“Ah, ayah gimana sih,
jaket kan bukan di sini tempatnya! Yang begini bisa ditiru anak! Ngasih contoh
anak yang benar dong!” Lisa kembali ngomel-ngomel ketika melihat suaminya
pulang kerja, merasakan kepayahan yang mendera, langsung menaruh jaket di atas
meja ruang tamu. Ruang tamu? Entahlah apa namanya. Lisa dan suaminya saat ini masih
mengontrak sebuah rumah petak di sebuah kota yang padat penduduknya. Kecil,
seukuran rumah tipe 21. Tak jelas apakah ruang kecil di bagian depan rumah itu
bisa layak disebut ruang tamu. Tidur saja juga disitu. Mungkin tepatnya, ruang
serba guna. Di rumah petak ini pula Lisa dan suaminya berusaha mendidik anaknya
dengan sebaik-baiknya.
Dan, senja yang sudah
bersiap menyambut malam. Langit mulai kemerahan segera berganti dengan langit
yang gelap kelam. Namun senja tak luput menyodorkan kehebohan. Lisa seorang
yang rapi, sedang suaminya, Yayan, seorang yang asal naruh barang. Lisa kembali
sewot manakala kejadian itu selalu berulang. Yayan paling hanya sering diam. Dibiarkannya
jaket itu tetap di meja. Kerinduan dengan anaknya lebih menguasai emosinya
ketika itu ketimbang melayani omelan istrinya. Dia memilih untuk segera masuk
kamar, menjauhi istrinya, lalu bercengkrama dengan sang anak. Gurauan bersama
buah hati menghilangkan kepenatan setelah kerja sepanjang hari. Waktu yang
sebentar dimanfaatkannya untuk sekedar mendongeng atau mendengarkan cerita anaknya.
Isya mereka sudah tidur kembali. “Kapan lagi?” pikir Yayan. Masalah jaket bisa
nanti-nanti dirapikan. Itu jika Yayan tak lupa. Kenyataannya, malah lupa yang
selalu nomor satu. Alih-alih, Lisa akhirnya ngomel lagi dan merapikan semuanya.
“Ini kotor nggak sih?
Kok celana ada di dekat kulkas? Kalau kotor ya ditaruh kamar mandi di timba
biar nggak lupa dicuci. Nggak enak banget dilihatnya di sini!” Lisa kembali
protes dengan tingkah laku suaminya. Diciumnya celana itu. Baunya memang
menyengat membuat hidung Lisa yang tak seberapa mancung terangkat.
“Biar di situ dulu!”
teriak Yayan dari kamar. Namun, tangan cekatan Lisa sudah terlanjur membawa
celana jeans itu ke kamar mandi. Terlambat!
“Mau ke mana?” tanya
Lisa melihat suaminya mengenakan celana baru dari almari selesai mandi dan
sholat magrib.
“Ke depan sebentar,
beli pulsa,” jawab Yayan tenang, seolah tanpa kejengkelan.
“Oalah, tahu gitu pakai
celana tadi aja! Banyak-banyakin celana di gantungan baju aja! Kan nyamuk!”
Yayan tak menggubris.
Tanpa banyak bicara dia langsung keluar dengan tatapan mata yang tetap teduh,
seakan tak terjadi apa-apa. Memang, jika ditilik lagi ke hari-hari sebelumnya,
begitulah Yayan. Sifatnya memang cenderung berbeda dengan Lisa. Yayan seorang
pecinta kedamaian, tak terlalu ambil pusing dengan apa yang sudah terjadi. Beda
dengan Lisa. Perempuan yang seumuran dengan suaminya ini sifatnya lebih
dominan. Masalah rumah yang berantakan sudah bisa membuat raut mukanya cemberut
kesal. Antara Yayan dan Lisa ada perbedaan standar kebersihan dan kerapian.
“Ayah selalu aja
begitu! Lihat nih! Di atas kuda-kudaan kok ada kemeja, di kursi ada celana,
nggak dilipat rapi lagi. Emang susah ya naruh di gantungan baju atau timba di
kamar mandi?” pagi-pagi semburan kemarahan sudah meledak kembali. Pasalnya
sederhana, Yayan yang semalam baru saja datang dari luar kota, baju kotor yang
melekat di tubuhnya ditaruh saja di situ. Ngantuk dan keletihan tak kuat dia
tahan. Yayan segera berganti dengan sarung, lalu melangkahkan kaki ke kamar
mandi. Lupa tidak membawa serta bajunya yang kotor tadi. Pagi menjelang, omelan
istri sudah menyerang. Kemeja dan celana segara dicantolkan kembali oleh Yayan
di gantungan baju. Kali ini bukan di kamar, tapi di kamar mandi. Tidak dicuci.
Dibiarkannya tetap menggantung di sana. Asal nggak di kamar, biar tak ada
nyamuk bersarang.
“Lho, kok nggak dicuci
sekalian yang tadi kotor?” Lisa bertanya heran ketika sedang menjemur baju yang
baru saja dicuci suaminya.
“Nggak apa-apa. Yang
ini sudah banyak. Besok saja. Biar aja di gantungan baju di kamar mandi,” jawab
Yayan datar.
“Kan mumpung lagi
panas!” di teras Lisa masih saja berkomentar. Ketika gilirannya mandi, dia pun
akhirnya yang mencuci baju kotor kepunyaan suaminya tadi.
Namun, apa boleh
dikata, nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu disesali. Untungnya, Yayan tak
menyalahkan keadaan punya istri bersih dan rapi. Bahkan Yayan berpikiran
sebaliknya, keberadaan Lisa dalam rumah tangganya patut untuk disyukuri.
Makanya tak pernah dia melayani dengan serius, apalagi menimpali dengan hal
serupa istrinya yang cerewet itu ketika kasus demi kasus menyangkut kebersihan
dan kerapian rumah terjadi. Lagi pula, dulu ketika masih ta’aruf dan tukar
biodata, sifat bersih dan rapi ini pula yang disenangi Yayan dari sesosok Lisa.
Yayan sadar dia butuh pertolongan agar dirinya juga bisa menaikkan derajat
kebersihan dan kerapiannya. Maka, dipilihnya Lisa sebagai pasangan hidupnya.
Lisa pun mengangguk paham ketika masa ta’aruf itu.
“Ya nanti belajar
sama-sama, saling mengingatkan,” ujar Lisa kala Sabtu siang 2 tahun lebih yang
lalu.
Plong rasanya.
Pernikahan pun terjadi. Hari keempat pasca menikah Lisa sudah dikagetkan dengan
kondisi kamar tempat suaminya dulu nge-kos
sebelum menikah. Maklum, ketika akan menikah, Yayan belum sempat merapikan dan
pamitan dengan yang punya kamar. Maka, Lisa diajaknya untuk beres-beres,
pindahan ke rumah kontrakan. Kali ini Lisa masih biasa saja. Suasana pengantin
baru masih terngiang indahnya. Tanpa omelan, cerewetnya masih tersimpan.
Hingga waktu berjalan
watak asli Lisa terbongkar. Suatu sore ketika pulang kerja Lisa mengambil sapu
langsung segera membersihkan rumah. Kertas-kertas penting masih tercecer di
lantai. Ini pasti kerjaan suaminya. Yayan pulang kerja juga, dan dia dapati
istrinya sedang cemberut tanda tak senang. Ketika itu belum ada momongan. Lisa
masih bekerja dan senantiasa berharap ketika pulang kerja rumah tidak
berantakan, kalaupun mungkin belum sempat disapu. Yayan berusaha menghibur
dengan membantu merapikan kertas-kertas penting itu dan mengambil alih sapu
yang dipegang Lisa. Ternyata, belum mereda pula kejengkelan Lisa.
Guliran hari akhirnya
membawa Lisa dan Yayan pada kehidupan kota besar. Yayan beralih pekerjaan sebagai
Pegawai Negeri Sipil di Jakarta sehingga mengharuskannya berangkat pagi.
Pulangnya sering sampai rumah sudah menjelang magrib. Dan itu ada kepayahan
yang mengiringi plus rindu menggebu dengan sang buah hati. Maka, wajar
sebenarnya jika Yayan sering melupakan nasehat istrinya untuk menaruh jaket dan
teman-temannya itu di tempat yang semestinya. Yayan tak marah meski omelan
istrinya datang bertubi-tubi, tak enak didengarnya.
“Ya Allah, ternyata ada
di sini sweater merahnya. Ini kotor
apa bersih?” tiba-tiba Lisa menemukan baju hangat kesukaan suaminya ini di
dalam keranjang di antara tumpukan-tumpukan tas ransel. Lisa mengulangi
pertanyaan tentang status baju hangat itu, apakah kotor atau bersih karena
Yayan tak segera menjawab sebelumnya. Kali ini lebih keras seperti berteriak
namun tak sampai menjerit. Yayan yang masih di kamar mandi segera menghentikan
kran sehingga suara istrinya bisa terdengar. Yayan tak segera menjawab, namun
dia buru-buru keluar kamar mandi. Ketika Lisa akan mengulangi pertanyaan lagi,
Yayan segera menyerobot baju hangat miliknya itu.
“Ayah kan lagi di kamar
mandi, bisa sabar sebentar nggak sih?” Yayan bertolak meninggalkan Lisa sambil
membawa baju hangatnya ke kamar mandi. Yang artinya baju hangat merah itu memang
kotor. Kali ini ada bara membara menghiasi wajah Yayan. Ketika berbicara pun
matanya yang bulat tegas sekali memandangi istrinya. Lisa terkejut bukan main.
Sulit dipercaya.
“Bruk!” pelan terdengar
baju itu dilempar ke timba. Tumben, Yayan kali ini berbeda dengan biasanya ketika
Lisa mulai gelisah dan mengeluarkan jurus omelannya. Lisa terpaku di pagi
berselimut mendung. Dia pun membisu menyaksikan polah suaminya. Kian lama ada
penyesalan bergelanyut mulai membuka mata hati, terus masuk membisik di nurani.
“Ya Allah, ampuni hambamu ini,”Lisa berkata sambil menahan derai mata yang
ingin berlinang menetes di pipi.
Perubahan terjadi meski
penyakit Yayan meletakkan baju sembarangan masih saja sering kambuh. Kali ini
Lisa bawelnya tersembunyi, atau
bahkan sudah mati, tak ingin menghidupkan kembali. Tiap kali Yayan seenaknya
meletakkan baju tidak pada tempatnya, Lisa segera memungut dan merapikannya
tanpa banyak kata yang keluar lagi dari mulutnya. Simpul-simpul senyum selalu
dia suguhkan meski rumah kontrakannya yang kecil berantakan.
Lama itu berjalan,
hampir 2 bulan. Yayan diam-diam merasakan ada yang janggal. Hingga sebuah pesan
singkat akhirnya mendarat di handphone
jadul punya Lisa,“Sayang, ayah rindu omelanmu, betapa itu yang lebih
menyemangatiku.”
dan sayapun meninggalkan jejak ^_^
BalasHapusTerima kasih mbak Wiwid, apa nih komentarnya tentang cerpen saya? ha ha ha masih acak-acakan ya?
HapusCerita ini terasa familiar banget bagi saya mbak, hihihi :D
BalasHapusmaksudnya, mbak ngalaminya gitu ya?
Hapus