Semua
penuh pertimbangan. Ya akal, ya kepasrahan total. Tentang akal. Manusia memang
dikarunia akal untuk berpikir, berdaya, dan terus belajar. Kelahiran anak
pertama dan anak kedua yang tidak mengalami persalinan normal membuat saya
terus belajar, apakah yang kehamilan yang ketiga bisa lahir normal? Ya, bisa.
Saya berselancar menyelami google banyak kasus ibu berhasil vba2c. Tentu dengan
keadaan kehamilan yang memang sehat dan baik-baik saja. Bahkan saya berhasil
chatting dengan seorang ibu yang berhasil vba3c. Ehm, sudah 3 kali secar dan
anak keempatnya berhasil lahir normal. Perjuangan yang luar biasa. Pemberdayaan
yang tiada henti. Keyakinan sukses yang perlu diacungi jempol. Saya tak ingin
ketinggalan. Saya pun berusaha memberdayakan diri. Saya berusaha yoga prenatal
minimal 3 kali seminggu, menerapkan pola makan sehat, berusaha tidak stress
meski anak dua dan banyak urusan lainnya. Alhamdulillah, kehamilan ketiga jauh
lebih sehat, badan ringan, dan lebih produkti dibanding kehamilan sebelumnya.
Kecuali nulis sih, mulai Maret sampai melahirkan memang belum maksimal.
Yoga.
Olahraga ini memang membuat tidur saya lebih nyenyak. Terlebih pikiran saya
lebih positif. Cukup banyak mengurangi rasa stress saya. Latihan napas dalam
yoga sangat membantu bahkan dalam kondisi dua anak saya tidak bisa kompromi.
Napas, napas, napas. Inilah yang dibutuhkan ketika persalinan normal. Mendengar
cerita banyak ibu sukses melahirkan normal dengan lancar dan mudah hanya dengan
napas ini, meski sebelumnya secar membuat saya kagum dan berusaha tidak
meninggalkan yoga ini. Bahkan ketika usia kehamilan 37 minggu, selain yoga saya
juga olahraga dengan bola pilates. Kepala bayi jadi lebih turun, turun, dan
turun.
Pola
makan sehat. Ehm, selama saya hamil, berat badan saya hanya nambah 8 kg saja
lho. Sejak usia kehamilan 35 minggu berat badan nggak naik-naik, tapi berat
badan bayi nambah. Bahkan, anak yang ketiga ini lahir berat badannya lebih
besar dibanding kakak-kakaknya. Saya menerapkan food combining. Hasilnya, badan
memang enteng karena saya tak sembelit lagi. Hamil mau kemana aja jadi nggak
terasa berat. Sampai usia 35 minggu saya masih sepeda motoran ke mana aja lho,
bawa anak 2 lagi.
Asyik
deh menjalani kehamilan anak ketiga ini. Namun, ketika jelang HPL keadaannya
lain. Keponakan yang sejak usia kehamilan saya 38 minggu di rumah, dengan
tujuan jika saya mules sewaktu-waktu mau lahiran, dia bisa menemani Qowiyy dan
Nasywah, mendadak harus pulang. Suami mulai bingung. “Ya udah, biarin aja pulang,
nggak usah disuruh balik ke sini lagi! Takutnya ntar masih ada keperluan lagi
terkait sekolahnya. Anak-anak gampang lah, ntar dipikirkan!” kata saya.
Dan tak
menyangka di usia kehamilan 39 minggu, bangun tidur malam saya merasakan
sesuatu. Celana dalam kok basah? Saya ke kamar mandi. Ternyata keluar flek
lendir berwarna merah muda. Kata teman dan bidan, itu tanda akan melahirkan.
Ditunggu saja sampai kontraksi muncul dan amati. Namun selama sepekan saya
hanya merasakan kontraksi-kontraksi palsu saja. Selama sepekan itu pula setiap
hari saya selalu memakai “pampers”. Saya mengeluarkan cairan terus, namun bukan
air ketuban. Kadang lengket bening, kadang merah muda lendirnya. Saya tidak
tahu apakah itu. Dan kontraksi palsu itu selama 3 hari jelang lahiran saya
rasakan semakin hebat dan sakit. Meski timbul lalu menghilang, namun ketika
muncul sakitnya luar biasa. Biasanya ketika perut kenceng, saya pakai yoga
enakan rasanya. Ini tidak. Badan rasanya sakit semua. Dipakai tidur miring
sakit, telentang juga sakit. Apalagi di bagian pinggang. Dan selama 3 hari itu
saya tidak bisa tidur. Badan agak enakan jika dipakai jalan kaki. Tapi malam
hari, tak mungkin bukan saya jalan kaki terus? Sesekali saya tidur dengan
posisi nungging sambil mengelus-elus pinggang. Tapi ya tidak bisa bertahan
lama. Mana enak tidur nungging, lama-lama pegel juga. Alhasil selama 3 hari itu
saya nge-drop. Kurang tidur. Terutama malam hari.
Lalu,
berbincanglah saya dengan suami malam itu.
“Jadinya
gimana?” tanya suami.
“Ya
nunggu,” jawab saya tenang.
“Yang
jaga anak-anak siapa? Nggak mungkin kan ketuk-ketuk pintu tetangga? Apalagi
jika mulesnya malam? Sebisa mungkin janganlah repotkan orang lain!” kata suami
lagi.
Saya
terdiam. Iya, ya. Saya pun juga sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain.
Kalau mulesnya pagi, anak-anak memang bisa dititip di daycare. Tapi kalau
penuh, ya, nggak bisa juga. Apalagi anak-anak saya bukan tipe yang cepat akrab
dengan orang lain. Kami pun tak ingin merepotkan orang tua di kampung untuk
datang. Ibu saya sejak keluar dari rumah sakit karena terserang vertigo saya
larang untuk bepergian sendiri. Apalagi pekerjaan ibu sebagai guru juga tidak
bisa ditinggal. Bapak jadi ojek ibu setiap hari. Adik saya juga lagi hamil tua.
Ibu mertua sudah sering sakit-sakitan juga. Kakak ipar tangannya masih sakit
habis kecelakaan. Ya,otomatis memang tidak ada yang menjaga anak-anak.
“Terus,
ayah tuh nggak bisa nunggu begini. Bukan tidak setuju lahiran normal, tapi ayah
tak bisa terus berkompromi dengan pekerjaan! Ayah tak bisa siaga terus jika
sewaktu-waktu lahiran!”sahut suami lagi.
Aha!
Saya kembali diam, bahkan lebih menutup mulut dengan rapat. Saya baru sadar dan
ingat kalau suami sejak sebelum puasa sudah menjadi tim khusus langsung di
bawah Dirjen. Suami sering rapat, lembur, dan dinas luar kota. Tiap minggu
hampir nggak pernah kosong. Sabtu atau ahad saja juga adakalanya lembur di
kantor. Bahkan pas ramadhan orang kebanyakan pulang lebih awal, suami sering
pulang malam. Nah, sejak usia kehamilan saya 38 an minggu, suami tidak dinas ke
luar kota. Ijin dengan atasannya. Namun, ya tidak bisa lama-lama. Apalagi jika
memang tak ada orang lagi yang bisa menggantikan pekerjaannya.
Ya
Allah. Rasanya tak karuan dada saya. Saya juga nggak rela kalau sampai suami
saya ditegur atasan karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik.
Bagaimanapun suami bekerja juga niat karena ibadah kepada Allah. Bagaimanapun
suami juga harus bisa tawazun. Ya keluarga, ya bekerja. Kalau suami lagi dinas
luar kota lalu tiba-tiba saya mules mau lahiran, bagaimana?
Semalaman
saya tidak bisa tidur. Pagi hari ketika suami tidak di rumah, saya berusaha
konsultasi dengan 2 orang teman saya yang saya anggap bisa membantu masalah
saya. “Gentle birth itu tak harus dipaksakan untuk normal. Dan sebisa mungkin
proses persalinan itu tidak membuat kekhawatiran. Ingat dulu pas melahirkan
anak kedua, Mbak! Jika operasi lebih menenangkan banyak pihak, itu juga gentle
birth.”
Teman kedua saya berkomentar lain,
namun lebih menusuk ke hati saya. “Mbak sudah berusaha maksimal, tapi kalau dah
jelang melahirkan begini, saya lebih memilih untuk taat pada suami, Mbak.
Kondisinya sepertinya tidak memungkinkan untuk persalinan normal. Mungkin, tapi
mudharatnya jauh lebih besar. Lagi pula, besar pahalanya soal ketaatan istri
kepada suami.”
Saya tak bisa menahan tangis. Ya,
saya menangis tak henti-henti. Saya lihat Qowiyy dan Nasywah, iya ya bersama
siapa mereka jika tiba-tiba saya harus ke dokter/bidan? Lalu saya berkaca pada
diri sendiri. Iya ya siapa yang bisa mengantar dan menunggui saya ketika harus
ke dokter/bidan kala kontraksi rutin sudah terjadi sedang suami dinas luar
kota? Mungkin saya bisa pergi sendiri naik taksi, anak-anak?
Bismillah. Akhirnya saya pun
memutuskan untuk melakukan persalinan secar. Saya chat dengan dokter.
Alhamdulillah cepat nyambung. Saya kabarkan kepada suami saya soal keputusan
saya. “Bener?” tanyanya. Saya mengangguk. Suami tak tanya alasannya. Tapi itu
jauh menentramkan hati saya. Setelah diskusi dengan teman, saja jadi lega.
Makanya berani mengambil keputusan ini.
Persalinan secar pun terjadi. Bayi
perempuan mungil pun hadir di dunia ini. Ditemani suami sendiri di rumah sakit.
Pulang dari rumah sakit juga sudah harus repot dengan pekerjaan rumah tangga.
Suami harus kerja lagi esoknya. Ya dibantu suami sih kalau pagi dan malam hari.
Namun, hanya 5 hari. Selepasnya suami sudah lembur dan dinas luar kota lagi.
Sampai saat ini. Tiap pekan paling tidak 3-4 hari. Namun Alhamdulillah, dengan
banyak bergerak, saya justru cepat pulih dan beraktivitas lagi.
Secar bukan kesasar. Paling tidak
ini yang saya rasakan. Saya tak tahu apakah keputusan saya benar, namun saya
tenang dan hati rasanya tentram ketika memutuskan.