Ini
adalah cita-cita lama. Bahkan sebelum saya berkeluarga. Bertempat tinggal dekat
masjid. Rasanya adem saja jika rumah yang saya tinggali dekat rumah Allah ini.
Bagaimana tidak? Sholat bakal tepat waktu nih karena selalu mendengar adzan.
Tak perlu jauh-jauh lagi kalau tarawih. Nggak seperti pas waktu kecil sampai
SMP dulu, tarawih harus ke masjid beda gang. He, apa yang masuk ketika buka
puasa langsung habis ketika berangkat ke masjid untuk tarawih. Kenangan masa
lalu nih..
Tapi,
tentu saja, bukan hanya karena itu alasan saya ingin tinggal dekat masjid. Di
zaman seperti ini, ketika anak-anak muda terlihat semakin banyak yang menjauhi
masjid, sungguh saya miris. Tak berharap anak saya akan demikian halnya kelak. Apalagi
ketika subuh, sedikit sekali yang datang ke masjid untuk sholat berjamaah di
sana. Masjid dekat rumah saya saja kalau subuh, seringnya juga hanya satu baris
saja shaffnya terisi. Itupun, hampir tidak pernah ada anak mudanya.
Astaghfirullah. Beda banget ya sama di Palestina.
Sungguh,
rumah dekat masjid adalah sebagai wasilah bagaimana anak bisa dekat kembali
dengan tempat mulia ini. Bukankah Rasulullah dulu juga sering mengajak cucunya
Hasan dan Husein ke masjid? Bahkan ketika mimbarnya pun dibuat mainan cucunya,
Rasulullah tidak marah. Ketika beliau sujud ditunggangi kedua cucunya pun, tak
ada marah yang melayang ke cucu kesayangan beliau tersebut. Itu adalah cara
Nabi mendekatkan cucunya kepada masjid.
Saya
dan suami pun tak ketinggalan. Ketika di Surabaya, kontrakan kami dekat masjid.
Alhasil meski anak sulung kami masih bayi, suami juga tetap rajin ke masjid.
Tinggal jalan kaki sedikit saja. Bahkan ketika sulung kami masih janin, saya
sering berbicara,”Nak, ayah ke masjid, ntar kamu juga suka ke masjid ya.” Lalu,
kami pun pindah ke Depok meski tidak bersamaan di awalnya. Saya menyusul
belakangan karena harus menyelesaikan amanah di Surabaya. Otomatis, suami
mencari kontrakan sendiri di Depok. Pokoknya dapat dulu aja. Ketika saya tiba
di Depok, oh tidak, kontrakan kami jauh dari masjid. Suami juga jarang ke
masjid. Belum lagi tetangga juga tak ada yang suka ke masjid. Kami hanya
bertahan 3 pekan di sana. Tak kerasan melanda jiwa saya. Kami mencari kontrakan
rumah baru.
Alhamdulillah,
dapat yang sesuai dengan keinginan hati. Selama 4 tahun saya dan keluarga kecil
saya di kontrakan tersebut. Dekat banget sama masjid. Dan kebahagiaan itu
semakin terasa di sini, di hati ini. Suatu ketika Qowiyy tiba-tiba melantunkan
ayat suci Al Quran,”Wat tini waz zaitun”.
Saya lantas berkata,”Mas, kok
bisa hafal?”
“Iya, dari masjid,” jawab Qowiyy
singkat.
Luar biasa, bukan efeknya. Ketika
hari Jumat tiba, Qowiyy juga sering mengikuti bacaan murottal yang disetel
masjid ketika jelang sholat Jumat. Diambil suku kata terakhirnya sama Qowiyy,
namun itu begitu membahagiakan saya karena dia jadi dekat sama Al Quran. Belum
lagi Qowiyy juga terbilang sering ke masjid meski itu subuh. Maklum, anak-anak
saya bangunnya sering pukul 3.30-4.00. Berangkat sama ayahnya tanpa ada rasa
kantuk. Maghrib dan isya tak ketinggalan pula. Qowiyy sering ikut ke masjid.
Perlahan-lahan percaya dirinya tumbuh meski harus terus berproses.
Sungguh, rumah kontrakan yang
sangat berkesan. Bagaimana dengan cita-cita saya mempunyai rumah sendiri? Tidak
bisa tidak, rumah kami harus dekat masjid juga. Minimal musholla yang aktif
kegiatan sholat berjamaahnya. Ketika itu tanpa berpikir panjang, saya dan suami
pun membeli rumah perumahan di Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Konsep perumahan
muslim yang diusung developer adalah daya tariknya saat itu. Dan benar, memang
di perumahan tersebut nantinya akan dibangun musholla. Bukan masjid, karena
depan perumahan sudah ada masjid. Saat membeli rumah itu belum ada Rumah
Pelangi Daycare yang saya dirikan dan kelola sampai sekarang.
Ketika rumah sudah jadi dan siap
huni, malah akhirnya rumah kami jual dengan pertimbangan daycare saya tadi.
Kami tetap mengontrak di rumah kontrakan dekat masjid tadi sambil terus mencari
rumah di Depok yang bisa kami beli.
Ketemu deh! Di sebuah perumahan
yang sudah berumur 5 tahun sejak berdirinya. Dekat masjid banget, hanya
berjarak 3 rumah saja. Senang sekali hati ini. Ya, mampunya beli rumah second.
Tapi nggak masalah, yang penting dekat masjid. Saya dan suami langsung
memprosesnya KPR nya karena kalau beli cash belum cukup duitnya. Harga rumah
cepat sekali naiknya. Sayang, permohonan KPR kami ditolak. Kami terus
mengumpulkan uang sambil mencari rumah yang cocok. Sempat beberapa kali
berselisih dengan suami soal kriteria rumah dekat dengan masjid.
“Nggak harus dekat masjid kali.
Ya susah nyarinya. Keburu harga rumah naik terus!”
Saya hanya diam kalau suami sudah
bilang begitu. Saya tak patah semangat bahwa suatu ketika kami bisa mempunyai
rumah dekat masjid. Prosesnya memang berliku. Pernah dapat rumah yang cocok dan
dekat masjid, eh, ternyata yang punya rumah malah belum AJB perihal rumahnya.
Kami tunggu sekitar 4 bulan si empunya rumah untuk urus AJB dan sertifikat,
ternyata belum kelar juga. Lelah mencari? Iya, jujur saya lelah. Tapi rasanya
tak ingin menyerah. Setiap hari saya tak mau kalah searching di internet
mencari info rumah dijual dekat masjid. Ada, tapi mahal. Ada, tapi jauh dari
mana-mana. Hingga akhirnya tertuju pada sebuah rumah.
“Mau ta yang ini?” suami
menunjukkan gambar rumahnya dari HP.
“Iya aja deh! Dah capek, Ayah,
muter-muter! Percaya aja deh sama ayah!”
“Nggak pingin survey dulu?”
Saya menggelengkan kepala.
Benar-benar pasrah dan lelah sudah mencari berkali-kali tak ketemu yang tepat.
Termasuk harga dan kondisi rumahnya. Ketika sedang renovasi, saya baru melihat
rumah yang akhirnya kami beli. Tak ada yang mengganjal di hati saya. Pas,
cocok. Apalagi dekat masjid juga. Inilah jawaban terindah dari Allah.
Betapa bahagia rumah saya dekat
masjid. Qowiyy tak mengalami kesulitan berarti untuk mengajaknya sholat di
masjid. Bahkan lantunan itu kembali saya dengar. Bukan ayat yang sama, tapi
berbeda. “Alhakumuttakastur”. Qowiyy hafal karena imam masjid sering
melantunkannya. Allahu Akbar. Subhanallah. Tak pernah merugi punya rumah dekat
masjid.