Selasa, 30 September 2014

Super Gizi Qurban : Alternatif Keren Penyaluran Daging Qurban

Super Gizi Qurban Yatim Mandiri untuk anak yatim dhuafa

                Musim qurban akan segera tiba. Orang muslim berbondong-bondong menyalurkan sebagian uangnya untuk berqurban. Ada yang berupa sapi atau kambing. Ketika qurban disembelih, biasanya langsung dibungkus sama panitia, lalu dibagikan langsung ke masyarakat sekitarnya. Konvensional anget, tapi tak apalah untuk skala kecil masih tetap perlu dilakukan. Bagaimana jika ingin melebarkan wilayah penyaluran ke berbagai daerah?

                Zaman sekarang serba canggih. Penyaluran daging qurban pun bisa dilakukan dengan cara yang kreatif. Asal tetap sesuai syariah. Yatim Mandiri menyempurnakan daging qurban diolah menjadi sosis. Program ini disebut dengan Super Gizi Qurban. Jarang-jarang ada yang melakukan program seperti ini. Wong saya dulu qurban ke lembaga seperti Yatim Mandiri juga yang tampak kambing atas nama saya disembelih, terus dagingnya dibagikan ke warga sekitar. Cara yang ditempuh Yatim Mandiri ini adalah cara yang keren dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 

                Rasulullah bersabda,"Dahulu kami biasa mengasinkan (mengawetkan) daging udhiyyah daging (qurban) sehingga kami bawa ke Madinah, tiba-tiba Nabi SAW bersabda "Janganlah kalian menghabiskan daging udhiyyah (qurban) hanya dalam waktu tiga hari". (Mutaffaq Alaihi)

Dengan cara seperti ini, distribusi daging qurban bisa mencapai pelosok negeri tanpa ada kekhawatiran akan busuk. Super Gizi Qurban lebih awet dan tahan lama. Bisa mencapai 2 tahun meskipun tanpa bahan pengawet. Bahkan, Super Gizi Qurban sangat membantu program peningkatan gizi anak yatim dhuafa, khususnya yang berada di daerah pelosok. Sesuai dengan visi misi Yatim Mandiri yang memang lebih konsen dan peduli kepada anak yatim dhuafa.

Luar biasa, bukan? Cara kreatif untuk kemaslahatan lebih besar. Tentu saja, Yatim Mandiri membuka peluang ibadah dengan cara berqurban seperti ini seluas-luasnya kepada khalayak ramai. Mau sapi, boleh. Mau kambing, juga boleh. Tahun ini, paket qurban di Yatim Mandiri untuk 1 ekor sapi senilai 12.600.000, sedangkan kambing cukup dengan uang 1.800.000 sudah bisa berqurban.

Kesempatan yang sama juga bisa dilakukan perusahaan-perusahaan yang ingin menyalurkan dana CSR nya agar lebih bermanfaat. Supaya program Super Gizi Qurban bisa merambah banyak tempat dan keluarga yatim dhuafa, maka tentu saja sangat diperlukan dana qurban yang besar untuk itu. Perusahaan bisa turut andil dalam program ini. Optimalisasi dana CSR tak perlu repot lagi.


Tak rugi lah berqurban di Yatim Mandiri. Tak harus datang ke kantornya langsung. Via transfer juga bisa, langsung ke Rekening Mandiri 140 000311 7703. Gampang dan pastinya bermanfaat! 

Minggu, 28 September 2014

Kerugian Berbisnis Daycare

Anak-anak di daycare adalah investasi akhirat

                Daycare kini banyak bermunculan dimana-mana, seolah memang menjadi kebutuhan orang tua untuk menjaga anak-anaknya selagi mereka bekerja. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya, anak sudah diajak berangkat menuju daycare. Pulang sampai rumah maghrib/malam sudah biasa bagi anak-anak yang dititip di daycare.

                Sungguh, rugi berbisnis daycare. Jika niatnya untuk meraup untung saja. Awal saya mendirikan Rumah Pelangi Daycare ada bimbang dalam hati saya. Seolah bertentangan dengan prinsip saya, bahwa ibu, khususnya, selayaknya di rumah saja mendidik dan membesarkan buah hatinya. Tapi, saya pendam dan kubur kebimbangan saya. Toh, faktanya tidak semua ibu bekerja tidak peduli dengan pengasuhan dan pendidikan anaknya. Buktinya, ada orang tua yang menitipkan anaknya di daycare sangat perhatian dengan makan, progress tumbuh kembang, dan kemampuan lain anaknya. Meski, jujur ada juga orang tua yang tak terlalu peduli soal itu. Bahkan diberi rapor perkembangan anaknya pun biasa saja. Tak bertanya apa pun. Yang menyedihkan lagi adalah karena alasan pekerjaan dan tidak mau dimarahi atasannya, orang tua malah tega dan ngeyel menitipkan anaknya di daycare ketika sakit. Padahal sudah jelas itu saya larang karena memang demikian aturannya. Kenyataan seperti inilah yang membuat saya maju mendirikan daycare. Membantu orang tua soal anaknya dan mengajak orang tua bisa senantiasa belajar dan berlatih menjadi orang tua yang baik.

                Sungguh, rugi berbisnis daycare. Jika malah menjadikan anak jauh dari orang tuanya. Anak-anak di Rumah Pelangi Daycare sangat dekat dengan para pengasuhnya. Mereka biasa mendongeng, bermain, belajar sholat, berdoa, dan makan bersama. Namun, pengasuh berusaha saya ajari agar menceritakan kebaikan orang tua anak-anak kepada mereka. Bahwa orang tua mereka bekerja untuk kebaikan mereka, ibunya lah yang melahirkan mereka, yang mengajarkan banyak nama benda, tempat bersandar ketika sakit, mengajak bermain ketika libur, menemani ketika tidur malam, dsb. Bagaimanapun, meski durasi anak-anak lama di daycare, namun kebersamaan mereka bersama orang tuanya tentu ada yang berkesan. Dan ini yang selalu dihadirkan pengasuh kepada mereka agar tetap dekat dengan orang tuanya. Jangan sampai seperti kacang lupa akan kulitnya.

                Sungguh, rugi berbisnis daycare. Jika terus mengungkit betapa lelahnya mengurus anak orang. Karenanyalah, suntikan motivasi kepada pengasuh tentang pahala melimpah berbisnis ini senantiasa saya berikan. Lelah? Memang iya. Apalagi beragam sekali tingkah polah anak. Ada yang suka menggigit, ada yang suka mojok di kamar saja, ada yang suka nangis seharian, ada yang tidak bisa makan nasi, dsb. Wajar lelah, lumrah mengeluh ini itu. Namun, bukankah ini ladang amal yang sangat besar?


                Daycare bukan soal lagi tentang “Ini lho saya punya daycare”. Bukan, bukan itu! Daycare adalah inspirasi amal. Daycare adalah sumur kebaikan.

Rumah Dekat Masjid


                Ini adalah cita-cita lama. Bahkan sebelum saya berkeluarga. Bertempat tinggal dekat masjid. Rasanya adem saja jika rumah yang saya tinggali dekat rumah Allah ini. Bagaimana tidak? Sholat bakal tepat waktu nih karena selalu mendengar adzan. Tak perlu jauh-jauh lagi kalau tarawih. Nggak seperti pas waktu kecil sampai SMP dulu, tarawih harus ke masjid beda gang. He, apa yang masuk ketika buka puasa langsung habis ketika berangkat ke masjid untuk tarawih. Kenangan masa lalu nih..

                Tapi, tentu saja, bukan hanya karena itu alasan saya ingin tinggal dekat masjid. Di zaman seperti ini, ketika anak-anak muda terlihat semakin banyak yang menjauhi masjid, sungguh saya miris. Tak berharap anak saya akan demikian halnya kelak. Apalagi ketika subuh, sedikit sekali yang datang ke masjid untuk sholat berjamaah di sana. Masjid dekat rumah saya saja kalau subuh, seringnya juga hanya satu baris saja shaffnya terisi. Itupun, hampir tidak pernah ada anak mudanya. Astaghfirullah. Beda banget ya sama di Palestina.

                Sungguh, rumah dekat masjid adalah sebagai wasilah bagaimana anak bisa dekat kembali dengan tempat mulia ini. Bukankah Rasulullah dulu juga sering mengajak cucunya Hasan dan Husein ke masjid? Bahkan ketika mimbarnya pun dibuat mainan cucunya, Rasulullah tidak marah. Ketika beliau sujud ditunggangi kedua cucunya pun, tak ada marah yang melayang ke cucu kesayangan beliau tersebut. Itu adalah cara Nabi mendekatkan cucunya kepada masjid.

                Saya dan suami pun tak ketinggalan. Ketika di Surabaya, kontrakan kami dekat masjid. Alhasil meski anak sulung kami masih bayi, suami juga tetap rajin ke masjid. Tinggal jalan kaki sedikit saja. Bahkan ketika sulung kami masih janin, saya sering berbicara,”Nak, ayah ke masjid, ntar kamu juga suka ke masjid ya.” Lalu, kami pun pindah ke Depok meski tidak bersamaan di awalnya. Saya menyusul belakangan karena harus menyelesaikan amanah di Surabaya. Otomatis, suami mencari kontrakan sendiri di Depok. Pokoknya dapat dulu aja. Ketika saya tiba di Depok, oh tidak, kontrakan kami jauh dari masjid. Suami juga jarang ke masjid. Belum lagi tetangga juga tak ada yang suka ke masjid. Kami hanya bertahan 3 pekan di sana. Tak kerasan melanda jiwa saya. Kami mencari kontrakan rumah baru.

            Alhamdulillah, dapat yang sesuai dengan keinginan hati. Selama 4 tahun saya dan keluarga kecil saya di kontrakan tersebut. Dekat banget sama masjid. Dan kebahagiaan itu semakin terasa di sini, di hati ini. Suatu ketika Qowiyy tiba-tiba melantunkan ayat suci Al Quran,”Wat tini waz zaitun”.

Saya lantas berkata,”Mas, kok bisa hafal?”  
“Iya, dari masjid,” jawab Qowiyy singkat.

Luar biasa, bukan efeknya. Ketika hari Jumat tiba, Qowiyy juga sering mengikuti bacaan murottal yang disetel masjid ketika jelang sholat Jumat. Diambil suku kata terakhirnya sama Qowiyy, namun itu begitu membahagiakan saya karena dia jadi dekat sama Al Quran. Belum lagi Qowiyy juga terbilang sering ke masjid meski itu subuh. Maklum, anak-anak saya bangunnya sering pukul 3.30-4.00. Berangkat sama ayahnya tanpa ada rasa kantuk. Maghrib dan isya tak ketinggalan pula. Qowiyy sering ikut ke masjid. Perlahan-lahan percaya dirinya tumbuh meski harus terus berproses.

Sungguh, rumah kontrakan yang sangat berkesan. Bagaimana dengan cita-cita saya mempunyai rumah sendiri? Tidak bisa tidak, rumah kami harus dekat masjid juga. Minimal musholla yang aktif kegiatan sholat berjamaahnya. Ketika itu tanpa berpikir panjang, saya dan suami pun membeli rumah perumahan di Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Konsep perumahan muslim yang diusung developer adalah daya tariknya saat itu. Dan benar, memang di perumahan tersebut nantinya akan dibangun musholla. Bukan masjid, karena depan perumahan sudah ada masjid. Saat membeli rumah itu belum ada Rumah Pelangi Daycare yang saya dirikan dan kelola sampai sekarang.

Ketika rumah sudah jadi dan siap huni, malah akhirnya rumah kami jual dengan pertimbangan daycare saya tadi. Kami tetap mengontrak di rumah kontrakan dekat masjid tadi sambil terus mencari rumah di Depok yang bisa kami beli.

Ketemu deh! Di sebuah perumahan yang sudah berumur 5 tahun sejak berdirinya. Dekat masjid banget, hanya berjarak 3 rumah saja. Senang sekali hati ini. Ya, mampunya beli rumah second. Tapi nggak masalah, yang penting dekat masjid. Saya dan suami langsung memprosesnya KPR nya karena kalau beli cash belum cukup duitnya. Harga rumah cepat sekali naiknya. Sayang, permohonan KPR kami ditolak. Kami terus mengumpulkan uang sambil mencari rumah yang cocok. Sempat beberapa kali berselisih dengan suami soal kriteria rumah dekat dengan masjid.

“Nggak harus dekat masjid kali. Ya susah nyarinya. Keburu harga rumah naik terus!”

Saya hanya diam kalau suami sudah bilang begitu. Saya tak patah semangat bahwa suatu ketika kami bisa mempunyai rumah dekat masjid. Prosesnya memang berliku. Pernah dapat rumah yang cocok dan dekat masjid, eh, ternyata yang punya rumah malah belum AJB perihal rumahnya. Kami tunggu sekitar 4 bulan si empunya rumah untuk urus AJB dan sertifikat, ternyata belum kelar juga. Lelah mencari? Iya, jujur saya lelah. Tapi rasanya tak ingin menyerah. Setiap hari saya tak mau kalah searching di internet mencari info rumah dijual dekat masjid. Ada, tapi mahal. Ada, tapi jauh dari mana-mana. Hingga akhirnya tertuju pada sebuah rumah.

