Jajaran besi yang kadang lurus,
kadang berkelok-kelok itu menorehkan prasasti duka. Diciprati sinar mentari
dengan derajat suhu yang masih enggan meninggi, terlihat besi-besi hampir karatan
itu sedikit menyilaukan. Merah, hanya di sebagian kecilnya, meskipun dia
panjang tak tahu ujungnya. Menghampiri tiap pos-pos mangkalnya calon penumpang
kelas ekonomi, bisnis, atau eksekutif. Cairan agak kental tercecer membuat
blok-blok di aspal pinggir rel kereta api.. Tubuhku berlumuran darah tergeletak
layaknya mati. Tapi seonggok ringkihku belum mau melayangkan ruhnya. Dibopong seorang
laki-laki tegap, sepertinya. Namun, tidak saat itu. Matanya terbelalak biasa,
ada guratan di bawah matanya bekas lipatan lengan baju sempat menjadi bantal
tidurnya. Bunyi isyarat kereta api datang mengagetkan tidur pulasnya.
Terlambat! Palang pelintas jalan terlambat diturunkannya dan laju kereta
melibas sepeda motor Yamaha tak sempurna melintas paksa alias nylonong di depannya. Terjebak di antara
dua palang yang menghalangi lajunya.
“Tidak!” jerit bapak penjaga palang kereta.
”Bres!”
kereta tak berhenti melindas-lindas sepeda bermesin itu. Remuk. Rengsek. Untung,
pengemudinya, aku, sempat terpental.
Ambulans
datang menjemputku nan tergolek lemah, dilarikan ke rumah sakit.
Tergopoh-gopoh, perempuan berhidung mancung mendatangiku. Membawa degup
jantung, ketir-ketir ingin segera tahu kabar anaknya.
”Makanya,
kalau dibilangin orang tua tuh manut?” perempuan bertahi lalat di pipi itu
duduk sambil memarahiku yang belum melek.
”Sudah
Bu, nggak ada gunanya marah-marah! Semua dah terjadi,” sahut laki-laki ceking berkumis
tebal, berdiri di depan ibuku, yang tak lain adalah dokter yang merawatku. Tak
nampak bapakku. Tulang-tulangnya yang tak berbalut kulit bisa dilihat di tanah
makamnya. Kini, setelah lewat lima tahun yang lalu.
Tersedu-sedu,
menumpahkan tetes-tetes air. Ibuku yang malang. Sosoknya sebenarnya sangat aku
kagumi. Dulu. Jiwa mandiri, sosoknya yang penuh kasih sayang. Tapi, semenjak
ibuku melahirkan adik-adikku sebanyak tiga berjarak tiga tahunan dan sekarang
hamil lagi anak kelima, hidupku jadi berantakan, carut marut dan cemberut.
Umurku sudah 20 tahun, namun kemelut cemburu masih meluap-luap memupuk subur di
dadaku. Batang kasih ibuku kian mencabang, lalu memanjang. Apalagi sekarang,
entah karena bawaan si jabang bayi di kandungannya yang ngalem atau faktor
lainnya, ibuku mirip harimau kelaparan mengaum pada mangsanya. Marah-marah
melulu. Meledak-ledak menyemburkan asap panas menyesakkan organ pemompa
darahku. Ah, ibu! Mengapa? Aku pun tak luput lagi, memberontak sebisaku.
”Ibu
nih kenapa sih!”
”Kenapa,
kenapa! Mau ke mana lagi kamu, hah?” dengan nada tinggi ibuku menyapa kasar aku
di depan pintu kamar.
Tak
kuhirau. Berlalu, masuk
telinga kanan, keluar lagi dari telinga kiriku. Pertanyaan yang memuakkan,
hampir setiap hari menderu-deru di telingaku. Tak jarang, cibiran bibirku
kuhadiahkan pula pada ibuku. Langsung! Ah, ibu, begitu mudahnya ku menyakitimu?
”Biar
saja. Emang aku anak kecil apa? Ditanya ini ditanya itu! Sebel!”aku mencucu,
memajukan bibir tipisku. Gumamku menahan jengkel. Uhhhhh!
”Dasar anak tak tahu diuntung. Ngluyur aja kerjaannya!” celetuk ibuku
lagi sambil mengelus-elus perut buntingnya. Sudah 8 bulan lebih 12 hari.
Angin lalu. Masih bagiku. Kata-kata itu sudah basi mengusik-usik di
indra pendengaranku. Sontak, kugaet tas lebus
hitam lemah terbaring di sofa ruang tamu. Beberapa seratnya sudah keluar dari
pola-pola teraturnya. Aku lenyap, menelantarkan suara-suara aneh ibuku yang
terus mengudara. Aku menang.
Sederhana.
Lain halnya dulu. Pernah, ibuku ngamuk tak kepalang ngerinya. Buas,
sampai-sampai beberapa barang ditembakkannya ke arahku. Nada yang seirama.
Memojokkanku dengan omelan-omelan garing, dilontarkannya lalu aku buang lagi di
tempat sampah. Pasalnya tak serumit yang dikira. Menurutku.
”Lihat
nih! Gara-gara ulahmu di sekolah, ibu disemprot sama kepala sekolahmu!”ibu gemes membayangkan tingkahku. Bantal
sofa melayang ke arahku. Ah, tak terlalu sakit menghantam dadaku. Santai saja.
”Sekolah
tuh ya buat belajar, ini malah tawuran. Jadi gembongnya lagi! Nggak malu apa?”
”Lha
sana nyerang duluan!”
”Alah,
alasan aja. Ngalah kenapa? Ujung-ujungnya ibu juga kan yang kena. Sadar nggak
sih?”
”Yah,
nggak keren dong Bu! Aku kan laki-laki!”
”Hiiiiiiih!
Keren digedhein. Nggak tahu ibu nih
sudah susah ngurus adikmu! Eh, kamunya malah kumat tabiatnya yang dulu!”ibu
maju menggoyang-goyang pipiku setelah sebelumnya sovenir kayu di dekat televisi
dilemparkannya keras pula ke tubuhku. Yak! Pas! Tangkapan yang bagus. Yeach,
ibuku kalah lagi!
Begitulah!
Kasus-kasus yang menumbuhkan geram ibuku rasanya sudah melampaui batas.
Menguncup lalu mekar. Tak seindah kembang. Meski aku kerempeng, tapi aku bak
banteng. Menyeruduk, membabat habis dengan tanduk kesaktian yang kumiliki.
Teguran dan nasihat tak terhitung lagi mendarat di dermaga hati. Namun,
semuanya merapat sebentar lalu pergi. Hatiku bagai baju besi, memantulkan
kembali panah-panah yang tak lagi sakti.
Pernah,
di penghujung akhir tahun, detik-detik menunggu manusia seantero dunia akan menapaki
babak baru. Hura-hura mewarnai setiap lini dan lapisan kota. Gebyar gempita
lampu jalan raya, meriam-meriam mungil menyalakan apinya ke angkasa,
seakan-akan telah menjadi ikon resmi setiap penyambutan tahun baru. Aku pun tak
kasep mencicipi hidangan lezat malam itu. Hingar bingar kota plus dipandu teman-teman satu geng, aku menikmati perayaan dengan
minum sepuasnya.
”Tok,
tok, tok!”pintu kuketuk dengan kerasnya. Aku sempoyongan.
”Ya
Allah!”ibuku yang sudah memakai baju kebesarannya untuk tidur menangkap
tubuhku. Teler! Bau! Krah baju kaos yang kukenakan basah dilumur air-air
jahannam.
”Bruk!”aku
terlempar di sofa coklat rumah. Di bawahnya ada karpet, biasa aku duduki saat
menyantap sarapan dan makan malamku.
”Jadi
gini ya! Berani-beraninya mabuk tanpa sepengetahuan ibu! Siapa yang ngajak gini
tadi?”ibu memulai ocehannya.
”Ibu,
biarkan aku tidur sebentar ya,”nada suaraku lemas.
”Tidur?
Nggak tahu apa ibu cemas dari tadi!”
”Bu!”gertakku
bangkit ingin segera menuju kamarku.
”Nggak!
Jelaskan pada ibu dulu!”ibu menarik tangan menahanku.
”Plak!”pipi
ibu aku tampar. Melengos menyemat warna merah. Tak sadar aku melambaikan tangan
ini penuh emosi.
”Ohhh,
tega ya ma ibu! Ibu ini yang melahirkanmu Nak. Ibu yang mengurusmu sejak bayi.
Ini balasannya?”kulihat ibu mulai terisak tersedak-sedak.
Ku
berlari. Ah, ibu! Andai engkau tahu aku memang jengkel padamu. Aku rindu
pelukmu tapi engkau tak pernah menyambut kelapangan dadaku merengkuh tubuhmu. Meski
sekedar kuingin bersandar di pundakmu. Rindu aku ibu tatkala kecilku tidur
engkau menawarkan seribu kasih mengisahkan dongeng, membetulkan selimut, dan mencium keningku.
Ah, ibu!
Selanjutnya,
masih perihal diriku. Album sejarah melambangkan begitu keras hati dan otakku.
”Aduh! Kenapa benjol-benjol begini?”suara cempreng ibuku mendarat kasar di
landasan telingaku malam selepas isya. Aku terburu-buru mencari tempat
persembunyian aman dalam rumahku yang tak terlalu besar. Warisan turun menurun
dari keluarga mendingan bapak.
”Oi,
dasar maling tengik! Kembalikan tuh sandal-sandalnya!”tiga orang berteriak dari
luar rumah. Para jamaah masjid komplek perumahan menyerbu melampiaskan uneg-unegnya. Desas-desus kehilangan
sandal seminggu sebelum akhirnya pelaku dikonangi, sudah sempat mengalun-ngalun
dari mulut ke mulut.
”Brak,
brak, brak!”pintu usang rumah digebrak berirama cepat memekakkan telinga. Ibu
menghampiri dan membukanya.
”Ada
apa Pak?”
”Makanya
Bu, kalau punya anak diurus. Mana dia? Dia harus mengganti sandal jamaah yang
diembatnya. Untung tadi ketahuan!”
”Ya
betul!” serombongan jamaah lagi tiba-tiba datang berdemo menyerbu teras rumah
tak seberapa terang.
”Maling
sandal? Emang siapa yang maling? Berapa dia harus mengganti?”
”Anak
Ibu yang kurang kerjaan itu. Siapa lagi kalau bukan dia? Pokoknya ganti! Kami
nggak terima!”berontak mereka.
Ibu
mengeluarkan uang dari dompet kecil bunga-bunga di kantongnya. Disodorkannya
lembaran seratus ribuan sebanyak dua kepada pengurus masjid yang kebetulan juga
turut dalam rombongan. Ah, ibu! Aku terharu. Namun, bebalku malah semakin
tebal. Tak tergores kalimat taubat di gelaran luas hatiku. sejak ku SMP hingga akhirnya
kumat lagi. Padahal, ibu tak henti-hentinya, bak pahlawan angkatan 45
menegurku.
Hanya
bapak yang mumpuni. Aji-aji kanuragan yang dipunyai seolah menyalurkan energi
terapi menyembuhkanku. Entahlah, tiba-tiba aku manut. Persis seperti kelapa
muda tak menolak ketika diparut. Atau seperti cabe, bawang, dan gerombolannya
digerus-gerus menjadi bumbu ikan laut. Makanan favorit keluargaku. Hanya
sebentar. Dua tahun cukup, hingga lantai kamar mandi sialan itu menggelincirkan
kakinya, tumbang, terbentur, dan akhirnya bablas.
Ibuku
yang tersisa. Pemain cadangan yang menggantikan peran bapakku. Sungguh sempat
kumerasakan hal yang sama. Perjuangannya menyambung hidup kami, aku bilang bisa
diacungi jempol. Melayani guru privat tiap sore di rumah, tiga anak SD
bergantian dengan total upah enam ratus ribu per bulan. Tidak cukup memang,
tapi ibuku, itulah yang aku banggakan. Sepertinya sudah naluri keibuan pandai
mengatur uang. Bahkan sepeda motor yang kupakai ke sekolah dulu juga hasil
jerih payahnya. Ah, ibu! Jujur, sebenarnya aku pun melabuhkan sayangku
kepadamu.
***
Lampu
bundar redup di atap langit kamarku tergeletak masih belum menamatkan
riwayatnya, meski malam kian tenggelam. Aku, sebenarnya paling doyan berbaring
tanpa lampu memendarkan sinarnya. Tapi, tidak kali ini. On atau off sama saja.
Tak berasa, hambar memberikan sorotannya. Terkulai aku dua malam bak mayat
hidup. Aku pun enggan mengigau meski hanya sekedar melapangkan napas khawatir
ibuku. Sembujur kaku, khusyuk tanpa pemaknaan. Aku membatu.
Kerling-kerling
air mata meratap saksikan fakta. Ibu mendesah membuang resah. Hembuskan CO2
kesedihan. Berkali-kali sesosoknya mengeluhkan polah tingkah diriku. Aku adalah
pengkhianat, makhluk paling tega membuat ibuku mengurai butir-butir air suci
matanya. Ah, ibu! Mengapa lagi-lagi aku biang keroknya?
”Nak,
bangun dong Nak!”
