“Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.”
Ehm, tak ada yang salah dengan firman Allah di atas.
Tugas kekhalifahan manusia di bumi memang mau tidak mau menuntut manusia bekerja
dan bergerak aktif. Sehingga kata “sibuk” melekat pada jati diri manusia.
Bahkan sangat sibuk. Ada yang untuk urusan dunia, ada pula yang untuk urusan
akhirat, ada pula untuk urusan keduanya. Manusia tidak diam saja seperti
patung. Bergerak adalah tanda kehidupan. Diam simbol kematian.
Namun, di sisi lain Rasulullah bersabda,”Barang siapa
yang bangun di pagi hari dan hanya dunia yang dipikirkannya, sehingga ia tidak
dapat melihat hak Allah dalam dirinya, maka Allah akan menanamkan 4 macam
penyakit padanya: kebingungan yang tiada putus-putusnya, kesibukan yang yang
tidak pernah jelas akhirnya, kebutuhan yang tidak pernah merasa terpenuhi, dan
khayalan yang tidak berujung wujudnya.”(HR Muslim)
Kontradiksi, bukan, dengan yang difirmankan
Allah tadi?
Tidak! Sama sekali tidak! Justru ini akan saling
melengkapi. Bekerja, bergerak adalah ciri mendasar manusia yang hidup. Ya
bergerak memenuhi kebutuhan hidup, menyeru orang pada kebaikan, menuntut ilmu,
dsb. Tidak bisa tidak, manusia akan bergerak. Namun, manusia tetap punya
keterbatasan. Ada lelah yang mendera, lahir dan batin. Apa yang terjadi jika
manusia bekerja tiada henti? Fisiknya lama-lama lemah, bahkan menderita sakit
karenanya. Untuk urusan ini, yakin, manusia sudah bisa tahu diri. Ketika
mendapati tubuhnya kurang sehat, izin tidak bekerja pun akan dilakukan. Manusia
akan beristirahat.
Bagaimana jika manusia lelah batin? Terkadang, hal ini
malah manusia sering melupakannya, apalagi jika kondisi fisik senantiasa kuat.
Bekerja sepanjang hari seolah tak dirasa. Sampai-sampai pulang larut malam
adalah hal yang biasa. Tidur berkualitas akan menyegarkan tubuh kembali.
Manusia lupa bahwa batinnya, ruhnya, jiwanya juga sedang lelah. Ingin rasanya
batin berteriak menyampaikan keinginannya. Ya, aku ingin mendekat kepada-Nya.
Dan kealphaan ini juga bisa melanda siapapun termasuk aktivis dakwah sekalipun.
Bergerak ke sana kemari, menulis ini dan itu, mengajar sana dan sini hingga tak
tersisa waktu baginya untuk menghadap-Nya. Sekedar munajat malam hari pun
sering terlewat begitu saja. Sibuk bergerak, namun isi jiwanya kosong. Apakah
ada dampaknya? Ada, sering kali dia bergerak namun tak memberi bekas.
Maka, sekali waktu, berhentilah bekerja! Bukan untuk
tidur menghabiskan malam, namun untuk mengingat kembali siapa diri dan siapa
Dia. Bukan untuk memejamkan mata begitu saja, namun bagaimana dzikir
mengingat-Nya bisa menjadi pengantar terpejamnya mata.
Bukankah Allah akan membuat lupa manusia akan hal yang
membawa manfaat untuknya manakala manusia melalaikan dzikir mengingat-Nya?
Mengingat hak Allah dalam setiap aktivitas kesibukan adalah cara aman jiwa
kembali mendapatkan siraman sejuknya.
Bener bgt mbak, kita hrs berhenti sejenak dari hirup pikur kerjaan yang menumpuk untuk kembali mendekatkan diri pada Allah
BalasHapus