Senin, 02 Februari 2015

Karakter Positif Anakku Mulai Tampak Wujudnya

Dimuat di Nakita Januari 2015

Membangun karakter positif pada anak dibutuhkan pembiasaan (Indari Mastuti)

            Jangan dikira kalau anak usia balita tidak mengerti tentang “mimpi”. Memang, ketika orang tua bertanya,”Nak, apakah mimpi yang ingin kau capai?” anak belum tentu mengerti apa maksudnya. Dengan penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan kemampuan anak, istilah “mimpi” akan mudah dipahaminya.
            Anak usia 2 tahun biasanya memiliki kemampuan berbicara dan perbendaharaan kata yang cukup banyak. Berbicara 2 kata atau lebih sekaligus juga sudah dikuasainya. Bahkan, kecenderungan anak usia ini senang dan selalu bertanya “apa” tentang kata baru yang didengarnya. Dengan kemampuan berbicara dan menangkap bahasa ini pun, anak dengan mudah memahami 1-2 perintah sekaligus untuk bisa dilakukannya.
            Sudah menjadi hal yang wajar bahwa orang tua ingin anaknya nanti tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter positif. Membangunnya ini tidak serta merta langsung jadi. Ada proses yang harus dilakukan orang tua dan anak sendiri dengan penuh kesabaran, Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, minimal ada 3 hal yang harus dicermati dan dilakukan sungguh-sungguh untuk membentuk karakter positif anak ini, yaitu konsisten, berkelanjutan, dan konsekuen. Proses ini membutuhkan waktu. Karakter positif tidak tumbuh alami dalam diri anak.
            Awalnya, saya bingung bagaimana bisa mengontrol proses pembiasaan ini. Apakah seperti saya yang tiap bulan selalu mengeprint target jadwal sebulan lalu diisikan? Ah, rasanya akan tidak menghemat kertas. Belum lagi kalau lupa mengeprint karena printer rusak/tintanya habis. Dicatat di buku? Anak tak bisa melihat langsung dengan mudah setiap saat. Untunglah, akhirnya saya menemukan papan target ajaib bernama metrik. Saya tuliskan target hariannya di kolom yang disediakan dan saya catat hasilnya setiap hari. Jika terpenuhi targetnya, maka tak ada utang. Jika tidak terpenuhi, maka target esok harinya ditambah. Namun jika berlebih targetnya, keesokan harinya tetap dengan target yang sama.
            Sulung saya. Qowiyy (5 tahun) yang pertama kali menggunakan metrik di keluarga saya. Qowiyy anak yang enggan berbicara dengan orang lain jika belum kenal sebelumnya. Dia cenderung diam dan mengamati. Ketika ditanya orang juga cenderung enggan menjawab. Saya mencoba menantang dia agar dalam sehari berani berbicara dengan orang lain di setiap kesempatan. Awalnya susah. Qowiyy belum keluar dari zona nyamannya. Bahkan sering tak tercapai target harian itu. Namun, lambat laun, dengan terus saya dampingi setiap kali mau berbicara dengan orang lain, Qowiyy tampak kepercayaan dirinya meski belum seignifikan. Paling tidak jika ketemu kakek neneknya dan saudara lain yang jauh di luar kota, Qowiyy sudah menunjukkan rasa percaya diri yang berarti.
            Orang tua Nasywah (2 tahun 4 bulan) sejak bulan November 2014 kemarin memberlakukan target harian “merapikan mainan setelah selesai bermain” kepada anaknya. Pasalnya, Nasywah cukup sulit diminta untuk merapikan mainan jika sudah usai bermain. Ada saja alasannya, entah lapar, capek, ngantuk, dsb. Bahkan diajak merapikan bersama-sama pun Nasywah malah tidak ikut membantu. Untuk memulai membentuk karakter ini, ada pembicaraan awal antara ibunda Nasywah dengan anaknya.
            “Kau tahu, Nak, apa itu tanggung jawab?”
            Nasywah tentu saja menggeleng tidak tahu, bahkan dia lanjut bertanya apa itu tanggung jawab. Ibundanya pun memberikan keteladanan langsung tentang tanggung jawab ini dengan mengajak Nasywah merapikan mainan. Ogah-ogahan? Ya.
            “Nasywah, gimana sih senyum itu? Nasywah suka ayah dan bunda tersenyum?” Nasywah  mempraktikkannya dan menjawab,”Iya, aku tak mau lihat ayah bunda sedih.”. Dari jawaban ini, tampak bahwa Nasywah bermimpi, berkeinginan melihat orang tuanya tersenyum untuknya. Lalu, ibundanya berkata bahwa senyum itu akan didapatkannya jika dalam sehari berhasil merapikan mainannya sebanyak 2 kali. Dilengkapi dengan stiker bergambar emoticon “senyum” ibundanya berharap kesenangan Nasywah merapikan mainan bisa terwujud. Setiap hari, stiker ini ditempel di papan target harian Nasywah yang dipasang di kamarnya. Kegiatan menempel stiker ini pun menyenangkan baginya selain mengasah motorik halus anak.
            Bulan November berlalu. Ibundanya mendapati Nasywah cukup kooperatif. Sempat bolong 3 hari Nasywah tidak mau bertanggung jawab merapikan mainannya, namun selebihnya ada hal yang mengesankan terlontar dari Nasywah. “Biar Nasywah aja yang merapikan. Kamu jangan merapikan!” Bermula dari mainan favoritnya, kini di bulan Desember, Nasywah mau merapikan mainan apa saja.
            Ashalina, anak dengan usia yang tidak terpaut jauh dari Nasywah, tapi lebih tua, demikian halnya. Anak yang dititip di sebuah daycare ini berasal dari keluarga yang mapan. Namun, bagaimanapun dititip bukan berarti anak dimanja, bukan? Karakter tanggung jawab untuk hal sesederhana sekalipun tetap harus dilatihkan. Karena anak-anak di daycare cukup banyak tentunya Asha memiliki kecenderungan ingin bermain dengan teman-temannya. Makan pun akan sulit duduk tenang. Apalagi jika makan sudah selesai, inginnya kabur saja segera bergabung dengan temannya. Lupa dengan piring yang dipakainya makan. Apalagi ada pengasuh daycare dan pegawai kebersihan daycare. Anak bisa memanfaatkan mereka untuk mengangkat piring dan meletakkannya di tempat cucian piring.
            Pengasuh Asha tidak ingin hal itu terus terjadi. Dengan target harian bahwa sehari 2 kali Asha mau membawa dan menaruh piring bekas makannya di tempat semestinya, pengasuh berharap Asha lebih bertanggung jawab. Hasilnya, sesekali saja Asha lalai. Sampai bulan Desember ini didapati Asha sudah makin terbiasa melakukannya. Jika lupa dan buru-buru ingin main, pengasuhnya hanya berkata,”Ini piring makan siapa ya?” Tak lupa sang pengasuh memberikan penguatan selesai Asha melakukannya.

            Inilah konsisten itu. Inilah berkelanjutan itu. Tak cukup sekali saja atau sehari saja. Harus terus menerus, berkelanjutan setiap hari. Rutinitas akan membiasakan karakter positif pada diri anak. Orang tua harus telaten dan konsekuen dengan apa yang dilakukan bersama anaknya. Ketika anak berbuat sesuai harapan, ada penguatan yang diberikan orang tua untuk anaknya. Jika ternyata belum berhasil mengajak anak mencapai targetnya, orang tua dituntut kreatif berbahasa dan mempersuasif anak. Memasang papan target harian sebagai salah satu caranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar