Rabu, 14 Agustus 2013

SPK Pertama

“Ayah, bunda baru saja dapat SPK dari penerbit. Isinya tentang royalty yang akan bunda dapatkan jika setuju naskah buku bunda diterbitkan. Gimana nih?” sms Nuri kepada suaminya.
“Emang nominalnya berapa? Sistem royaltinya gimana?” balas Ridwan.
“2 juta rupiah. Beli putus lagi. Gimana? SPK harus segera dibalas.”
Ridwan ternyata keberatan jika naskah istrinya hanya dibayar segitu. Padahal dia tahu untuk mengerjakan naskah tersebut jalan yang ditempuh istrinya lumayan butuh tenaga. Malam-malam melembur untuk mengerjakannya.Menahan kantuk, meminta tolong tetangga untuk membantu membuatkan alat peraganya.
“Coba lobi pihak penerbitnya bisa tidak harganya dinaikkan!” balas Ridwan lagi.
Nuri pun mencobanya. Alhasil, malah dia kena semprot pihak redaksi penerbitnya. Yang katanya dia penulis amatiran, yang katanya dia belum tahu dunia kepenulisan. Ada kecewa dalam benaknya.
“Lihat nih, gara-gara ayah, bunda diolok-olok kayak begini. Padahal bunda kan nanyanya dah baik-baik.”
“Ya udah sekarang enaknya bagaimana? Coba tanya teman bunda yang sudah berkali-kali bukunya diterbitkan, mungkin ada solusi.”
Akhirnya Nuri menghubungi temannya yang penulis juga. Lewat SMS juga karena ada jarak yang memisahkan mereka. Temannya memberi saran agar SPK tersebut diterima saja.
“Sebagai langkah awal, Mbak. InsyaAllah ke depannya Mbak akan produktif. Seneng lho buku bisa terbit itu, karena nembus penerbit itu susah-susah gampang.”
“Iya sih Mbak. Dulu niat awalnya juga memang agar buku saya yang bisa terbit ini bisa bermanfaat. Bisa menginspirasi. Bukan untuk mengejar materi.”
SPK balasan sudah dilayangkan kembali oleh Nuri. Uang royalty juga sudah dia dapatkan dari penerbit. Syukur yang tak terhingga dia panjatkan kepada Allah sebesar-besarnya. Dia tak peduli berapa eksemplar bukunya sudah laku. Nuri hanya berharap bukunya bisa membawa kebaikan kepada orang lain.
“Mbak, saya Desi. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi. Alhamdulillah, saya suka sekali dengan buku yang ditulis oleh Mbak Nuri. Sangat membantu skripsi saya. Bisa tanya-tanya lagi tentang isi buku itu Mbak?”
Air mata Nuri langsung pecah. Ya Allah, sebegitunya? Bahagia tumpah ruah mengisi rongga dadanya. Tak bisa berkata-kata. Minggu sore itu benar-benar dia merasakan syukur yang memuncak tiada tara. Dia layani SMS mahasiswa itu dengan senang hati. Ya Allah, benarkah? Seakan Nuri tak percaya. Apalagi di kesempatan lain dia pun pernah mendapatkan SMS yang serupa.
“Siang Mbak. Saya penggemar buku yang ditulis oleh mbak. Adakah versi lain untuk bisa diterapkan di bidang saya?”
Oh, syukur itu kembali menyeruak. Belum lagi teman Nuri yang ada di pulau lain juga minta dikirimi buku tersebut karena di daerahnya, di toko bukunya tak ditemukan buku tersebut.
“Ayah, bunda senang kok buku bunda bisa terbit. Biar bisa menyemangati bunda.”
Ridwan tersenyum. Motivasi yang tinggi pun diberikannya kepada istri tercinta agar ketertarikannya di dunia menulis bisa terus berlanjut dan membawa berkah.
***
Ridwan sedang di luar kota. Nuri selepas mengantar anak sulungnya ke sekolah dan menitipkan adiknya ke tetangga segera meluncur ke stasiun menuju Jakarta. Ada acara yang harus dia ikuti sampai dhuhur tiba. Di tengah-tengah acara Nuri juga nampak sibuk mengontrol anaknya yang diasuh tetangga dan si sulung apakah sudah dijemput atau belum. Pikirannya tak tenang, namun Nuri tetap berkonsentrasi dengan acara yang diikutinya. Lemper, kue sus, aneka kue lainnya tak menarik baginya untuk diincipi. Nuri tak sabar menunggu pengumuman lomba nulis yang diikuti.
“Pemenang kedua dari lomba ini adalah ….,” si MC sengaja membuat jantung lebih berdebar. Dia tidak melanjutkan perkataannya, malah mengatakan bahwa hadiahnya untuk pemenang kedua adalah sebuah gadget senilai 4 juta.
“Ya Allah, alhamdulillah, aku menang juara 2,” Nuri kaget setelah akhirnya namanya disebut. Dia pun langsung mengirim SMS suaminya yang ada di luar kota. Pulang dengan membawa rasa bahagia yang tak bisa diungkapkan kata-kata.
“Aku akan terus menulis. Lagi dan lagi. Mau dapat uang atau tidak aku tak peduli. Hidup terasa lebih aku nikmati dengan menulis. Moga bermanfaat dan menjadikan pembacanya, termasuk aku yang menulisnya agar lebih baik lagi. Ya Allah, bantu hamba-Mu ini,” doa Nuri.
“Amin! Tapi jangan lupakan aku ya!” tiba-tiba Ridwan muncul di balik kamar. Nuri tersenyum renyah menatap suaminya tercinta.
“Emang kenapa?”
“Kalau sudah nulis susah dibendung.”
Tawa kecil keluar dari mulut Nuri. Ridwan juga nampak bercanda rupanya. Toh, sejak awal menikah Ridwan memang tak pernah melarang Nuri melakukan kesenangannya, asal tak sia-sia. Di dunia dan di akhirat tentunya.
“Semua gara-gara SPK pertama itu, Ayah. Bunda bersyukur banget. Dan ternyata Allah memberikan lebih setelahnya. Bunda jadi bergairah menulis lagi,” Nuri berkata ketika sedang berduaan dengan suaminya di kamar.
“Iya. Siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Tapi bunda harus menjadikan pengalaman sebagai media belajar.”
“Ok!”

Malam semakin gelap. Nuri dan Ridwan akhirnya juga terlelap. Nyamuk-nyamuk malam siap melebarkan sayap. 


2 komentar: