Ehm,
sebentar lagi tahun ajaran baru akan datang. Anak-anak yang sekolah sebelumnya
pun deg-deg-an bagaimana hasil rapornya. Akankah tuntas untuk seluruh mata
pelajarannya? Jika ada yang faktanya belum tuntas pun, orang tua dan guru
berupaya semaksimal mungkin agar ke depannya si anak ada peningkatan.
Ramadhan
juga datang setiap tahun. Setiap muslim yang beriman merasakan kehadirannya.
Rapornya pun ada dan berbeda-beda hasilnya. Tentunya, tak ada yang berharap ada
nilai merah di sana. Berlomba-lomba dalam kebaikan menjadi ujung tombak
bagaimana meraih kemuliaan Ramadhan.
Para
salafusshalih bahkan sangat bergembira dengan datangnya Ramadhan. Mereka
menyingsingkan lengan agar Ramadhan bisa dijalani dengan maksimal. Rasulullah,
selama Ramadhan menutup buku-buku lalu mengambil mushaf dan membacanya di
masjid. Di sela-selanya, Nabi berwudhu. Ramadhan adalah bulan Al Quran. Imam
Ahmad demikian halnya. Beliau tinggalkan sementara urusan fatwa, lalu duduk
berdzikir melantunkan kalam Allah.
Ramadhan
itu sakral. Namun, kerinduan akan kesakralan itu memang membutuhkan energi yang
membumbung tinggi. Diperlukan tingkat pemahaman yang memadai agar Ramadhan
pergi menyisakan gelar taqwa hakiki. Namun, begitulah manusia. Kadang tidak
mengerti. Kendala manajemen waktu yang belum terlatih sehingga masih
menyibukkan manusia pada hal-hal yang semestinya tak menjadi prioritas. Masih
ada peluang manusia menghibur diri justru bukan dengan mendekatkan diri pada
sang Illahi. Astaghfirullah. Menuliskan hal ini sungguh sebagai cambuk bagi
diri. Mari kita perbaiki!
Ada
banyak teladan yang bisa kita ambil agar rapor Ramadhan kali ini tidak merah.
Ibnu Syarahil contohnya. Kesenangannya bersujud, bersimpuh tunduk takut
pada-Nya menyebabkan keningnya termakan tanah. Abdullah bin Zubair, saking
nikmatnya menegakkan sholat di Ka’bah sampai-sampai tak terasa sudah dihujani
batu-batu oleh orang kafir. Ustman bin Affan selalu khatam setiap harinya dan
Umar bin Khattab yang selalu meneteskan air mata dalam sholatnya hingga ada
bekas hitam di pipinya. Ibadah mereka benar-benar sakral. Benar-benar karena
merindukan Ramadhan didorong kecintaan mereka kepada Allah.
Lantas,
akankah rapor Ramadhan kali ini merah? Saya, Anda, dan semua muslim berharap
tidaklah demikian. Jangan sampai ada yang menodai Ramadhan kali ini. Yah, tentu
semuanya harus kembali kepada tekad diri. Noda yang akan meninggalkan noktah
merah pada rapor di bulan madrasah ini harus kita cuci.
Pertama,
sebisa mungkin jika bukan karena udzur yang diperbolehkan syariat, hindari
perbuatan yang malah merendahkan kehormatan kita. Hanya karena haus yang
mendera, kita rela membatalkan puasa. Lihat saja, bahkan ada warung nasi juga
tetap buka meski dengan malu-malu melayani manusia yang menaruhkan kehormatan
diri.
Kedua,
noda yang harus kita cuci adalah lalai dengan keutamaan Ramadhan. Bukankah
Allah sudah menyediakan surga Ar Rayyan untuk hamba-Nya yang sungguh-sungguh
berpuasa? Bukankah Al Quran juga akan memberikan syafaatnya kelak di akhirat
jika momentum Ramadhan diisi dengan memperbanyak interaksi dengannya? Bukankah
amalan sunah pahalanya seperti amalan yang wajib, dan setiap kebaikan
dilipatgandakan sampai 700 kali lipat? Sungguh, sebenarnya kita sangat
membutuhkan Ramadhan untuk menambal keburukan dan menambah kebaikan.
Ketiga,
hawa nafsu. Ah, noda ini memang ada di mana-mana, tak terkecuali pada bulan
penuh ampunan ini. Ada karena memang sengaja tidak dibersihkan. Hal-hal sepele
malah bisa menyebabkan rapor Ramadhan menjadi merah. Berbuka berlebihan seolah
balas dendam. Parahnya lagi, di akhir Ramadhan malah banyak yang kendur iman.
Pusat perbelanjaan lebih ramai dikunjungi daripada menyepi berkhalwat dengan
Allah. Iming-iming Idul Fitri dengan makna yang keliru lebih mendominasi
daripada takut ditinggal pergi Ramadhan, madrasah sejati.
Terakhir,
faktanya kita juga masih menodai Ramadhan dengan perbuatan buruk kita. Lisan
berkata kotor, menggunjing, dan berkata yang tiada gunanya. Demikian juga
anggota tubuh lainnya. Astaghfirullah!
Akankah
rapor Ramadhan kali ini merah? Semua tergantung kesungguhan dan azzam kita.
Ingin Ramadhan memberi bekas peningkatan iman ataukah Ramadhan berlalu tanpa
pasokan ruhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar