Rabu, 21 Januari 2015

Kegiatan Seru Meningkatkan Konsentrasi Balita Kinestetik



                Gaya belajar anak itu berbeda satu dengan yang lainnya. Salah satunya anak dengan gaya belajar kinestetik. Biasanya, anak ini sering dikesampingkan. Sudah banyak gerak, tidak bisa diam, dan kalau disuruh untuk fokus sebentar saja susahnya amit-amit.

             Benarkah anak kinestetik tak bisa berkonsentrasi? Setiap anak bisa berkonsentrasi selama dia tumbuh dan berkembang dengan baik. Agar bisa berkonsentrasi, tentu stimulus yang diberikan juga harus sesuai dengan gaya belajarnya. Anak yang kinestetik sangat menyukai gerak. Misalkan dia dilatih konsentrasinya dengan cara mewarnai gambar sambil duduk tenang, maka keberhasilannya tidaklah sempurna.

                Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi anak kinestetik. Tentu saja harus melibatkan olah gerak tubuhnya.

           Senam. Apalagi jika diiringi musik. Anak akan berusaha menyelaraskan antara gerakan dan musiknya. Kalaupun tidak pakai musik, juga tak mengapa. Menghafalkan urutan gerakannya sudah merupakan cara untuk meningkatkan konsentrasinya. Senam pun bisa dilakukan sampai selesai. Tentu durasi senam menyesuaikan dengan jenjang usia anak.

                Memanah dengan bola. Ini sebenarnya cara yang lain agar merapikan mainan misalnya bola jadi menarik bagi anak kinestetik. Terkadang, merapikan mainan menjadi sesuatu yang membosankan dan tidak menarik bagi anak. Namun, dengan cara ini justru konsentrasi anak kinestetik jadi terasah. Mintalah anak merapikan bolanya tidak dengan memasukkan langsung bola mendekat ke keranjangnya, tetapi dari jarak yang cukup jauh mintalah anak melemparkannya ke dalam keranjang. Anak akan senang. Dia seolah seperti bermain bola basket.

           Tepuk tangan. Awali dengan yang mudah dengan 1 pola sehingga anak bisa dengan mudah menirukannya. Misalkan prok, prok. Lalu, naikkan tingkat kesulitannya, misal dengan 2 pola, seperti prok, prok prok, prok. Demikian seterusnya hingga anak mahir menirukannya. Ingat, semakin banyak pola tepuk yang bisa anak ikuti, konsentrasinya semakin baik.

              Memindahkan air dari satu botol ke botol yang lain. Apalagi seperti lomba Agustusan, tentu semakin seru. Agar airnya tidak banyak yang tumpah, anak kinestetik dituntut konsentrasi melakukannya. Semakin sedikit yang tumpah, maka semakin bagus konsentrasinya.

                Permainan dimana aku berdiri. Orang tua cukup menyediakan 4 alas lantai yang tidak licin dan ditempatkan di sudut rumah yang berbeda. Anak berdiri bersama orang tua di tempat yang cukup berjarak dengan 4 alas lantai tadi. Misalnya alas lantai 1 adalah gajah, alas lantai 2 adalah kelinci, alas lantai 3 adalah kambing, dan alas lantai 4 adalah semut. Orang tua tugasnya memberikan 4-5 kalimat kunci tentang binatang tersebut. Tugas anak adalah bergerak dalam durasi waktu yang sudah ditentukan orang tua menempati alas lantai yang dimaksud sebagai jawabannya. Misalkan kalimat kunci itu antara lain: aku hewan yang kecil, aku suka yang manis-manis, aku ada yang berwarna hitam dan merah, aku suka berjalan di dinding tembok, aku juga hidup di lubang tanah.  

                Konsentrasi memang sangat penting untuk perkembangan anak ke depannya. Memahami gaya belajarnya sebagai modal awal menentukan kegiatan apa yang cocok untuk mengasah dan meningkatkan daya konsentrasinya. Termasuk anak bergaya belajar kinestetik.

Rabu, 14 Januari 2015

Pesawat Terbang dan Allah


Biar kurakit pesawatku 
rentangkan pelan dua sayapnya 
Nyalakan sumbunya sampai terpercik api menari 
Lepaskan pengaitnya relakan pergi ke arah bulan
Tak perlu kau rindu menyinggungnya 
Perlahan lupakan kepergiannya 
Tunggulah kerling lampunya disaat bulan purnama tiba 
Pertanda dia telah bertemu dengan peri kecilnya di bulan
Reff:
Pesawatku terbang ke bulan
Pesawatku terbang ke bulan

            Masih mengenal syair lagu ini, bukan? Lagu yang dibawakan oleh penyanyi kawakan “Memes” ini kali ini menginspirasi untuk dibedah maknanya terkait keseimbangan hidup, konsep simetris dalam matematika, dan bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan ini. Tak terkecuali anak-anak.
            “Irsyad, gimana kabarnya sayang hari ini?”tanya Bu Fatimah kepada anaknya yang sedang asyik bermain melipat-lipat kertas koran bekas di ruang keluarga.
            “Eh, bunda. Baik bunda. Nih sedang iseng membuat origami sambil dengerin musik !”
            “Emang mau bikin apa?”
            “Apa aja, tapi tertantang banget pingin buat pesawat terbang.”
            “Boleh tuh, tapi bisa dong sambil bunda ajak ngobrol? Tentang pesawat terbang juga.”
            “Wah, dengan senang hati!”jawab Irsyad mantap sambil menganggukkan kepala.
            “Apa yang Irsyad ketahui tentang pesawat terbang?”
          “Yah Bunda, begitu aja ditanyain, kayak nggak pernah naik aja! Yang jelas pesawat terbang itu besar, muat penumpang banyak, ada pilot yang mengendalikannya. ”
            “Cara membuatnya gimana?”
            “Ya ada ilmunya sendiri, Bunda. Itu yang aku belum tahu banyak.”
            “Bener nggak ada yang tahu sedikitpun?”
           “Apa ya? Ehm, ya dibuat gimana caranya pesawatnya bisa terbang dengan aman. Ada sayapnya, biar bisa terbang kayak burung gitu.”
            “Wah, pintar anak bunda. Terkait sayap pesawat, memang gimana ya bentuknya?”
            “Panjang, ada 2 di samping kanan dan samping kiri.”
            “Panjang sayapnya gimana antara yang di samping kanan dan samping kiri?”
            “Sama. Diapit badan pesawat.”
            “Kalau panjangnya nggak sama bagaimana?Atau mungkin sayapnya cuma satu, apa yang terjadi?”
            “Ya nggak bisa terbang. Bisa, tapi mungkin akan mudah jatuh kali.”
            “Mengapa?”
            “Karena nggak seimbang.”
            “Betul!”
            
            Filosofi pesawat terbang sangat tepat bisa mengundang anak berpikir bagaimana seharusnya dia menjaga dirinya. Bentuk simetris yang dimiliki pesawat terbang mampu membuat sebuah generalisasi bahwa meskipun seorang anak SD kelas 4 bisa  menangkap pesan “keseimbangan hidup”. Jika tak simetris akan berat sebelah layaknya ayunan yang porosnya tak tepat di tengah atau lengannya panjang sebelah.
            Simetris adalah keseimbangan.Simetris tak hanya teori dimana segala sesuatu yang simetris memiliki sumbu simetri, tak hanya bangun datar seperti halnya dipelajari anak-anak bersama gurunya.

            Simetri adalah tak pilih kasih. Begitulah Allah. Allah Yang Maha Adil. Dan betapa seharusnya anak bisa memaknainya. Dari sudut pandang lain, anak seharusnya juga mengerti bahwa ada dua sisi dengan porsi yang sama. Allah Maha Pengampun, Allah Maha Penyayang, Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penerima Taubat, dan masih banyak lagi kemahaan Allah yang baik-baik. Namun, anak juga harus tetap dipahamkan bahwa Allah juga mempunyai kemahaan yang sebaliknya. Allah Maha Pedih Adzab-Nya, Allah Maha Merendahkan, dsb. Apa yang terjadi jika anak paham konsep ini? Tentu, anak akan lebih berhati-hati menjalani kehidupannya. Dia seimbangkan perasaan takut dan harap yang dia tambatkan kepada Allah semata. Tidak kurang tidak lebih. 

Selasa, 13 Januari 2015

Pernahkah Engkau Hidup 3.200 Hari?


            Banyaknya hari dalam setahun hampir dipastikan banyak orang yang tahu. Jika bukan tahun kabisat maka banyak hari dalam setahun 365 hari menurut kalender Masehi. Tapi, bagaimana konsep banyak hari bisa menjadikan anak lebih baik dalam memahami Allah dan dirinya sehingga tumbuh karakter positif dalam kehidupannya? Simak dialog berikut:

“Bunda, tadi Fitri baca buku jika usia rata-rata kelinci hidup itu hanya 5 tahun. Ehm, sebentar sekali Bunda!” tutur Fitri, anak kelas 3 SD ketika belajar malam hari untuk persiapan besoknya.
            “Fitri baca dibaca?”Bunda Nida yang berada di sampingnya bertanya.
            “Di perpustakaan sekolah.”
            “Memang jika hanya 5 tahun apa yang terjadi? Kok sepertinya Fitri kasihan sama si kelinci?”
          “Ya, jadinya si kelinci hanya sebentar sama anaknya. Nggak bisa memberikan kasih sayang yang lama. Anak kelinci perlu kasih sayang juga kan Bunda?”
            “Nah anakku, berarti enak hidup lama atau sebentar?”
            “Ya enak hidup lama dong. Kan sama kayak lagu “Selamat Ulang Tahun”! Semoga panjang umur.”
            “Panjangnya seberapa Fitri? Bisa tidak mengalahkan Allah?”
            “Ya nggak tahu. Allah bukannya kekal Bunda?”
            “Iya, maka gimana?“
            “Fitri akan mati juga kayak kelinci. Tapi nggak tahu matinya kapan?”
            “Nah, sekarang, Fitri sudah pernah belum mengalami hidup di dunia selama 3.200 hari?”
            “Aduh, ngitung dulu Bunda! Usia Fitri kan sekarang 9 tahun. Satu tahun ada 365 hari. Berarti 9 tahun sama dengan 9 x 365, sama dengan, tunggu Bunda!” Fitri mengambil pensil dan kertas untuk menghitung.
            “Berapa coba?”
            “Ah gampang Bunda, 3.285 hari. Jadi, Fitri sudah hidup selama itu ya?”
            “Itu lama atau sebentar?”
            “Lama juga Bunda! 3.200 hari kan banyak. Wong sehari saja sering terasa lama!”
           “Nah, sekarang jika adik Fitri yang usianya 5 tahun berarti telah hidup berapa hari sampai sekarang?”
            “Ya 5 x 365 = 1.825 hari.”
            “Itu lama atau sebentar?”
            “Sebentar.”
            “Kok tahu?”
            “Ya kan lebih sedikit dari 3.200 hari!”
            “Oh begitu! Sekarang Bunda punya sebuah cerita. Mau menyimaknya?”
            Fitri secara spontan menganggukkan kepala. Kalau mendengarkan cerita itu memang sudah menjadi kegiatan favoritnya. Kali ini Bundanya bercerita tentang seorang kakek berusia 10 tahun. Tentu, mendengar usia kakek yang hanya 10 tahun, Fitri terperangah. Sama seperti kisah seorang pemuda yang suatu hari mendapati kakek ini sedang belajar bersama anak-anak di bawah pohon rindang dengan seorang guru. Si pemuda penasaran dan menyangka bahwa si kakek adalah guru juga. Si kakek berkata bahwa sangkaan si pemuda tadi salah. Dia menjelaskan bahwa dia adalah murid yang sedang belajar, sama seperti anak-anak yang duduk di samping kanan kirinya. Si pemuda tambah penasaran karena tidak mungkin kakek belajar tentang pelajaran anak-anak. Dia pun bertanya tentang usia kakek. Si kakek menjawab bahwa usianya tepat 70 tahun namun si kakek merasa bahwa usianya benar-benar bermanfaat hanya 10 tahun. Yang 60 tahun tidak dihitung. Mengapa? Si kakek menjelaskan kembali bahwa sejak lahir sampai usia 20 tahun dia hanya gunakan untuk bermain dan bersantai ria. 20 tahun berikutnya yang semestinya digunakan untuk berjuang dan meniti karir malah dia gunakan untuk berfoya-foya menghabiskan harta orang tua. Sedangkan 20 tahun ketiga, tak pernah digunakan si kakek untuk mengumpulkan tabungan pensiun. Yang dilakukan si kakek malah bertamasya menghabiskan uang dengan tujuan yang tak jelas. Dan baru 10 tahun inilah si kakek memulai hidupnya dengan belajar sungguh-sungguh.

            “Gimana, Nak? Usia kakek lama atau sebentar?”
            “He he he, jadinya tergantung dong Bunda?”
            “Maksudnya tergantung?”
            “Si kakek sebenarnya sudah lama hidup, tapi merasa masih sebentar hidup.”
            “Kenapa?”
            “Karena usianya hanya untuk senang-senang saja.”
            
              Konsep usia apalagi terkait dengan manusia memang selalu menyimpan misteri bagi si pemilik usia itu sendiri. Dirinya tak pernah tahu bilangan usia berapa yang akan dinikmatinya di dunia ini. Tentu, dinikmati dengan cara yang positif.
            Allah Maha Kekal. Manusia akan fana. Semua orang tahu akan hal ini. Bahkan anak kelas 3 SD pun mengetahuinya karena di sekolah pun diajarkan. Satu tahun sama dengan 365 hari, anak pun mengetahuinya. Di matematika SD kelas 3 pun anak dipahamkan tentang konsep tersebut. Ketika diminta mengerjakan soal ulangan pun, anak sanggup melewatinya dengan hasil yang memuaskan. Tapi, apa hubungan keduanya? Inilah tugas orang tua untuk mendalamkan maknanya.
            

Mengenal Allah Lewat Bilangan


Senja sudah ditelan malam. Pasca magrib yang masih begitu menawan. Gemerlap bintang bertebaran menghias langit tanpa awan. Seorang ibu memulai pembicaraan dengan anak perempuannya yang masih menginjak kelas 1 SD.
“Nak, tahukah siapa nama lengkap bapak ibumu?” tanya sang ibu.
“Tahu lah ibu. Bapakku Ahmad Farizi, ibuku Salimah Putri. Betul kan?”
“Bapak Salma orangnya seperti apa?” ibu lanjut bertanya.
“Ehm, aku bangga sama bapakku. Bapak orangnya pemberani, selalu memperdulikan orang lain. Kalau ibu orangnya sabar, lembut, pintar,” jawab Salma, sang anak, melebihi keinginan ibunya.
“Kalau Salma sendiri?”
“Salma? Ehm, Salma sama kayak ibu.”
“Sama apanya?”
“Salma pintar, lembut, suka membantu ibu beres-beres rumah.” 
“Nah, sekarang Salma kenal tidak dengan bilangan 5?” ibu Salma tak berhenti bertanya.
“5 itu banyaknya rukun Islam, 5 itu setelah 4, 5 itu banyaknya jari tangan kanan atau tangan kiri, 5 itu angka belakang dari 15, 5 itu ada di lagu balonku ada lima, 5 itu banyaknya sehari kita sholat, 5 itu isi permen dalam 1 bungkus. Kenapa sih Bu?”
“Gak papa, anak ibu ternyata bisa ya mengenali bilangan 5. Jempol! Jika 2 apa? Sama tidak 9 dengan 5?”
“Oh, ceritanya ibu ngajak diskusi Salma ya? Oke. Ehm, 2, apa ya? Oh iya, 2 itu begini (sambil menunjukkan kepada ibunya jari telunjuk dan jari tengah terbuka sedang jari lain tertutup), 2 itu banyaknya bantal di kamar Salma, 2 itu kaki ayam. 9 jelas tak sama dengan 5.”
“Kok tahu kalau nggak sama?”
“9 lebih banyak dari 5.”
“Ok, ibu bangga sama Salma. Lalu, tahukah engkau Nak, apa dan siapa itu Allah?”
“Aku sering mendengarnya. Ibu dan bapak selalu mengajariku untuk senantiasa menyebut nama-Nya. Allahu Akbar, Allah ada dimana-mana, Allah yang menciptakan Salma. Emang Allah itu siapa Bu?” Salma balik bertanya. Selama ini dia memang sedikit bingung jika ada kata Allah terdengar di telinganya. Dia selalu mencarinya, tapi tak ketemu juga wujud aslinya. Tapi Salma percaya bahwa apa yang diajarkan kedua orang tuanya pasti benar adanya.
“Yang dikatakan Salma benar. Coba ingat-ingat kembali jawaban Salma terhadap pertanyaan ibu sebelum-sebelumnya! Betapa Salma begitu mengenal keluarga Salma, bahkan bilangan 5 dan 2 yang ada dalam pelajaran matematika. Betul, bukan?”
Salma mengiyakan pernyataan ibunya. Jika mengenal ibu bapaknya saja Salma tidak merasa kesulitan. Dirinya pun bisa mengenali dirinya sendiri. Tentang bilangan yang pernah dipelajarinya di sekolah pun dengan mudah dia menjelaskannya.
“Apa hubungannya dengan Allah, Bu, jawaban Salma tadi?”
“Ada. Bahkan sangat dekat. Salma harus bisa menemukannya,” tantang sang ibu.

Cukup. Kira-kira, para orang tua, pembaca semuanya, tahu tidak apa hubungannya? Saya yakin, Anda semua pasti akan mudah memahaminya. Jika kita telusuri kembali tentang sifat-sifat Allah, tentang nama-nama Allah (asmaul husna), maka kita akan bisa mengambil benang merahnya.

Siapakah yang sesungguhnya Maha Pemberani, Maha Menolong, Maha Sabar, Maha Lembut, dan Maha Pintar? Ayah Salma, Salma, dan ibunya kah? Tentu tidak. Dengan terus menggali jawaban anak, orang tua secara tidak langsung sebenarnya ingin sekali mengarahkan bahwa ketika semakin dalam anak mengenali dirinya, maka semakin jauh pula dia akan mengenal Allah. Bahwa sifat baik yang dia miliki sesungguhnya adalah sifat Allah yang memang dengan sengaja Allah meniupkan ke dalam dirinya.  Kecerdasan intrapersonal anak akan semakin diasah jika pertanyaan-pertanyaan seperti di atas senantiasa diberikan orang tua. Anak akan lebih mudah menelaah hal baik dan hal buruk yang ada pada dirinya. Ketika hal baik dia temukan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa semuanya datangnya dari Allah, dan jika hal buruk dia temukan, dia akan segera mengubahknya menjadi hal yang baik.

Lalu, bagaimana dengan bilangan-bilangan pada pelajaran matematika, misalkan 5 dan 2 tadi? Terlihat bahwa juga mengenali bilangan tersebut dengan baik sebaik dia mengenali ibu bapaknya. Bahkan, dia bisa menjelaskan bahwa 5 bukan 2, dan sebaliknya. Begitulah hakikat manusia dengan pencipta-Nya. Orang tua, melalui dialog yang lebih jauh lagi bisa mengajak anak memahami bahwasanya manusia berbeda dengan Allah. Sebaik-baik manusia tetap saja hamba Allah. Selembut manusia, ternyata masih ada yang super lembut, yaitu Allah.  Sebisa-bisanya membuat mobil canggih, ada Dzat yang super canggih menciptakan alam raya ini. Dialah Allah.

Apa pengaruh positifnya? Anak akan sadar posisi dirinya. Dia akan melek mata dan melek hati, Allah di atas segala-galanya. Sedikit demi sedikit orang tua sedang menumbuhkan karakter tawadhu dan rendah hati kepada anak. Anak mengerti pakaian kesombongan hanyalah milik Allah semata, hingga ujung-ujungnya dia akan menjadi hamba yang akan bersandar kepada Allah semata. Selanjutnya, anak akan memandang bahwa dirinya sama dengan diri manusia yang lain, apakah itu teman, guru, orang tua, ataupun tetangganya. Bahkan pengemis sekalipun. Sama-sama lemah di hadapan Allah.
Lebih jauh lagi, orang tua bisa saja menggali lebih dalam tentang hakikat bilangan 1 kepada anak. Satu lambang sendiri, simbol kemenangan, tak ada yang menandingi. Tak hanya sekedar bermakna 1 buah pensil atau 1 almari di kamar pribadi. Satu adalah milik Allah. Atau makna yang jauh tentang bilangan 10. Bahwa sepuluh tak hanya nilai yang digoreskan guru karena siswanya mengerjakan tugasnya betul semua, atau 10 adalah banyaknya jari-jari tangan. Namun, orang tua bisa memaparkan bahwa 10 adalah nilai kebaikan yang terkandung pada 1 huruf alif atau 1 huruf lam, atau 1 huruf mim jika manusia membacanya. Dan dari hal ini orang tua bisa mengangkat fakta bahwa Allah lah yang paling baik dalam memberikan balasan kebaikan yang dilakukan manusia.


Dahsyat, bukan? Matematika tak hanya bilangan semata dengan definisinya adalah banyaknya benda. Tapi dengan matematika, salah satu ilmu Allah, manusia diajak untuk lebih mengenali diri dan Sang Pencipta.

Senin, 12 Januari 2015

Sekali Waktu, Berhentilah Bekerja!


            “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

            Ehm, tak ada yang salah dengan firman Allah di atas. Tugas kekhalifahan manusia di bumi memang mau tidak mau menuntut manusia bekerja dan bergerak aktif. Sehingga kata “sibuk” melekat pada jati diri manusia. Bahkan sangat sibuk. Ada yang untuk urusan dunia, ada pula yang untuk urusan akhirat, ada pula untuk urusan keduanya. Manusia tidak diam saja seperti patung. Bergerak adalah tanda kehidupan. Diam simbol kematian.

            Namun, di sisi lain Rasulullah bersabda,”Barang siapa yang bangun di pagi hari dan hanya dunia yang dipikirkannya, sehingga ia tidak dapat melihat hak Allah dalam dirinya, maka Allah akan menanamkan 4 macam penyakit padanya: kebingungan yang tiada putus-putusnya, kesibukan yang yang tidak pernah jelas akhirnya, kebutuhan yang tidak pernah merasa terpenuhi, dan khayalan yang tidak berujung wujudnya.”(HR Muslim)

 Kontradiksi, bukan, dengan yang difirmankan Allah tadi?
            Tidak! Sama sekali tidak! Justru ini akan saling melengkapi. Bekerja, bergerak adalah ciri mendasar manusia yang hidup. Ya bergerak memenuhi kebutuhan hidup, menyeru orang pada kebaikan, menuntut ilmu, dsb. Tidak bisa tidak, manusia akan bergerak. Namun, manusia tetap punya keterbatasan. Ada lelah yang mendera, lahir dan batin. Apa yang terjadi jika manusia bekerja tiada henti? Fisiknya lama-lama lemah, bahkan menderita sakit karenanya. Untuk urusan ini, yakin, manusia sudah bisa tahu diri. Ketika mendapati tubuhnya kurang sehat, izin tidak bekerja pun akan dilakukan. Manusia akan beristirahat.

            Bagaimana jika manusia lelah batin? Terkadang, hal ini malah manusia sering melupakannya, apalagi jika kondisi fisik senantiasa kuat. Bekerja sepanjang hari seolah tak dirasa. Sampai-sampai pulang larut malam adalah hal yang biasa. Tidur berkualitas akan menyegarkan tubuh kembali. Manusia lupa bahwa batinnya, ruhnya, jiwanya juga sedang lelah. Ingin rasanya batin berteriak menyampaikan keinginannya. Ya, aku ingin mendekat kepada-Nya. Dan kealphaan ini juga bisa melanda siapapun termasuk aktivis dakwah sekalipun. Bergerak ke sana kemari, menulis ini dan itu, mengajar sana dan sini hingga tak tersisa waktu baginya untuk menghadap-Nya. Sekedar munajat malam hari pun sering terlewat begitu saja. Sibuk bergerak, namun isi jiwanya kosong. Apakah ada dampaknya? Ada, sering kali dia bergerak namun tak memberi bekas.

            Maka, sekali waktu, berhentilah bekerja! Bukan untuk tidur menghabiskan malam, namun untuk mengingat kembali siapa diri dan siapa Dia. Bukan untuk memejamkan mata begitu saja, namun bagaimana dzikir mengingat-Nya bisa menjadi pengantar terpejamnya mata.


            Bukankah Allah akan membuat lupa manusia akan hal yang membawa manfaat untuknya manakala manusia melalaikan dzikir mengingat-Nya? Mengingat hak Allah dalam setiap aktivitas kesibukan adalah cara aman jiwa kembali mendapatkan siraman sejuknya. 

Minggu, 04 Januari 2015

Kepedulian yang Kurang dalam Angkutan Bis

Di bis tidak ada seperti ini..

                Pernah naik KRL alias kereta api listrik? Saya pernah. Meski tak sering-sering amat. Beberapa kali naik bersama suami dan dua anak balita sering kali ketika kami tak mendapati tempat duduk, 2 orang penumpang lantas merelakan kursi duduknya untuk kami. Apa yang mereka lakukan sesuai dengan apa yang sudah dianjurkan oleh pihak KRL untuk memprioritaskan orang tua, ibu hamil, orang cacat, dan orang tua yang membawa anak balita. Kalau penumpang tak peduli dengan anjuran itu, biasa petugas KRL mengingatkan. Pengalaman selama ini begitu. Tapi sedikit atau banyak, ada kali yang tetap cuek.

                Sama ketika pulang kampung kemarin, ketika perjalanan dari Lamongan ke Surabaya naik bis. Saya menggendong Nasywah yang berusia 2 tahunan, sedang suami menggandeng Qowiyy usia hampir 5 tahun. Ternyata, kami berdiri semua. Qowiyy berdiri sambil memegangi celana ayahnya. Agak risih dia. Hampir setengah jam dia berdiri. Ada keluh kesah dilontarkannya. Kakinya mulai pegal. Keringatnya mulai bercucuran. Sesekali dia hampir jatuh karena bis bergoncang karena jalan rusak, dsb. Qowiyy meminta gendong ayahnya. Suami pun menggendong. Tapi karena kernet bis jalan dari depan ke belakang cukup mengganggu posisi suami menggendong Qowiyy, akhirnya sulung saya ini berdiri lagi. Ada kantuk di matanya. Dia tahan-tahan. Maklum kalaupun menunggu bis berikutnya bisa menunggu 1 jam an lagi dengan kondisi yang sama. Maka, kami nekat saat itu untuk naik.

                Suami berkata setengah berbisik,”Jangan berharap kayak di KRL. Di bis nggak ada aturan kalau orang tua bawa anak balita diprioritaskan tempat duduknya!” Saya mengangguk dan tersenyum. Lalu, saya melihat penumpang di sekeliling saya. Banyak laki-laki yang kekar dan beberapa perempuan yang tampak muda. Dan semuanya hanya melihat kami. Padahal di perjalanan selanjutnya, meski kami naik bis patas, saya melihat seorang penumpang merelakan tempat duduknya untuk ibu tua yang salah masuk bis. Inginnya bis biasa, namun keliru naik bis patas padahal sudah penuh. Pemandangan yang berbeda ketika di bis sebelumnya. Tak ada penumpang yang peduli. Ya, minimal untuk anak sulung saya tadi. Sudahlah! Untung hanya setengah jam, setelah itu setengah jam berikutnya, alhamdulillah kami mendapat tempat duduk karena ada penumpang yang turun. He, Qowiyy langsung tertidur pulas.


                Mungkin memang salah kami mengapa tak memilih alternatif kendaraan lain  dengan jurusan lain. Ada sih, tapi memang jadi lebih memakan waktu. Ada juga lewat jalur lain, tapi kondisinya malah kemungkinan besar kami tidak mendapat tempat duduk di bis lebih lama lagi. Paling tidak jadi bisa introspeksi bahwa kami ke depannya hendaknya bisa menjadi penumpang yang peduli jika ada penumpang lain mengalami kejadian seperti yang kami alami. Kepedulian memang harus diasah, bukan?