Senin, 28 Januari 2013

Latih Konsentrasi Berbekal Bangun Pagi dan Tepat Nutrisi


AWALI BANGUN PAGI

“Qowiyy pinter, pagi dah mandi dan makan!”seorang ibu berkata ketika melihat anak saya bermain sepeda.
“Qowiyy biasa bangun sebelum subuh,”jawab saya.

Ayo bangun pagi! Ini bukan semata-mata ajakan biasa. Mengapa? Pertama, faktanya ada orang tua enggan membangunkan anaknya ketika pagi tiba, apalagi yang balita dan ketika liburan. Malah, orang tuanya ikut-ikutan bangun kesiangan. Kedua, karena bangun pagi membuat tubuh segar, jiwa bahagia, serta  memaksimalkan kerja otak, apalagi untuk anak usia dini di golden age yang dia alami. Dengan bangun pagi pula anak memiliki kesempatan untuk sarapan. Menurut penelitian ahli dari Universitas Swansea Wales, ketika bangun pagi glukosa dan glikogen dalam tubuh dalam kondisi terkuras, maka sarapan bisa memenuhi kebutuhan ini. Glukosa pun merupakan satu-satunya bahan bakar yang dibutuhkan otak. 

Minggu, 27 Januari 2013

Gara-gara Plat Nomor Mobil


            Bruk!” suara tas sekolah berwarna kuning berbentuk beruang menghantam kasur dengan keras.
”Uh ... uh ... uh, sebel aku ma guru baru itu!” Deny menyepak kaos kaki putih yang telah dilepasnya ke arah jendela.
”Kenapa anak mama ini ya? Pulang-pulang kok udah ngomel?“ Mama Sinta membuka kamar anaknya yang masih duduk di kelas 3 SD swasta di kawasan Surabaya.
”Itu! Masak seminggu ini Matematikanya mencongak terus tu perkaliannya! Dah aku nggak bisa cepet lagi ngerjainnya! Sebel kan Ma? Nih lihat nilaiku. Ancur kan? Nggak ada yang lebih dari 5!”
”Emang Adik Deny nggak belajar sebelumnya?”
”Hih siapa bilang! Aku tuh bisa Ma, tapi gurunya terlalu cepet pindah ke soal berikutnya. Kan nggak bisa mikir!”
”Ya udah, ntar belajarnya sama mama aja. Dijamin seneng deh!”
”Janji ya Ma,” suara Deny melemah tapi masih cemberut bibirnya, hampir menyentuh hidung.

Jatuh dan Pasang


”Ayo dikocok botolnya?”seru Mimin kepada Samir, teman sekelasnya yang sengaja dipilih Bu Dela untuk menjadi pengocok.
”Iya, ya, sabar!”Samir berkata sambil mengocok botol berisi angka 0 sampai dengan 9.
”Berapa angka yang keluar, Samir?”tanya Bu Dela.
”7, Bu!”
”Terus diapakan Bu angkanya?”tanya Mimin.
”Oke, dengarkan penjelasan ibu ya!”Bu Dela berkata.

Senin, 21 Januari 2013

Maaf, Aku Tuli


            Jajaran besi yang kadang lurus, kadang berkelok-kelok itu menorehkan prasasti duka. Diciprati sinar mentari dengan derajat suhu yang masih enggan meninggi, terlihat besi-besi hampir karatan itu sedikit menyilaukan. Merah, hanya di sebagian kecilnya, meskipun dia panjang tak tahu ujungnya. Menghampiri tiap pos-pos mangkalnya calon penumpang kelas ekonomi, bisnis, atau eksekutif. Cairan agak kental tercecer membuat blok-blok di aspal pinggir rel kereta api.. Tubuhku berlumuran darah tergeletak layaknya mati. Tapi seonggok ringkihku belum mau melayangkan ruhnya. Dibopong seorang laki-laki tegap, sepertinya. Namun, tidak saat itu. Matanya terbelalak biasa, ada guratan di bawah matanya bekas lipatan lengan baju sempat menjadi bantal tidurnya. Bunyi isyarat kereta api datang mengagetkan tidur pulasnya. Terlambat! Palang pelintas jalan terlambat diturunkannya dan laju kereta melibas sepeda motor Yamaha tak sempurna melintas paksa alias nylonong di depannya. Terjebak di antara dua palang yang menghalangi lajunya.
            “Tidak!” jerit bapak penjaga palang kereta.
            ”Bres!” kereta tak berhenti melindas-lindas sepeda bermesin itu. Remuk. Rengsek. Untung, pengemudinya, aku, sempat terpental.

Hujan, Berhentilah! (cerpenku ini menang lomba yang diadakan dkm masjid ITB)


            Siang memang tak begitu memanggang. Mendung tampak melenggang, tak berjalan di langit yang luas. Masih berdiam diri, mengumpulkan awal hitam dan siap untuk menurunkan hujan. Salma menengok telepon genggamnya, melihat waktu yang tertera di layarnya yang sudah mulai dimakan usia. Maklum. Di rumah yang disewanya dari seorang penjual bakso selepas dia melahirkan belum terpasang jam dinding yang bisa dengan cepat dipandang. Hanya ada kalender besar terpampang di tembok yang lembab karena cuaca. Sudah pukul satu siang. Saatnya memandikan si kecil yang masih berumur 1 bulan. Air hangat sudah siap, handuk, dan perlengkapan bayi lainnya pun komplit di atas kasur yang tak lagi empuk, dipinjamkan oleh si pemilik rumah. Di dalam kamar tanpa langit-langit, terkadang air hujan suka jatuh menembus genting tanpa permisi. Pun tingkah tikus-tikus layaknya pelari marathon meramaikan seisi rumah. Tak malam, tak siang.

Jumat, 18 Januari 2013

Ambil yang Sama (Permainan Matematika dalam buku pertamaku "Cerdas Lewat Kertas")


Siang hari, meski jam sekolah telah usai, Bu Zati masih nampak enggan pulang. Bukan betah di sekolah, tapi dia bingung ide apa lagi yang harus dia keluarkan untuk pembelajaran matematika esok hari setelah tadi dia sudah mengajar dengan bagus tentang konsep operasi hitung bilangan bulat (penjumlahan dan pengurangan) di kelas 4.
”Kenapa Bu kok tampak bingung? Lagi mikirin apa? Kan baru aja gajian!”sapa Pak Dirman, guru baru yang kebetulan diamanahi tugas sebagai guru kelas 3.
”Bukan soal gajian Pak, tapi lagi kehabisan ide nih untuk mengajar matematika biar anak-anak senang besok pagi.”
”Tumben! Biasanya Bu Zati nggak kurang akal untuk hal semacam itu,”Pak Dirman keheranan.
”Yah, yang namanya manusia Pak, kadang perlu dipancing dulu!”
”Emang besok mau ngajar apa Bu? Mungkin saya bisa memancing idenya,”Pak Dirman menawarkan bantuan.
”Tinggal melancarkan anak-anak agar bisa cepat mengerjakan soal penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat,”jawab Bu Zati.
Pak Dirman nampak sedang memeras pikiran. Ada kira-kira 5 menit hingga tiba-tiba suasana ruang guru pecah oleh suaranya.
”Aha! Pernah tahu mainan kartu yang ada omben (minum air)-nya kan Bu?”
Bu Zati mengangguk, menunggu ide Pak Dirman. Tanpa berselang lama, guru baru tersebut mengutarakan bagaimana cara buat dan memainkan permainan matematika yang dipikirkannya.

Belajar Matematika = Berbelanja di Supermaket


Fakta Berbicara
            Prestasi anak bangsa ini tentang sebuah mata pelajaran yang disebut matematika masih saja di bawah ambang batas kenormalan. Berdasarkan data nilai rata-rata matematika UASBN SD di Jawa Timur sebesar 6,33 dan di Surabaya sebesar 6,64 (Kompas, 19 Juni 2008), maka rata-rata ini masih menempati urutan terakhir dari dua bidang studi lainnya yang mencapai angka 7 lebih. Bahkan, di Surabaya masih ditemuai siswa SD mendapatkan nilai matematika UASBN kurang dari 1 sebanyak 10 anak. Meskipun fakta menunjukkan adanya anak bangsa yang mampu meraih nilai 10 bulat untuk pelajaran ini di tingkat SMP (66 siswa di Jakarta dan Bekasi, www.republika.co.id, 21 Juni 2008) dan dua kali meraih medali perunggu olimpiade matematika internasional di Ukraina (kick andy metro tv, 12 Juni 2008), namun masih belum mampu mendongkrak kualitas prestasi matematika secara menyeluruh. Terbukti saat Ujian Nasional baik SMP/MTs maupun SMA/MA, sebagian besar ketidaklulusan/ rendahnya rata-rata disebabkan mata pelajaran ini. Kasubag Humas Kanwil Depag Jatim, M. Nawawi menuturkan bahwa bagi siswa MA program keagamaan dan IPA, pelajaran matematika masih merupakan momok yang paling ditakuti (Jawa Pos, 15 Juni 2008). Pada situs www.metrotv.news tanggal 15 Juni 2008 juga melaporkan hal yang senada. 172 siswa dari 1300 siswa SMA di Kutacene, Aceh Tenggara tidak lulus dan salah satu penyebabnya adalah sulitnya pelajaran matematika. Siswa program Bahasa di SMAN 1 Pare-Pare pun merasakan hal yang tak jauh beda.

Bagaimana Matematika sebagai Bahasa Bisa Diajarkan?


Ketika sebuah konsep Matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa ataupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi konsep Matematika. Respon yang diberikan siswa merupakan interpretasi tentang informasi tadi. Dalam Matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik Matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam Matematika menjadi tuntutan khusus. Bahkan, secara khusus, hal ini juga merupakan tujuan pembelajaran Matematika dalam Kurikulum 2006.
Peressini dan Bassett (dalam NCTM,1966) berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam Matematika guru akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi Matematika.
Jika demikian adanya, bagaimanakah melatih komunikasi siswa dalam Matematika? Menurut Cai, J., Lane, S., dan Jakbcsin, M.S. (dalam NCTM, 1996) salah satu model yang pernah berkembang untuk melakukan hal ini dinamakan Open-Ended Tasks. Di dalamnya berupa format evaluasi dalam bentuk pertanyaan open-ended, yaitu suatu pertanyaan yang memberi keleluasaan pada siswa untuk menjawab secara benar dengan kemungkinan alasan atau cara menjawab yang beragam. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, menurut Peressini dan Bassett (dalam NCTM, 1996) lebih memberi kesempatan dan pengalaman belajar, serta masalah komunikasi yang dimiliki siswa.
Selain open ended tasks, berikut serangkaian kegiatan pembelajaran Matematika yang mampu melatih komunikasi siswa dalam Matematika:

Enyah Kau dari Arena Ini


Begitulah Ruben, presenter ternama Indonesia yang membawakan acara Ranking 1 di salah satu stasiun televisi swasta berkata. Lisan yang menyimbolkan ketidakberdayaan para peserta dalam menjawab saol pada saat acara. Arena kompetisi untuk mencari peserta tunggal yang menyabet gelar “ranking 1”.
Ranking 1. Semua pasti tergiur dengan embel-embel keren ini. Orang tua zaman dulu, sebelum dunia pendidikan mengenal istilah kecerdasan majemuk, juga pasti ikut busung dada tatkala buah hati kesayangannya di rapornya tertulis kata-kata ini. Tapi, terlepas ditulis atau tidak,hakekatnya manusia ingin menjadi yang terdepan. Dalam kepandaian, kekayaan, jabatan, keilmuan, dan kebaikan lainnya. Bahkan, diantaranya butuh pengakuan juga, langsung atau tidak langsung.
Tentu saja, kita sebagai manusia akan lebih baik memilih terdepan dalam hal-hal baik saja. Pengakuan, biarlah Sang Pencita yang menyematkannya sebagai bekal akherat kita. Ada dua sumber kekuatan untuk bisa meraihnya, ikhlas dan serius. “Barang siapa yang hanya ikhlas maka enyah dari arena ini. Dan barang siapa yang hanya serius, maka dia pun akan mengalami hal yang sama.”

Where Will You Go


Membuka netbook yang baru saja dibeli, nampak tulisan ini di dekstop,”Where will you go?”Pertanyaan yang sama pada syair lagu seperti ini,”Where will you go,my loving? Where will you go?” Lagunya siapa ya? Ada yang ingat?
Sama tak berarti harus sama. Apa maksudnya?

Suami, Tukang Blender


Ssssttt, tunggu dulu! Kira-kira apa yang dibayangin pembaca tentang judul tulisan ini? Ya, ini memang pekerjaan baru bagi suamiku di rumah. Hampir tiap hari dia mengerjakannya. Dengan sepenuh hati, tulus, sigap, dan tak banyak komentar. Lagipula, pekerjaan ini memang mulia. Penghargaan tak henti-hentinya aku sematkan untuk suuamiku tercinta. Atas ketidakmaluannya menjadi tukang blender.

Matang Tak Harus Menunggu Tua


“Buah alpukatnya yang matang dong Pak. Satu kilo aja,” pinta seorang ibu di pasar.
“Nyari pasangan tuh yang bener. Yang sudah matang untuk berumah tangga,” seorang bapak menasihati anak perempuannya yang ingin sekali segera menikah.
Sama-sama matang. Tapi jika ditilik dengan lebih detail lagi ada perbedaan antara matang yang pertama dengan matang yang kedua. Alpukat yang matang tentu karena usianya telah tua, tapi pasangan hidup yang matang tak ditentukan oleh berapa usianya.
Tentu, orang tua sangat menginginkan menantu yang tanggung jawab lahir dan batin untuk anaknya. Bisa menafkahi, mampu memberi rasa aman. Bisa ngemong, istilah Jawanya. Iya, betul. Tapi itu hanya salah satu aspek seseorang dikatakan matang. Masih ada aspek yang lainnya lagi.

IRT (Ibu Rumah Tangga dan Istri Rumah Tangga)


1 Juni 2010. Momen yang tak terlupakan menggulung semua pikiran tatkala diri masih menjabat sebagai seorang pegawai. Ibu rumah tangga status baruku. Kalau hidupkan Yahoo Massenger atau fesbuk, status bisa berubah setiap saat, tapi statusku ini akan tetap berlangsung selama ada anak dalam pengasuhan. Aku menikmati. Kubaktikan seluruh anggota tubuh ini untuk membangun peradaban baru melalui anakku. Melu murinya dengan kasih sayang, pendidikan, dan pemikiran agar menjelma menjadi sang juara. Juara kehidupan, pemimpin kaum bertaqwa.
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota ‘ayun lil muttaqina imama …
Bukan hanya doa minta jodoh atau anak saja, tapi “lil muttaqina imama” juga harus menginspirasi segala ruang aktivitas. Berat,  tapi akan mudah dengan Allah sebagai penolongnya.
Maka, aku pun menikmati menjadi ibu rumah tangga. Ada segudang telur pahala menetas di rumah tempat dia mengabdikan dirinya. Dia adalah akar yang akan memperkuat batang agama ini jika ditanam dengan benar. Ilmu dan iman. Tapi, semua ada tuntutan. Ibu rumah tangga haruslah banyak belajar. Ekstra keras, bahkan.
Nikmat. Ehm, bukan acungan jempol saja. Atau kepala manggut-manggut mengiyakan enaknya. Tidak cukup itu. Ini masalah yang sifatnya batiniah. Meski ada beban berat terpanggul di pundaknya.
“Dan seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah dan anak suaminya dan dia bertanggung jawab atas mereka.” (HR Bukhari)
Amanah yang bisa-bisa membuat kepala pecah. Namun, lagi-lagi hanya Allah tempat curhat yang tepat. Ditambah dengan kebersamaan bercanda dan bermain bersama anak, ternyata berhasil memutar fakta. Berat jadi ringan, meski tetap tak seringan kapas kering di tangan. Bahkan, ada saja kejadian berjalan secara otomatis.
Awalnya bukan pendongeng menjadi raut muka pendongeng. Awalnya bukan pengarang lagu,nyatanya dengan mendidik anak berubah menjadi pujangga musik, pengubah syair lagu. Tak jarang lagu baru tercipta mendadak. Anak adalah cemeti yang memunculkan potensi.
Peran sebagai ibu sudah barang tentu merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan peran sebagai istri. Tak bisa dihitung memang berapa prosentase masing-masing. Sulit, karena keduanya bersifat komplementer. Semuanya indah, keajaiban pun kerap merekah.
Misalnya saja soal waktu. Luangnya waktu saat menjadi ibu tentu tak sebanyak menjadi ibu. He he he, dengan syarat tak ada pembantu lho di rumah. Tentu saja, anak juga menyita dengan sengaja detik-detik yang dipunya. Maka, pribadi seorang istri yang kini menjadi ibu pun merombak alokasi waktu yang dia punya. Dan ini mengalir begitu saja. Akibat tak langsung.
Kedua tentang pasangan bunda. Sang ayah. Kepala keluarga. Kebaikannya bertambah pula.Inilah yang disebut dengan barokah. Demi anak, dia mengalah. Baju baru tak lagi dipikirkannya. Malam pun tak langsung terlelap sebelum anak pejamkan mata. Rambut istri dibelainya juga sambil berkata,”Sabar ya. Terima kasih.” Sabar sebagai wujud dukungan bagi istri yang menghadapi anaknya dengan segala tingkah. Terima kasih karena peran sebagai pemimpin rumah dan anaknya, sang istri telah berusaha menunaikannya. Bunga keharmonisan itu tak hanya mekar, tapi kian menampakkan warna apik dan baunya yang semerbab.
Keraguan seharusnya kini sirna. Ibu rumah tangga atau istri rumah tangga, ada kenikmatan di dalamnya. Di dunia, pun akhirat dengan limpahan kesenangan. Pertanyaannya,”Adakah Anda menginginkannya?”

Nikmatnya Cesar (Tulisanku yang Menginspirasi dalam Group FB "Gentle Birth Untuk Semua")


Air mata saya pecah,manakala dokter cantik di depan saya berkata,”Kalau ICA sudah 6 begini, ya hanya cesar jalan keluarnya. Apalagi ibu sudah lewat HPL dan plasenta sudah pengapuran grade 3. Tidak ada kontraksi lagi.” Sungguh, saya tak bisa menahannya meski sudah saya coba. Suami hanya menepuk pundak untuk menambah energi kesabaran sayaa.
Kontraksi, khususnya kontraksi yang semakin kuat dan menjadi, itulah impian, harapan, dan sesuatu yang ingin sekali saya rasakan sejak kontraksi-kontraksi palsu sering datang. Apa yang harus saya lakukan? Hampir semua usaha saya jalani, mulai dari senam endhorphin, goyang inul, makan mangga, durian, nanas, jalan kaki, dan ah yang satu lagi ini sepertinya sudah biasa disarankan dokter atau bidan, maaf, hubungan suami istri.
Ketika itu saya mendatangi bidan untuk senam endhorphin sebanyak 2 kali sambil cek kandungan. Bidan berkata,”Subhanallah Mbak, posisi janinnya pas sekali. Ini mah ngejan sebentar juga langsung brojol.” Saya hanya tersenyum mengaminkan dan berharap itu menjadi sebuah kenyataan mengingat persalinan sebelumnya saya juga cesar dalam posisi janin sungsang dan ketuban pecah dini. Jadi ketika bidan berkata demikian betapa bersyukurnya saya.
“Yuk Mbak ke kamar sebelah, kita cek portionya.” Saya pun menurut saja. Bidan berkata,”Mbak tetap optimis ya, mulut rahimnya masih tebal, sepertinya tanggal 10 Agustus saya prediksikan belum bisa lahir, ya semoga dengan tetap berusaha semaksimal mungkin bisa menjadi tipis mulut rahimnya.”
Tanggal 10 Agustus 2012 adalah HPL janin saya. Sontak, mendengar penjelasan bidan sedikit sedih, tapi saya segera bertanya,”Apa yang harus saya lakukan lagi?” Bidan menyarankan seperti apa yang sudah saya jalankan selama ini. Ditambah satu lagi, yang akhirnya cara ini pun saya tempuh. Konsumsi vitamin B1. Pulang dari bidan langsung ngacir ke apotik. Pun saran-saran sebelumnya tetap saya lakukan semaksimal mungkin. Sebisa yang sama lakukan.
Vitamin B1. Vitamin dalam bentuk pil ini senantiasa saya makan sesuai anjuran. Alhamdulillah, perasaan tenang karena bisa menjalankan resep dari bidan.
Makan nanas, durian, dan mangga. Tiap hari 3 buah ini bergiliran mengisi perut saya. Dan luar biasa setelah makan buah-buah ini, perut rasanya kenceng dan sakit. Dan harapan itu tetap menyala bahwa kontraksi bisa semakin bertambah kuat. Namun, lagi-lagi, dia menghilang tanpa ijin. Kuelus-elus perutku sambil senantiasa berkata,”Nak, ayo bantu bunda! Engkau sudah pintar Nak karena posisimu sudah sangat baik. Sekarang, bantu bunda lagi ya agar bunda bisa kontraksi. Engkau bisa lahir secara alami sayang. Allah bersama kita.” Tentu dengan menangis. Maklum mungkin, karena saya seorang perempuan, seorang hamba Allah yang memang lemah adanya.
Selanjutnya, senam endhorphin. Luar biasa memang senam ini. Ketika melakukannya bersama bidan pun, bu bidannya saja berkata,”Tadi waktu senam ada kontraksi 2 kali lho Mbak.” Saya menjawab,”Iya, saya juga merasakan.” So pasti, bidan yang cantik dan meneduhkan serta ramah melayani saya pun menganjurkan agar saya melakukannya juga di rumah dibantu suami saya. Syukurlah, suami bersedia. Bahkan kala lelah mendera dan ngantuk menyerang, suami pun berusaha melakukannya ketika saya minta. Dan keajaiban selalu terjadi. Pasca senam selalu kontraksi. Namun, dia datang dan tak lama pergi. Tak ingin menyesal, dan seperti biasanya saya berkata kepada janin saya,”Nak, dengan pertolongan Allah, insyaAllah bisa. Kita terus berusaha ya.” Tentu, tangis itu pun senantiasa membasahi pipi sebagai wujud keseriusan saya meminta padaNya.
Goyang inul. Mendengarnya istilahnya saja juga tak ada keraguan saya melakukannya. Meski jujur, melakukannya harus nyuri-nyuri kesempatan ketika anak saya yang pertama, laki-laki masih berusia 2,5 tahun sedang asyik bermain sendiri. Dan teori yang akhirnya saya praktekkan ini memang ampuh. Tak lama setelah goyang, kontraksi memang terjadi. Tapi dia enggan untuk terus menguat. Dia melemah, lalu menghilang pergi. Dalam hati terus memohon agar Allah mengizinkan saya melahirkan alami.
Apa lagi ya? Oh ya, hubungan suami istri. Tentu dalam melakukannya harus karena landasan iman, cinta, dan tanpa keterpaksaan. Syarat yang ketiga ini yang benar-benar saya jaga. Saran dokter dan bidan ini sungguh luar biasa dalam menyebabkan terjadinya kontraksi. Saya merasakannya betul, namun, meski dokter atau bidan menganjurkan agar aktivitas ini jadi agenda rutin tiap hari, saya tak bisa melakukannya. Bukan karena tak mampu, tapi karena saya tak mau memaksa. Hari ini ok, tapi hari berikutnya belum tentu ok. Siapa yang tega membangunkan suami yang begitu lelah dan ijin untuk istirahat tidur untuk diajak begituan? Hati nurani saya tidak tega. Bagaimanapun dia, suami saya, telah bercucuran keringat menunaikan kewajibannya memberi nafkah keluarga. Rasanya tak adil jika saya mengganggu waktu istirahatnya. Alhasil, hari tersebut terlewati. Lagi, saya tak mau putus asa.
Jalan kaki dan ngepel rumah. Tiap hari saya selalu menyempatkan diri untuk melakukan hal ini. Jagoanku yang masih batita pun alhamdulillah bisa berkompromi. Jalan PP lebih dari 2 km pun kuat, hanya untuk menemani saya agar bisa cepat kontraksi alami. Berjalan sambil menikmati hidangan alam dengan tetap berdendang bersama si janin di rahim. Kontraksi?Iya, sejenak lalu entah kemana lagi dia bersembunyi.
Hingga 9 Agustus 2012, CTG saya jalani pagi hari. Tak ada kontraksi terdeteksi. Saya terus saja bicara dengan janin bahwa saya dan dia harus bersabar. Sabar, sabar, dan sabar. Tiga puluh menit berlalu dan dokter berkata,”Sudah, pesan kamar saja untuk operasi besok. HPL nya besok kan?”
Saya masih saja tersenyum dan menyapa dokter,”Doakan saya ntar malam bisa kontraksi ya?” Dokter mengangguk. Saya lega meski mendengar hasil CTG tadi sedikit bersedih. Tapi hari itu kami tak pesan kamar. Bukan karena apa-apa, hanya karena masih ada harapan 1 malam lagi.
Malamnya, dengan lembut dan hati-hati suami berkata,”Bunda, jika besok ayah dinas ke luar kota bagaimana? Ayah nggak bisa menolak tugas ini karena ini tugas dari atasan.” Dengan dada sedikit sesak saya mengiyakan. Tak bisa menolak karena memang itulah pekerjaan suami saya. Apalagi apa yang dilakukan suami pun juga dalam rangka ibadah kepadaNya.
10 Agustus 2012. HPL datang. Tak ada kontraksi juga. Tapi saya merasa baik-baik saja. Saya tetap menjalani aktivitas hidup seperti biasanya. Bermain bersama anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengisi pengajian, dsb. Hingga akhirnya saya mengirim pesan kepada seorang dokter spesialis kandungan lagi yang saya kenal lewat facebook. Saya konsultasi kepada beliau bahwa kemarin ICA saya 9 dan kondisi sekarang seperti ini. Dokter menyarankan untuk cek ketuban lagi di dokter yang lain dari yang biasa saya kunjungi untuk control kandungan. Saya pun ke dokter lain bersama suami pada 11 Agustus 2012. Dan hasilnya seperti yang saya tulis di awal tulisan ini. Saat itu sebenarnya akan CTG lagi agar dokter bisa memastikan sampai kapan janin saya bisa bertahan. Tapi kondisi anak saya yang pertama saat itu tak memungkinkan untuk bertahan di rumah sakit. Sudah kelamaan ngantri, keburu bosan dan rewel minta pulang. Maka kami pun pulang dengan kata-kata cesar masih terngiang. Sampai rumah magrib dan keputusan saya dan suami mau cek ketuban lagi di dokter saya sebelumnya tapi di tempat yang berbeda dengan yang ketika tanggal 9 Agustus 2012. Saya ngantri lama lagi, jam 23.00 baru dipanggil. Dokter saya tidak menyalahkan saya karena saya tak jadi pesan kamar sesuai sarannya beberapa hari yang lalu. USG dimulai dan hasilnya indeks ketuban masih 9. “Ya Allah, mana yang benar? Beri hamba petunjukMu,” batin saya. “Saya beri waktu sampai 13 Agustus ya Mbak. Jika nggak kontraksi lagi, maka harus operasi.” Saya lega. Ada waktu 3 hari saya harus berusaha semaksimal mungkin, ini pun disarankan oleh dokter yang saya kenal lewat facebook untuk terus berpikiran positif.
13 Agustus 2012 akhirnya datang. Setelah subuh saya langsung pergi ke rumah sakit dengan kepasrahan yang sudah total. Tak ada kontraksi saya rasakan. Digiring ke kamar operasi untuk dicesar. Menangis sebelum dan sesudahnya. Bukan karena membayangkan mahalnya biaya cesar, bukan pula membayangkan sakit yang lama pasca cesar. Saya menangis karena ternyata banyak hikmah berceceran yang akhirnya bisa saya pungut karena peristiwa ini. Allah lah yang memberi keputusan sepintar manusia belajar dan semaksimal manusia berikhtiar. Itu yang paling saya ingat dari perkataan suami saya yang sangat sederhana,”Ikhlas ya Bunda!” Dan saya mengangguk terharu sambil terus menyeka air mata.
Bayi perempuan mungilpun lahir di dunia. Tak langsung menangis,karena ternyata dia mengalami sesak karena kemasukan air ketuban. Lima hari pun dilaluinya di perinatologi dengan ASI diantar setiap harinya. Alhamdulillah masih bisa Inisiasi Menyusui Dini meski hanya sebentar. Hikmah berikutnya yang berhasil saya dapat adalah Allah lah yang Maha Mengetahui segalanya. USG dan dokter atau bidan hanya wasilah yang bisa memberikan informasi, motivasi, dan membantu proses persalinan kita, tapi Allah segalanya.
Meski 2 kali cesar saya begitu menikmati karena ada suami yang baik hati. Pun Allah yang selalu di hati. Pertanyaan saya,”Gentle Birth kah saya?”Wallahu a’lam.