sumber:google |
Musim ujian memang telah usai. Sekarang anak-anak lagi
semangat mengisi hari libur mereka. Namun, ada juga yang masih sibuk mencari
sekolah jenjang baru yang pas untuk menimba ilmu. Sang guru pun sibuk
menyiapkan tahun ajaran baru. Ada yang menyiapkan RPP, program semester,
silabus, dsb. Ada pula yang giat mengikuti seminar/pelatihan pendidikan. Namun,
sering kali satu hal ini justru terlewatkan.
Sebuah percakapan sederhana terdengar di telinga saya
beberapa waktu yang lalu. Dua orang guru sedang mengobrol. Guru yang lebih tua mengeluhkan
siswanya banyak salah menjawab ketika ujian bahasa Indonesia. Khususnya pada
pertanyaan bahan bacaan. Anak-anak malas membaca. Buru-buru dan cenderung tak
mengerti maksudnya. Meski sudah diingatkan kembali, anak membaca sekedar
membaca, tanpa sungguh-sungguh memaknai isinya. Dan keseharian mereka memang
jauh dari membaca. Guru yang lebih muda mempunyai kisah yang sama.
“Anak-anak sekarang malas kalau disuruh baca.”
Jawaban salah seorang guru itu lebih membuat saya terkejut.
Bagaimana dengan gurunya? Suka baca kah? Tidak juga. Padahal, semestinya
kebiasaan ini sudah menjadi makanan guru setiap harinya. Gurunya saja tidak
doyan membaca, bagaimana dengan anak didiknya? Kontradiksi sekali bila guru
menuntut mereka bisa dengan mudah memahami bacaan yang cukup panjang di soal.
Kebiasaan gemar membacanya saja tidak dibangun.
Tak semua guru demikian. Di Surabaya, ada sekolah yang mewajibkan
guru-gurunya untuk membaca sepekan sekali. Buku yang dibaca bisa meminjam di
perpustakaan sekolah. Setelah membacanya, setiap guru diwajibkan untuk membuat
rangkuman isinya. Kebiasaan ini juga dilakukan anak didik di sekolah itu.
Setiap beberapa hari sekali merekadiwajibkan pinjam buku di perpustakaan. Jam
istirahat ramai dengan siswa yang memilih buku di sana. Ada yang dibaca
langsung, ada juga yang membawanya pulang untuk dibaca.
Ternyata, budaya membaca memang menjadi salah satu jaminan
mutu sekolah itu untuk setiap lulusannya. Tak heran, setiap waktu buku di
perpustakaan senantiasa ada yang baru. Lengkap koleksinya. Wajar, jika guru dan
siswa senang meminjam buku dari sana. Bahkan, karena budaya ini, guru dan siswa
di sana sering sekali menjadi juara lomba yang melibatkan kemampuan menulis.
Membaca membuat paham. Menuliskannya lagi akan melekatkan
pengetahuan. Namun, faktanya, tidak semua kondisi sekolah bisa seperti itu.
Termasuk sekolah dua guru yang tengah bercakap-cakap tadi. Sekolah dimana guru
yang lebih tua mengajar ada di kota. Sayang, koleksi buku di perpustakaannya
sedikit dan sudah using. Jarang dibuka hingga lusuh dan berwarna coklat.
Sekolah guru satunya memang tak punya perpustakaan. Tempatnya terpencil di
perkampungan. Benarkah guru harus bergantung dari buku di perpustakaan sekolah
untuk bisa membaca?
Membaca sangat tergantung kepada niat dan minatnya untuk
membaca. Banyak orang tak punya koleksi buku di rumah bisa banyak membaca entah
bagaimana caranya. Begitu sebaliknya. Banyak yang punya judul buku, tapi hanya
menghias rak di rumah. Guru mestinya punya semangat tinggi untuk membaca.
Kekuatan niat untuk melakukannya harus ada, apalagi posisi guru menjadi teladan
bagi siswanya.
Guru membaca? Pasti bisa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar