Selasa, 13 Januari 2015

Mengenal Allah Lewat Bilangan


Senja sudah ditelan malam. Pasca magrib yang masih begitu menawan. Gemerlap bintang bertebaran menghias langit tanpa awan. Seorang ibu memulai pembicaraan dengan anak perempuannya yang masih menginjak kelas 1 SD.
“Nak, tahukah siapa nama lengkap bapak ibumu?” tanya sang ibu.
“Tahu lah ibu. Bapakku Ahmad Farizi, ibuku Salimah Putri. Betul kan?”
“Bapak Salma orangnya seperti apa?” ibu lanjut bertanya.
“Ehm, aku bangga sama bapakku. Bapak orangnya pemberani, selalu memperdulikan orang lain. Kalau ibu orangnya sabar, lembut, pintar,” jawab Salma, sang anak, melebihi keinginan ibunya.
“Kalau Salma sendiri?”
“Salma? Ehm, Salma sama kayak ibu.”
“Sama apanya?”
“Salma pintar, lembut, suka membantu ibu beres-beres rumah.” 
“Nah, sekarang Salma kenal tidak dengan bilangan 5?” ibu Salma tak berhenti bertanya.
“5 itu banyaknya rukun Islam, 5 itu setelah 4, 5 itu banyaknya jari tangan kanan atau tangan kiri, 5 itu angka belakang dari 15, 5 itu ada di lagu balonku ada lima, 5 itu banyaknya sehari kita sholat, 5 itu isi permen dalam 1 bungkus. Kenapa sih Bu?”
“Gak papa, anak ibu ternyata bisa ya mengenali bilangan 5. Jempol! Jika 2 apa? Sama tidak 9 dengan 5?”
“Oh, ceritanya ibu ngajak diskusi Salma ya? Oke. Ehm, 2, apa ya? Oh iya, 2 itu begini (sambil menunjukkan kepada ibunya jari telunjuk dan jari tengah terbuka sedang jari lain tertutup), 2 itu banyaknya bantal di kamar Salma, 2 itu kaki ayam. 9 jelas tak sama dengan 5.”
“Kok tahu kalau nggak sama?”
“9 lebih banyak dari 5.”
“Ok, ibu bangga sama Salma. Lalu, tahukah engkau Nak, apa dan siapa itu Allah?”
“Aku sering mendengarnya. Ibu dan bapak selalu mengajariku untuk senantiasa menyebut nama-Nya. Allahu Akbar, Allah ada dimana-mana, Allah yang menciptakan Salma. Emang Allah itu siapa Bu?” Salma balik bertanya. Selama ini dia memang sedikit bingung jika ada kata Allah terdengar di telinganya. Dia selalu mencarinya, tapi tak ketemu juga wujud aslinya. Tapi Salma percaya bahwa apa yang diajarkan kedua orang tuanya pasti benar adanya.
“Yang dikatakan Salma benar. Coba ingat-ingat kembali jawaban Salma terhadap pertanyaan ibu sebelum-sebelumnya! Betapa Salma begitu mengenal keluarga Salma, bahkan bilangan 5 dan 2 yang ada dalam pelajaran matematika. Betul, bukan?”
Salma mengiyakan pernyataan ibunya. Jika mengenal ibu bapaknya saja Salma tidak merasa kesulitan. Dirinya pun bisa mengenali dirinya sendiri. Tentang bilangan yang pernah dipelajarinya di sekolah pun dengan mudah dia menjelaskannya.
“Apa hubungannya dengan Allah, Bu, jawaban Salma tadi?”
“Ada. Bahkan sangat dekat. Salma harus bisa menemukannya,” tantang sang ibu.

Cukup. Kira-kira, para orang tua, pembaca semuanya, tahu tidak apa hubungannya? Saya yakin, Anda semua pasti akan mudah memahaminya. Jika kita telusuri kembali tentang sifat-sifat Allah, tentang nama-nama Allah (asmaul husna), maka kita akan bisa mengambil benang merahnya.