Ibu
berbicara lembut melontarkan permintaan harap padaku. Tak kudengar, memang.
Namun, sentuhan tangannya menyapu-nyapu wajahku menggetarkan denyut-denyut
nadiku. Mengalir bersama darah, menembus dinding-dinding tulang menyampaikan
salam kasih yang lama kurindukan. Di mendungnya pagi, kurasakan ada hangatnya
mentari mengiringi kembang kempis jantungku. Itu, dari ibuku. Perempuan
berbadan dua itu setia menungguku. Rambut ikalku dirapikannya. Selimut penutup
sebagian tubuh bawahku dibetulkannya. Sengaja, meredam rasa duka jika ibuku tak
sengaja harus melihatnya. Kaki kananku diamputasi. Tulang penegaknya patah ketika
menghantam badan jalan dilindas roda mobil kijang. Aku mengerang di bawah pohon
besar pinggir jalan. Kejet-kejet bergerak kaget, lalu lunglai tak berkutik.
”Nak!
Bangun, Nak!”ibuku merayu lagi menutupi hidungnya. Ada ingus-ingus bening mbeler seiring dengan tangisnya. Tenang,
bukan ingus penyakit atau ingus gejala flu, tidak menular.
Aku
merengek patah-patah belum kuat membuka mata. Ada sakit tak berperi
mengogrok-ogrok, menyepak-nyepak sekujur tubuhku. Sekali lagi aku merengek.
Buru-buru, ibu menggenggam jemariku yang mendingin dibalut keringat merembes
melalui pori-pori kulitku.
”Ada
apa Nak? Ibu panggilkan dokter ya?”simbol khawatir menggurat di raut muka
ibuku. Beberapa detik saja. Aku merengek sekali lagi, lalu bungkam tak menyahut
lagi. Dalam waktu 4 sampai 5 jam lagi, menurut perkiraan dokter aku pasti akan
siuman. Ah, ibu! Itu terlalu lama.
Hening
bergeming di hari yang mulai merayap menuju ubun-ubunnya. Hilir mudik kendaraan
bervariasi banyak roda lalu lalang melintas di jalanan. Kecek-kecek pengamen
pun digoyang-goyang menciptakan irama monoton tak renyah didengarnya. Hidup di
kota memang harus berani pasang muka. Keras, banyak pergulatan manusia
sikut-menyikut mengais rezekinya. Ampun! Tapi tidak dengan ibuku. Cukup jadi
guru les privat tetangga-tetanggaku. Profesi yang tak terlalu kugemborkan di
hadapan teman-temanku yang rata-rata anaknya pegawai negeri. Aku malu. Kalau
dulu tidak begitu. Karena bapakku orang yang cukup mapan. Posisi mentereng di
sebuah penerbitan media kota mencuatkan keadaan ekonomi keluargaku. Aku berani
mengumbar sana-sini tentang status diriku. Padahal, tak pernah sedikit pun
orang tuaku mengajarkan itu. Namun, setelah sosok kepala keluargaku out, buyar pameran kemegahan itu. Ah,
ibu! Maafkan aku telah menilai kecil pekerjaanmu! Padahal dari jerih payahmu
aku bisa menyantap sepiring nasi komplit dengan lauk dan sayurnya. Pun
menunjukkan kegagahanku membuat manuver-manuver di jalan dengan sepeda motor
pemberianmu. Jelek memang yang kulakukan, tapi itulah aku.
”I-bu,
I-bu!”aku mengerang memanggil nama ibuku. Parau, seperti ada yang mengganjal di
leherku. Pantas! Ada gips putih melingkar menyangga dagu, mengangkat wajahku
mendongak sedikit ke atas. Ada sumbu kebahagiaan menyulut di lesung pipi ibu. Diraihnya
tubuhku. Dia mendekat menyalakan cinta mengusap-usap dahiku.
”Ka-ki-ku
sa-sa-kit!”aku meringis.
”Sabar
ya Nak,”ibu menunduk meleleh.
”Du-duk,”pintaku.
Seketika,
ibu mengganti posisi tubuhku. Diberdirikannya bantal putih penopang kepalaku.
Kutarik tubuhku mundur. Ada yang aneh. Tak seimbang antara kedua kakiku.
Jangan-jangan? Pertanyaan itu kulontarkan diam-diam mengetuk pintu hatiku. Lima
kali terus dan terus aku bertanya dalam hati. Ragu-ragu aku memberikan jawaban.
Tanpa pikir panjang lagi. Kusibakkan selimut loreng hitam putih ciri khas zebra
langsung dengan tanganku. Sontak, aku terperanjat. Kugigit bibir pecah-pecahku,
kering tak tersentuh air menahan turunnya hujan deras mataku. Sekali, dua kali,
tiga kali aku gigit, bisa. Setelahnya, meluber ke arah yang dia suka, menyapa
pipi, masuk pula ke mulutku. Tak sengaja.
”Tidak!”ratapku
histeris, menggema di seluruh ruangan.
”Sabar
Nak, sabar!”ibu memeluk tubuhku erat-erat, menghiburku.
”Tidak!”kugoyang-goyang
kepalaku. Kasur-kasur tak berdosa juga jadi sasarannya. Kuhantam berulang kali
dengan genggaman tanganku. Seperempat jam aku meronta, berontak
menjelek-jelekkan tuhanku. Betapa tak adil takdir-Nya bagiku. Kurang ajar, bisa
aku katakan begitu. Aku pun mulai menyalahkan ibuku lagi. Karenanya, kecelakaan
itu mampir dalam hidupku. Andai Rabu pagi itu ibu bisa lembut padaku soal
ijinku ke malam pesta ulang tahun temanku, maka nasib sialku ini pasti tak akan
terjadi. Ibu khawatir aku mabuk-mabukan lagi. Ah, Ibu! Aku kecewa. Tiga kali
sudah aku memohon. Akhirnya, kupasang kuda-kuda mengembara dengan sepeda
motorku.
”Ke
mana kamu? Dibilangin orang tua selalu aja nggak didengerin!”kubiarkan menguap
omelan ibuku saat itu.
Kutancap
gas. Kecepatan tinggi. Lenyap ditelan bumi yang mendengar dendam kesumatku pada
ibuku. Lagi-lagi ibu melarangku. Menyekat-nyekat hidupku. Dengan petuahnya yang
terlalu kuno untukku. Sepeda motor melaju berteman sungut mulutku. Terkoyak aku
hingga sampai di lintasan rel kereta api kecelakaan itu akhirnya merenggut kaki
kananku. Uhhhhh! Sebel!
Aku masih shock! Suara tangis ibu mendekapku menambah riuh suasana kamar
kecil itu. Bergetar, seolah ada gempa dengan kekuatan beberapa skala richter. Dokter dan perawatku turun tangan,
berhasil membius teriakan dan polahku, protes terhadap nasibku.
***
Itu
dulu. Aku termenung, kini. Bersandar pada kursi goyang rotan, tahta almarhum
bapakku sambil membaca koran. Aku menerawang jauh menembus batas pandangku di
teras rumahku. Malam hari tatkala gelap mulai menyembunyikan awan di langit
yang sudah tak tampak biru. Kecoa-kecoa liar berjalan malu-malu melintas di
depanku. Pun, geming-geming angin menyusup dingin ke dalam kudukku. Perlahan
tapi pasti, air itu menetes memberi sentuhan baru di lembehan lengan tanganku.
Hal yang sebenarnya paling tabu bagiku sebagai seorang laki-laki. Pantang
cengeng apalagi sampai menangis.
Lagi-lagi,
itu dulu. Di saat aku tuli. Menutup rapat-rapat telinga kanan dan kiri. Ketika
jengkel dan nasib buruk kuciptakan sendiri. Ibu menyusul bapakku. Terpeleset di
kamar mandi. Licin. Karena ulah yang sama saat bapakku mati. Aku malas menguras
meski aku sudah tahu itu adalah tugas rumahku. Bahkan ibuku pun tak jera
memberi peringatan padaku. Ah, ibu! Aku sendiri, kini. Empat adik kau warisi,
tak tahu bagaimana kumengurusi. Terbayang kesulitan nan pernah kau lakoni
sampai-sampai menyita waktumu bermanja diri. Aku kian menunduk lesu. Menggunung
rasa sesal menyarat di sekujur relung hatiku. Ah, ibu! Maafkan aku! Maaf, aku
tuli terhadap nasehatmu. Egoisku mampu mengalahkan logika dan rasa empatiku.
Tak pernah kurasakan betapa sulit engkau menghidupiku.
”Andai
aku tak tuli, andai aku tak tuli,”kumendesah menghembuskan napas sesalku.
”Maaf,
aku tuli, Ibu!”pelan dan lirih sambil kuelus-elus dadaku.
keren cerpennya Mba....Salam kenal
BalasHapusterima kasih, masih belajar mbak
Hapus