Senja sudah ditelan malam. Pasca magrib yang masih
begitu menawan. Gemerlap bintang bertebaran menghias langit tanpa awan. Seorang
ibu memulai pembicaraan dengan anak perempuannya yang masih menginjak kelas 1
SD.
“Nak, tahukah siapa nama lengkap bapak ibumu?” tanya
sang ibu.
“Tahu lah ibu. Bapakku Ahmad Farizi, ibuku Salimah
Putri. Betul kan?”
“Bapak Salma orangnya seperti apa?” ibu lanjut
bertanya.
“Ehm, aku bangga sama bapakku. Bapak orangnya
pemberani, selalu memperdulikan orang lain. Kalau ibu orangnya sabar, lembut,
pintar,” jawab Salma, sang anak, melebihi keinginan ibunya.
“Kalau Salma sendiri?”
“Salma? Ehm, Salma sama kayak ibu.”
“Sama apanya?”
“Salma pintar, lembut, suka membantu ibu beres-beres
rumah.”
“Nah, sekarang Salma kenal tidak dengan bilangan 5?”
ibu Salma tak berhenti bertanya.
“5 itu banyaknya rukun Islam, 5 itu setelah 4, 5 itu
banyaknya jari tangan kanan atau tangan kiri, 5 itu angka belakang dari 15, 5
itu ada di lagu balonku ada lima, 5 itu banyaknya sehari kita sholat, 5 itu isi
permen dalam 1 bungkus. Kenapa sih Bu?”
“Gak papa, anak ibu ternyata bisa ya mengenali
bilangan 5. Jempol! Jika 2 apa? Sama tidak 9 dengan 5?”
“Oh, ceritanya ibu ngajak diskusi Salma ya? Oke.
Ehm, 2, apa ya? Oh iya, 2 itu begini (sambil menunjukkan kepada ibunya jari
telunjuk dan jari tengah terbuka sedang jari lain tertutup), 2 itu banyaknya
bantal di kamar Salma, 2 itu kaki ayam. 9 jelas tak sama dengan 5.”
“Kok tahu kalau nggak sama?”
“9 lebih banyak dari 5.”
“Ok, ibu bangga sama Salma. Lalu, tahukah engkau
Nak, apa dan siapa itu Allah?”
“Aku sering mendengarnya. Ibu dan bapak selalu
mengajariku untuk senantiasa menyebut nama-Nya. Allahu Akbar, Allah ada
dimana-mana, Allah yang menciptakan Salma. Emang Allah itu siapa Bu?” Salma
balik bertanya. Selama ini dia memang sedikit bingung jika ada kata Allah
terdengar di telinganya. Dia selalu mencarinya, tapi tak ketemu juga wujud
aslinya. Tapi Salma percaya bahwa apa yang diajarkan kedua orang tuanya pasti benar
adanya.
“Yang dikatakan Salma benar. Coba ingat-ingat
kembali jawaban Salma terhadap pertanyaan ibu sebelum-sebelumnya! Betapa Salma
begitu mengenal keluarga Salma, bahkan bilangan 5 dan 2 yang ada dalam
pelajaran matematika. Betul, bukan?”
Salma mengiyakan pernyataan ibunya. Jika mengenal
ibu bapaknya saja Salma tidak merasa kesulitan. Dirinya pun bisa mengenali
dirinya sendiri. Tentang bilangan yang pernah dipelajarinya di sekolah pun
dengan mudah dia menjelaskannya.
“Apa hubungannya dengan Allah, Bu, jawaban Salma
tadi?”
“Ada. Bahkan sangat dekat. Salma harus bisa
menemukannya,” tantang sang ibu.
Cukup. Kira-kira, para orang tua, pembaca semuanya,
tahu tidak apa hubungannya? Saya yakin, Anda semua pasti akan mudah
memahaminya. Jika kita telusuri kembali tentang sifat-sifat Allah, tentang
nama-nama Allah (asmaul husna), maka
kita akan bisa mengambil benang merahnya.
Siapakah yang sesungguhnya Maha Pemberani, Maha
Menolong, Maha Sabar, Maha Lembut, dan Maha Pintar? Ayah Salma, Salma, dan
ibunya kah? Tentu tidak. Dengan terus menggali jawaban anak, orang tua secara
tidak langsung sebenarnya ingin sekali mengarahkan bahwa ketika semakin dalam
anak mengenali dirinya, maka semakin jauh pula dia akan mengenal Allah. Bahwa
sifat baik yang dia miliki sesungguhnya adalah sifat Allah yang memang dengan
sengaja Allah meniupkan ke dalam dirinya.
Kecerdasan intrapersonal anak akan semakin diasah jika
pertanyaan-pertanyaan seperti di atas senantiasa diberikan orang tua. Anak akan
lebih mudah menelaah hal baik dan hal buruk yang ada pada dirinya. Ketika hal
baik dia temukan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa semuanya datangnya dari
Allah, dan jika hal buruk dia temukan, dia akan segera mengubahknya menjadi hal
yang baik.
Lalu, bagaimana dengan bilangan-bilangan pada
pelajaran matematika, misalkan 5 dan 2 tadi? Terlihat bahwa juga mengenali
bilangan tersebut dengan baik sebaik dia mengenali ibu bapaknya. Bahkan, dia
bisa menjelaskan bahwa 5 bukan 2, dan sebaliknya. Begitulah hakikat manusia
dengan pencipta-Nya. Orang tua, melalui dialog yang lebih jauh lagi bisa
mengajak anak memahami bahwasanya manusia berbeda dengan Allah. Sebaik-baik
manusia tetap saja hamba Allah. Selembut manusia, ternyata masih ada yang super
lembut, yaitu Allah. Sebisa-bisanya
membuat mobil canggih, ada Dzat yang super canggih menciptakan alam raya ini.
Dialah Allah.
Apa pengaruh positifnya? Anak akan sadar posisi
dirinya. Dia akan melek mata dan melek hati, Allah di atas segala-galanya.
Sedikit demi sedikit orang tua sedang menumbuhkan karakter tawadhu dan rendah
hati kepada anak. Anak mengerti pakaian kesombongan hanyalah milik Allah
semata, hingga ujung-ujungnya dia akan menjadi hamba yang akan bersandar kepada
Allah semata. Selanjutnya, anak akan memandang bahwa dirinya sama dengan diri
manusia yang lain, apakah itu teman, guru, orang tua, ataupun tetangganya.
Bahkan pengemis sekalipun. Sama-sama lemah di hadapan Allah.
Lebih jauh lagi, orang tua bisa saja menggali lebih
dalam tentang hakikat bilangan 1 kepada anak. Satu lambang sendiri, simbol
kemenangan, tak ada yang menandingi. Tak hanya sekedar bermakna 1 buah pensil
atau 1 almari di kamar pribadi. Satu adalah milik Allah. Atau makna yang jauh
tentang bilangan 10. Bahwa sepuluh tak hanya nilai yang digoreskan guru karena
siswanya mengerjakan tugasnya betul semua, atau 10 adalah banyaknya jari-jari
tangan. Namun, orang tua bisa memaparkan bahwa 10 adalah nilai kebaikan yang
terkandung pada 1 huruf alif atau 1 huruf lam, atau 1 huruf mim jika manusia
membacanya. Dan dari hal ini orang tua bisa mengangkat fakta bahwa Allah lah
yang paling baik dalam memberikan balasan kebaikan yang dilakukan manusia.
Dahsyat, bukan? Matematika tak hanya bilangan semata
dengan definisinya adalah banyaknya benda. Tapi dengan matematika, salah satu
ilmu Allah, manusia diajak untuk lebih mengenali diri dan Sang Pencipta.
Dahsyat sekali....mengenal Sang Pencipta melalui angka-angka.. artikel yang bagus mbak Henny... :)
BalasHapus