menjadi yang terdepan. Dalam kepandaian,
kekayaan, jabatan, keilmuan, dan kebaikan lainnya. Bahkan, diantaranya butuh
pengakuan juga, langsung atau tidak langsung.
Tentu saja, kita sebagai manusia
akan lebih baik memilih terdepan dalam hal-hal baik saja. Pengakuan, biarlah
Sang Pencita yang menyematkannya sebagai bekal akherat kita. Ada dua sumber
kekuatan untuk bisa meraihnya, ikhlas dan serius. “Barang siapa yang hanya
ikhlas maka enyah dari arena ini. Dan barang siapa yang hanya serius, maka dia
pun akan mengalami hal yang sama.”
Bukan hanya segelintir manusia
yang mengalami kerugian karena tidak serius meskipun ikhlas. Ada dua pemuda
sama-sama mendapat bagian warisan yang sama. Berupa sawah. Tentu saja, keduanya
ikhlas menerimanya karena bapak mereka telah berbuat adil. Pemuda pertama
setiap hari mondar mandir ke sawahnya untuk menceburkan diri menanam padi.
Alhasil, panen pun dia dapatkan. Pemuda yang kedua berbeda. Tiap hari hanya
duduk di kursi goyang, bertopang dagu, melamunkan sawahnya penuh dengan padi
kekuningan. Tapi nyatanya sawahnya tetap berupa tanah kosong saja.
Sudah barang tentu kita pun ingat
betapa khalifah Umar bin Khathab marah besar ketika melihat para pemuda yang
hanya menanti uluran tangan manusia yang datang ke masjid untuk memberinya
makan, sedangkan dia sendiri hanya diam, ikhlas beribadah di dalam masjid saja.
Umar menampakkan murkanya.
Sebaliknya demikian juga. Serius
saja tidak cukup. Perlu sokongan keikhlasan untuk senantiasa tetap mendulang
rahmatNya.
“Kaya ya dia sekarang, tapi kalau
sedekah kok sering diungkit-ungkit ya? Amit-amit.”
Ini yang terjadi. Meski ada
keringat dari jerih payahnya, meski ada peluh mengucur keluar dari kulitnya.
Ikhlas tak hanya niat dalam hati. Tapi teraplikasi dalam kesungguhan bertindak,
tersirat dalam kepasrahan tertinggi kepadaNya terhadap hasil yang telah
dicapainya.
Enyah. Sungguh, tak enak rasanya.
Nelongso, minoritas, kalah. Tersingkirkan, kecuali orang-orang yang mematri
keikhlasan dan menjalaninya dengan penuh keseriusan. Hati, ucapan,dan tindakan
selaras dalam segala aspek kehidupan.
Kembali ke ranking 1. Satu,
memang lambang kedigdayaan. Wahid. Tanpa tandingan. Tak ada penyamaan. Jadi
teringat nasehat teman. Dia berkata,”Jangan berusaha menyamai, tapi berusahalah
mengungguli!” Sama dengan ranking 1. Yang lainnya,”Enyah kau dari arena ini!”
Unggul dalam keikhlasan, unggul dalam keseriusan.
Kisah Umar bin Khatab dan Abu
Bakar as Shidiq layak jadi panutan. Keduanya berlomba dalam hal berinfaq, meski
akhirnya terbukti Umar tak bisa mengalahkan Abu Bakar.
Hadits berikut juga mengajarkan
betapa keunggulan memang menjadi sasaran hidup manusia agar tidak enyah dari arena
ini. Arena dunia, arena akhirat. Tak terkecuali para sahabat. Abu Hurairah ra
berkata,“Rasulullah saw bertanya,’Siapakah di antara kamu pada hari berpuasa?’
Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Beliau bertanya,’Siapa di antara kamu yang pada hari
ini menjenguk orang sakit?’ ‘Saya,’ jawab Abu Bakar. Beliau bertanya,’Siapakah
di antara kamu yang hari ini mengiringi jenazah?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’
Beliau bertanya,’Siapakah di antara kamu yang pada hari ini memberi makan orang
miskin?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Nabi saw bersabda,’Tidak berkumpulsifat-sifat
ini pada diri seseorang dalam satu hari melainkan ia akan masuk surga.’” (HR
Muslim dan Ibnu Huzaimah)
Jadilah ranking 1, agar tak
“enyah kau dari arena ini”!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar