Sudah sebulan lebih dia tak ada
di sisiku. Padahal aku baru saja menemukannya dan belum sempat mengenalnya
lebih dekat. Apalagi untuk bisa mendapatkannya aku harus berjuang mati-matian. Banyak
saingan.
Maih kuingat lekat dalam memori
otakku. Dia memakai baju warna hijau bergambar kupu-kupu. Namun, perpaduan
warnanya dengan putih semakin mempercantik warna hijaunya. Berseri dan
menggiurkan mata untuk selalu melihatnya. Mungil dan ingin menyentuhnya kulit
halusnya.
“Jangan sampai terulang kayak
aku, Sas!” tegur temanku ketika mendengar bahwa aku sedang merindukan dia yang
sudah sebulan lebih belum lagi bersua.
“Emang kenapa?”
“Aku sudah pernah dibohongi.
Uangku diembat sama dia, tak dikembalikannya. Aku tagih juga tak
dikembalikannya. Padahal banyak. Kapok aku!”
“Masak sih?”
Temanku yang seangkatan kuliah
meski beda jurusan ini mengangguk tanda ingin meyakinkanku. Di lantai dua kami
masih melanjutkan diskusi tentangnya. Aku semakin khawatir. Jangan-jangan dia
akan berbuat yang sama terhadapku. Wah, ini tak boleh terjadi.
***
Siang itu aku juga tak
menemukannya. Di kamar seukuran 2 x 4 meter itu aku juga kehilangan jejaknya. Tentu
setelah aku bertanya kepada penghuni lain di kamar itu. “Oh, kemana dia? Aku
tak mau kehilangannya. Susah payah aku mendapatkannya,” batinku berkata. Namun,
kata-kata temanku masih saja terngiang, menari-nari di kepala seolah enggan
pergi.
SMS yang aku layangkan juga tak
memberi info dimana keberadaannya sekarang. Dia seolah menghilang, lenyap ditelan
bumi. Tak ada kabar. Aku semakin rindu. Membuncah dan melayang. Tak sanggup
rasanya jika harus kehilangannya. Mencari yang sama seperti dia belum tentu ada
lagi. Dia yang pertama mengisi hati ini. Meliriknya ketika itu sudah membuatku
jatuh hati sampai aku harus berkata,”Ya, aku harus memilikinya.”
Tak kenal menyerah, aku pun
menuliskan sepucuk surat tentang kerinduanku kepadanya. Lama sudah jemari ini
tidak memegang pena untuk menulis, akhirnya menorehkan kata-kata yang
coretannya tak cukup bagus, namun masih bisa dibaca. Ah, yang penting isinya.
Aku ingin melalui surat itu kerinduanku terungkap. Kangennya bisa diketahui
dengan jelas, dan dia akan kembali kepadaku.
Lel, maaf ya, bukuku masih ada di kamu kan?
Aku sekarang lagi pingin membacanya nih. Aku harap kamu nggak menghilangkannya,
soalnya buku itu aku beli dengan hasil jerih payahku sendiri. Tahu sendiri kan,
ketika itu aku bisa membelinya, namun belum tentu sekarang aku bisa membelinya
lagi karena bisa jadi sudah nggak terbit lagi. Meski itu hanya 20 ribu
harganya, tapi aku suka buka itu. Karena buku itu aku nggak jajan seminggu ini
karena uangnya aku kumpulin untuk beli buku itu. Maaf ya, moga kamu nggak marah
ya?
Salam hangat,
Sasti
Syukurlah, suratku sampai ke
tangannya dan buku mungil dengan cover tebal warna hijau putih itu kembali bisa
aku baca.
*421 kata