Alhamdulillah dimuat!
Ini tulisan aslinya ya. Yang ada di majalah Ummi-Permata edisi Februari 2015 sudah direvisi sama sananya. Beberapa saja. Tapi tak mengurangi isinya.
Selamat membaca!
Semua
geleng-geleng kepala melihat tingkah Dindo. Ke sekolah pakai topi. Bermain di
lapangan dekat rumah juga pakai topi. Ke toko buku juga memakai topi. Bahkan
pergi ke masjid pun memakai topi. Warnanya yang merah meski sudah agak luntur
sedikit tak menyurutkan rasa sayangnya kepada topi itu.
“Nak,
bunda cucikan ya topi merah kesayanganmu itu?” Bu Riska menawarkan diri. Ibu
Dindo ini merasa risih karena topi idola Dindo itu tak pernah dicuci sejak
membelinya 1 bulan yang lalu.
“Nggak
usah, Bunda! Kalau mau dicuci, ntar biar Dindo yang lakuin sendiri.”
Dindo
meskipun baru kelas 5 SD memang sudah bisa mencuci, terutama kaos dan celana
dalamnya. Kalau mencuci topi, pasti bisa. Namun, sudah berkali-kali bundanya
mengingatkan, rupanya Dindo merasa sayang kalau topinya dicuci. Takut jika ada
yang rusak nantinya. Saking khawatirnya diambil bundanya masuk bak cucian,
Dindo pun memakainya sepanjang hari. Ketika mandi pun dibawanya serta ke kamar
mandi.
“Dindo,emang
nggak bau topimu itu?” Bu Riska bertanya lagi.
Dindo
nyengir. Dengan centil dan sok percaya diri dia menjawab kalau topinya
baik-baik saja. Daripada ngobrol sama bundanya panjang lebar yang
ujung-ujungnya topi mau dicuci, Dindo segera pamit main di lapangan. Sudah
banyak teman menunggunya di sana bermain sepak bola.
Sore
itu adalah kesempatan pertama Dindo bermain sepak bola lagi sejak memiliki topi
merah itu. Musim hujan membuatnya tak bisa bermain sepak bola di sore hari.
Hari itu cuaca tampak cerah. Begitu girang hati Dindo dan teman-temannya karena
bisa bermain sepak bola lagi. Seperti biasa, Dindo memakai topi merah
kesayangannya.
Sudah
berkumpul semua teman-temannya. Dibagi dua kelompok agar bisa bertanding
bermain sepak bola. Dindo siap bermain memenangkan pertandingan sepak bola sore
itu. Ada Firzi di regunya. Teman yang sangat cerewet tapi banyak disenangi
anak-anak. Idenya suka di luar pikiran anak pada umumnya. Namun benar dan
sangat berguna.
Pertandingan
sepak bola pun dimulai. Bunyi peluit wasit sudah terdengar kencang. Para pemain
siap menjebol gawang lawan. Tak terkecuali Dindo. Kakinya semangat menendang
bola. Diarahkan ke temannya. Tak jarang dia pun menerima umpan dari temannya.
Semua berjalan lancar. Meski demikian gol belum juga tercipta.
“Dindo,
sundul bola ini!” teriak Firzi.
Dindo
segera sigap menyundul. Namun, sundulannya tak sempurna. Meleset. Bahkan
berhasil diambil alih lawan penguasaan bolanya. Firzi sedikit kecewa.
Masalahnya bukan sekali saja Dindo gagal menyundul bola dengan benar.
Berkali-kali. Sampai babak pertama berhasil, regunya Dindo tak berhasil
mencetak gol. Bahkan sudah ketinggalan 0-1 dibanding lawannya.
“Dindo,
tadi kenapa dengan sundulanmu?” tanya Firzi.
Dindo
mengangkat kedua pundaknya pertanda tak tahu. Firzi tambah berpikir keras apa
yang menyebabkan sundulan Dindo meleset terus. Padahal sebelumnya Dindo jago
soal sundulan bola. Dindo hanya terdiam. Dia masih setia memakai topinya. Babak
kedua segera dimulai lagi. Waktu istirahat sudah hampir habis. Tiba-tiba Firzi
menyeletuk.
“Wah,
kayaknya kamu harus lepas topimu itu Dindo!”
Dindo
terperanjat kaget. Mana mungkin dia melepas topinya. Sore itu dia tidak membawa
tas untuk menyimpan topinya. Temannya pun demikian halnya. Biasanya juga
begitu. Kalau mau menang, topi kesayangannya harus terpaksa dilepas sejenak
selama pertandingan babak kedua dimulai. 20 menit saja. Dindo masih ragu. Mau
ditaruh mana topinya?
“Topinya
cantolin di ranting pohon itu saja. Aman kok. Nggak usah takut hilang!” sahut
Firzi lagi setengah mendesak Dindo.
Bagaimanapun
sepak bola adalah kesenangan Dindo juga. Tak pernah kalah sebelumnya. Apakah
sore ini harus kalah gara-gara topinya? Dindo akhirnya menuruti nasihat Firzi.
Dan babak kedua pun berlangsung dengan seru. Sundulan Dindo tak meleset lagi.
Bisa diterima temannya dengan baik dan akhirnya berhasil menjebol gawang lawan.
Sedikit mulai gentar lawannya. Pertandingan semakin ramai dan Dindo seolah lupa
dengan topinya. Regu Dindo pun akhirnya unggul dengan skor 1-2.
“Hore!
Kita menang!” teriak Firzi mendekap Dindo.
Dindo
tampak gembira juga. Namun, buru-buru dilepaskannya dekapan Dindo. Dia segera
bergegas menuju pohon dimana topinya ditaruh di rantingnya. Topi itu tidak ada
di tempatnya. Dindo memarahi Firzi. Sore jelang magrib itu berubah warna raut
wajah Dindo. Dicarinya topi merah kesayangannya itu di sekitar lapangan. Tak
ditemukannya juga. Sambil cemberut dan menggerutu karena tak menemukan topinya,
Dindo berjalan kesal menuju rumah.
“Kok
kesal begitu wajahnya? Lho topinya mana?” tanya Bu Riska.
Dindo
tak menjawab. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan bajunya. Dan di
sana dia temukan topinya sudah terendam air sabun, siap untuk dicuci.
“Kak,
kebersihan pangkal kesehatan, bukan? Ntar rambut Kakak bau dan penuh kuman
lho!” sahut Tiara, adik Dindo ketika kakaknya keluar kamar mandi.
Jadi adiknya ya yang membawa topinya pulang?keren ceritanya *_*
BalasHapusAsekkk... Rencana mau beli UMMI sore ini Mak. Selamaaat yaa :))
BalasHapuscongrats mak..:)
BalasHapus