Dimuat di Nakita Januari 2015 |
Membangun
karakter positif pada anak dibutuhkan pembiasaan (Indari Mastuti)
Jangan
dikira kalau anak usia balita tidak mengerti tentang “mimpi”. Memang, ketika
orang tua bertanya,”Nak, apakah mimpi yang ingin kau capai?” anak belum tentu
mengerti apa maksudnya. Dengan penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan
kemampuan anak, istilah “mimpi” akan mudah dipahaminya.
Anak
usia 2 tahun biasanya memiliki kemampuan berbicara dan perbendaharaan kata yang
cukup banyak. Berbicara 2 kata atau lebih sekaligus juga sudah dikuasainya.
Bahkan, kecenderungan anak usia ini senang dan selalu bertanya “apa” tentang
kata baru yang didengarnya. Dengan kemampuan berbicara dan menangkap bahasa ini
pun, anak dengan mudah memahami 1-2 perintah sekaligus untuk bisa dilakukannya.
Sudah
menjadi hal yang wajar bahwa orang tua ingin anaknya nanti tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter positif. Membangunnya ini tidak serta merta langsung
jadi. Ada proses yang harus dilakukan orang tua dan anak sendiri dengan penuh
kesabaran, Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, Ketua Harian Komisi Nasional
Indonesia untuk Unesco, minimal ada 3 hal yang harus dicermati dan dilakukan
sungguh-sungguh untuk membentuk karakter positif anak ini, yaitu konsisten, berkelanjutan,
dan konsekuen. Proses ini membutuhkan waktu. Karakter positif tidak tumbuh
alami dalam diri anak.
Awalnya,
saya bingung bagaimana bisa mengontrol proses pembiasaan ini. Apakah seperti
saya yang tiap bulan selalu mengeprint target jadwal sebulan lalu diisikan? Ah,
rasanya akan tidak menghemat kertas. Belum lagi kalau lupa mengeprint karena
printer rusak/tintanya habis. Dicatat di buku? Anak tak bisa melihat langsung
dengan mudah setiap saat. Untunglah, akhirnya saya menemukan papan target ajaib
bernama metrik. Saya tuliskan target hariannya di kolom yang disediakan dan
saya catat hasilnya setiap hari. Jika terpenuhi targetnya, maka tak ada utang.
Jika tidak terpenuhi, maka target esok harinya ditambah. Namun jika berlebih
targetnya, keesokan harinya tetap dengan target yang sama.
Sulung
saya. Qowiyy (5 tahun) yang pertama kali menggunakan metrik di keluarga saya.
Qowiyy anak yang enggan berbicara dengan orang lain jika belum kenal
sebelumnya. Dia cenderung diam dan mengamati. Ketika ditanya orang juga
cenderung enggan menjawab. Saya mencoba menantang dia agar dalam sehari berani
berbicara dengan orang lain di setiap kesempatan. Awalnya susah. Qowiyy belum
keluar dari zona nyamannya. Bahkan sering tak tercapai target harian itu.
Namun, lambat laun, dengan terus saya dampingi setiap kali mau berbicara dengan
orang lain, Qowiyy tampak kepercayaan dirinya meski belum seignifikan. Paling
tidak jika ketemu kakek neneknya dan saudara lain yang jauh di luar kota,
Qowiyy sudah menunjukkan rasa percaya diri yang berarti.
Orang
tua Nasywah (2 tahun 4 bulan) sejak bulan November 2014 kemarin memberlakukan
target harian “merapikan mainan setelah selesai bermain” kepada anaknya.
Pasalnya, Nasywah cukup sulit diminta untuk merapikan mainan jika sudah usai
bermain. Ada saja alasannya, entah lapar, capek, ngantuk, dsb. Bahkan diajak
merapikan bersama-sama pun Nasywah malah tidak ikut membantu. Untuk memulai
membentuk karakter ini, ada pembicaraan awal antara ibunda Nasywah dengan
anaknya.
“Kau
tahu, Nak, apa itu tanggung jawab?”
Nasywah
tentu saja menggeleng tidak tahu, bahkan dia lanjut bertanya apa itu tanggung
jawab. Ibundanya pun memberikan keteladanan langsung tentang tanggung jawab ini
dengan mengajak Nasywah merapikan mainan. Ogah-ogahan? Ya.
“Nasywah,
gimana sih senyum itu? Nasywah suka ayah dan bunda tersenyum?” Nasywah mempraktikkannya dan menjawab,”Iya, aku tak
mau lihat ayah bunda sedih.”. Dari jawaban ini, tampak bahwa Nasywah bermimpi,
berkeinginan melihat orang tuanya tersenyum untuknya. Lalu, ibundanya berkata
bahwa senyum itu akan didapatkannya jika dalam sehari berhasil merapikan
mainannya sebanyak 2 kali. Dilengkapi dengan stiker bergambar emoticon “senyum”
ibundanya berharap kesenangan Nasywah merapikan mainan bisa terwujud. Setiap
hari, stiker ini ditempel di papan target harian Nasywah yang dipasang di
kamarnya. Kegiatan menempel stiker ini pun menyenangkan baginya selain mengasah
motorik halus anak.
Bulan
November berlalu. Ibundanya mendapati Nasywah cukup kooperatif. Sempat bolong 3
hari Nasywah tidak mau bertanggung jawab merapikan mainannya, namun selebihnya
ada hal yang mengesankan terlontar dari Nasywah. “Biar Nasywah aja yang
merapikan. Kamu jangan merapikan!” Bermula dari mainan favoritnya, kini di
bulan Desember, Nasywah mau merapikan mainan apa saja.
Ashalina,
anak dengan usia yang tidak terpaut jauh dari Nasywah, tapi lebih tua, demikian
halnya. Anak yang dititip di sebuah daycare ini berasal dari keluarga yang
mapan. Namun, bagaimanapun dititip bukan berarti anak dimanja, bukan? Karakter
tanggung jawab untuk hal sesederhana sekalipun tetap harus dilatihkan. Karena
anak-anak di daycare cukup banyak tentunya Asha memiliki kecenderungan ingin
bermain dengan teman-temannya. Makan pun akan sulit duduk tenang. Apalagi jika
makan sudah selesai, inginnya kabur saja segera bergabung dengan temannya. Lupa
dengan piring yang dipakainya makan. Apalagi ada pengasuh daycare dan pegawai
kebersihan daycare. Anak bisa memanfaatkan mereka untuk mengangkat piring dan
meletakkannya di tempat cucian piring.
Pengasuh
Asha tidak ingin hal itu terus terjadi. Dengan target harian bahwa sehari 2
kali Asha mau membawa dan menaruh piring bekas makannya di tempat semestinya,
pengasuh berharap Asha lebih bertanggung jawab. Hasilnya, sesekali saja Asha
lalai. Sampai bulan Desember ini didapati Asha sudah makin terbiasa
melakukannya. Jika lupa dan buru-buru ingin main, pengasuhnya hanya
berkata,”Ini piring makan siapa ya?” Tak lupa sang pengasuh memberikan
penguatan selesai Asha melakukannya.
Inilah
konsisten itu. Inilah berkelanjutan itu. Tak cukup sekali saja atau sehari
saja. Harus terus menerus, berkelanjutan setiap hari. Rutinitas akan
membiasakan karakter positif pada diri anak. Orang tua harus telaten dan konsekuen
dengan apa yang dilakukan bersama anaknya. Ketika anak berbuat sesuai harapan,
ada penguatan yang diberikan orang tua untuk anaknya. Jika ternyata belum
berhasil mengajak anak mencapai targetnya, orang tua dituntut kreatif berbahasa
dan mempersuasif anak. Memasang papan target harian sebagai salah satu caranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar