“Ma,
enaknya pagi-pagi begini ngapain ya? Mumpung masih libur sekolah nih!”tiba-tiba
Lutfiah menyeletuk mamanya yang ada di dapur.
“Lha
mau ngapain sayang? Gimana kalau bantu mama masak sekarang. Biar cepat selesai
juga, biar cepat sarapan,” Bu Ridho menawarkan.
“Ehm,
boleh-boleh.”
“Oke,
sekarang tolong bantu mama ambil telur di kulkas sebanyak 4 ya!”
Lutfiyah
langsung melangkahkan kaki. Diambilnya telur sebanyak 4 lalu diberikannya
kepada mamanya.
“Ok,
terima kasih sayang! Nah, sebelum kita masak telurnya, mama mau tanya dulu sama
adik Lutfiah.”
“Katanya
mau masak, kok pakai pertanyaan segala, Ma.”
“Nggak
apa-apa, biar masaknya nggak bisu, nggak sepi.”
“Oh.
Ok, Lutfiyah siap!”
“Dari
4 telur yang kamu ambil tadi, mana yang mirip bola?”tanya Bu Ridho.
“Yang
mana ya? Sepertinya nggak ada. Kan bola itu bulat penuh, Ma.”
“Coba
dilihat lagi dengan lebih teliti!”
Lutfiyah
memandangi kembali 4 telur yang diambilnya tadi. Diamati satu per satu, tapi
bentuknya tidak ada yang seperti yang ditanyakan mamanya. Bola itu kelereng,
bola itu bola tenis, bola pingpong. Telur bukan bola. Demikian yang dipikirkan
Lutfiyah.
“Nggak
ada yang bentuknya seperti bola, Ma!”
“Benar?
Coba simak kembali pertanyaan mama tadi! Manakah dari 4 telur tadi yang
bentuknya mirip bola?”
Lutfiyah
diam sejenak. Dicernanya kembali pertanyaan ulangan dari mamanya.
“Mirip
bola? Oh ya, yang ini Ma. Yang agak kecilan ini!”
“Pinternya
anak mama. Emang yang lain kenapa nggak mirip bola?”
“Yang
lain lebih panjangan. Nggak bulat-bulat amat.”
“Kok
bisa tahu?”
“Kan
mama yang suruh Luthfiyah teliti lagi!”
“Kira-kira
kalau mama berkata bahwa kemarin Luthfiyah marah karena nggak dibelikan mainan
sama papa, gimana?”
“Ya
marah! Kan bukan karena itu!”
“Kenapa
marah?”
“Ya
bukan karena itu!”
Telur
mirip bola. Namanya saja mirip, bukan seperti. Tapi, karena justru
namanya mirip, maka butuh kejelian apakah telur tersebut benar-benar mirip bola.
Butuh kejelasan melihat. Teliti. Bahkan, butuh kejelasan mendengar, jika memang
kabar yang didengar masih samar-samar. Tak perlu berprasangka buruk karena itu
berbahaya.
Buku Seven Habits for
Teens karangan Sean Covey juga menceritakan bahayanya berprasangka buruk.
Ada seseorang bernama A sedang menunggu kedatangan pesawatnya di ruang tunggu
keberangkatan bandara. Karena
bosan, ia ingin sekali memakan makanan ringan yang ia beli sebelumnya. Makanan ringan itu belum dimakan,
tiba-tiba seseorang bernama B mengambilnya dari tempat duduk di sampingnya dan
tanpa minta izin langsung membuka dan memakannya. A langsung kaget.
A segera merebut kembali makanan ringan tersebut dari tangan
B, kemudian memakannya dengan penuh emosi. Karena
jengkel, B pun mencomot makanan yang telah direbut sama A lagi. A merebutnya
lagi lalu segera menghabiskannya.
Begitu akhirnya pesawat tiba. Dan A sudah duduk di dalamnya,
alangkah terkejutnya ia ketika membuka tas, rupanya makanan yang ia beli masih
berada di dalam tasnya. Berarti, makanan
ringan yang tadi ia makan adalah milik B.
Seram, bukan? Alias ngeri! Bisa juga memalukan! Maka,
itulah yang sedang ditumbuhkan dalam diri Luthfiyah oleh mamanya. Sikap
berprasangka, hindari prasangka buruk. KH Abdullah Gymnastiar berkata bahwa su `udzon atau berburuk sangka dapat membuat hati kita menjadi busuk karena
apapun yang kita sangka akan mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita
bersikap, dan cara kita mengambil keputusan. Berbahagialah
bagi orang-orang yang bisa berkhusnudzon atau berbaik sangka.
keren mbk analoginya dalam menumbuhkan sift positif thinking hehe...
BalasHapus