Siapakah yang sesungguhnya Maha Pemberani, Maha Menolong, Maha Sabar, Maha Lembut, dan Maha Pintar? Ayah Salma, Salma, dan ibunya kah? Tentu tidak. Dengan terus menggali jawaban anak, orang tua secara tidak langsung sebenarnya ingin sekali mengarahkan bahwa ketika semakin dalam anak mengenali dirinya, maka semakin jauh pula dia akan mengenal Allah. Bahwa sifat baik yang dia miliki sesungguhnya adalah sifat Allah yang memang dengan sengaja Allah meniupkan ke dalam dirinya.  Kecerdasan intrapersonal anak akan semakin diasah jika pertanyaan-pertanyaan seperti di atas senantiasa diberikan orang tua. Anak akan lebih mudah menelaah hal baik dan hal buruk yang ada pada dirinya. Ketika hal baik dia temukan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa semuanya datangnya dari Allah, dan jika hal buruk dia temukan, dia akan segera mengubahknya menjadi hal yang baik.

Lalu, bagaimana dengan bilangan-bilangan pada pelajaran matematika, misalkan 5 dan 2 tadi? Terlihat bahwa juga mengenali bilangan tersebut dengan baik sebaik dia mengenali ibu bapaknya. Bahkan, dia bisa menjelaskan bahwa 5 bukan 2, dan sebaliknya. Begitulah hakikat manusia dengan pencipta-Nya. Orang tua, melalui dialog yang lebih jauh lagi bisa mengajak anak memahami bahwasanya manusia berbeda dengan Allah. Sebaik-baik manusia tetap saja hamba Allah. Selembut manusia, ternyata masih ada yang super lembut, yaitu Allah.  Sebisa-bisanya membuat mobil canggih, ada Dzat yang super canggih menciptakan alam raya ini. Dialah Allah.

Apa pengaruh positifnya? Anak akan sadar posisi dirinya. Dia akan melek mata dan melek hati, Allah di atas segala-galanya. Sedikit demi sedikit orang tua sedang menumbuhkan karakter tawadhu dan rendah hati kepada anak. Anak mengerti pakaian kesombongan hanyalah milik Allah semata, hingga ujung-ujungnya dia akan menjadi hamba yang akan bersandar kepada Allah semata. Selanjutnya, anak akan memandang bahwa dirinya sama dengan diri manusia yang lain, apakah itu teman, guru, orang tua, ataupun tetangganya. Bahkan pengemis sekalipun. Sama-sama lemah di hadapan Allah.
Lebih jauh lagi, orang tua bisa saja menggali lebih dalam tentang hakikat bilangan 1 kepada anak. Satu lambang sendiri, simbol kemenangan, tak ada yang menandingi. Tak hanya sekedar bermakna 1 buah pensil atau 1 almari di kamar pribadi. Satu adalah milik Allah. Atau makna yang jauh tentang bilangan 10. Bahwa sepuluh tak hanya nilai yang digoreskan guru karena siswanya mengerjakan tugasnya betul semua, atau 10 adalah banyaknya jari-jari tangan. Namun, orang tua bisa memaparkan bahwa 10 adalah nilai kebaikan yang terkandung pada 1 huruf alif atau 1 huruf lam, atau 1 huruf mim jika manusia membacanya. Dan dari hal ini orang tua bisa mengangkat fakta bahwa Allah lah yang paling baik dalam memberikan balasan kebaikan yang dilakukan manusia.


Dahsyat, bukan? Matematika tak hanya bilangan semata dengan definisinya adalah banyaknya benda. Tapi dengan matematika, salah satu ilmu Allah, manusia diajak untuk lebih mengenali diri dan Sang Pencipta.

1 komentar:

  1. Dahsyat sekali....mengenal Sang Pencipta melalui angka-angka.. artikel yang bagus mbak Henny... :)

    BalasHapus