“Mau ta yang ini?” suami menunjukkan gambar rumahnya dari HP.
“Iya aja deh! Dah capek, Ayah, muter-muter! Percaya aja deh sama ayah!”
“Nggak pingin survey dulu?”

Saya menggelengkan kepala. Benar-benar pasrah dan lelah sudah mencari berkali-kali tak ketemu yang tepat. Termasuk harga dan kondisi rumahnya. Ketika sedang renovasi, saya baru melihat rumah yang akhirnya kami beli. Tak ada yang mengganjal di hati saya. Pas, cocok. Apalagi dekat masjid juga. Inilah jawaban terindah dari Allah.


Betapa bahagia rumah saya dekat masjid. Qowiyy tak mengalami kesulitan berarti untuk mengajaknya sholat di masjid. Bahkan lantunan itu kembali saya dengar. Bukan ayat yang sama, tapi berbeda. “Alhakumuttakastur”. Qowiyy hafal karena imam masjid sering melantunkannya. Allahu Akbar. Subhanallah. Tak pernah merugi punya rumah dekat masjid.

Kamis, 25 September 2014

Hati-hati Jalan-jalan di Asemka

                Siapa sih yang tak kenal Asemka? Warga Jabodetabek mestinya sudah tak asing lagi dengan pasar pagi di daerah ini. Letaknya yang mudah dijangkau berbagai transportasi darat memudahkan orang untuk berbelanja atau sekedar cuci mata di sana. Jalan kaki dari stasiun Jakarta Kota juga tak membutuhkan waktu lama.

                Sampai di Asemka, wow, banyak sekali penjual asesoris, mainan anak, dan alat tulis sekolah. Sampai bingung milih karena saking beragamnya. Harganya pun murah-murah, mau nawar juga jadi sungkan. Bahkan mainan yang selama ini saya cari untuk menambah jenis mainan di toko online saya malah ada di sana. Sayang, mau beli tak bawa uang banyak. He, niatnya iseng saja datang ke sana, mengisi hari libur bersama suami dan anak-anak. Alhasil, diborong sama orang deh!

                Tak apalah. Yang penting belikan hadiah anak sulung karena rajin mengaji tiap hari sudah keturutan. Hanya mobil-mobilan. Tapi adiknya kan pun akan iri tak ketulungan. Dibelikanlah magic board buat coret-coret. Dua mainan hanya 25 ribu. Tapi kok ya, setelah dipikir-pikir, rugi banget jauh-jauh dari Depok hanya beli itu. Mampirlah ke pedagang stiker. Selusinnya 16 ribu. Lumayan bisa untuk media reward dan punishment si kecil atas perilakunya sehari-hari. Karena belum terlalu siang dan mata saya melirik ada mainan bagus, beli juga deh 1. Namanya “Letter Blocks”. Kalau jualan online ini, kira-kira prospeknya gimana ya? Sepertinya bagus!



                Pokoknya senang jalan-jalan di pasar pagi  Asemka. Berbagai jenis mainan ada. Mulai dari yang terbuat dari plastik, kayu, besi ringan ada. Tinggal pilih. Namun, tetap hati-hati ya jika berbelanja di sana, apalagi jika bawa anak kecil. Jalanan Asemka padat dengan kendaraan, baik kecil atau besar. Banyak truk dan mobil box berisi barang.Belum lagi sepeda motor dan mobil. Macet deh! Polusinya itu lho! Wajib bawa masker biar relatif aman.



                Selain itu, berhati-hati jika mampir warung makan di Asemka. Rata-rata ya plontosan begitu saja. Khawatir dah kena asap, debu, dsb. Harus lebih selektif. Memang ramai sih, tapi kalau bawa anak kecil untuk makan di sana mending tidak usah.



                Asemka disemuti orang dan kendaraan jika weekend tiba. Pejalan kaki di sana hendaknya berjalan benar-benar di pinggir, meski sedikit area yang bisa dipakai jalan kaki dengan aman. Awas knalpot kendaraan mengenai kulit kaki kita. Yang membawa anak kecil lebih baik digendong saja.


                Asemka memang berjuta warna dan rasa. Meski harga murah menjadi target utamanya, namun keselamatan diri tetap perlu dijaga. Cocoknya sih pemerintah menata rapi kawasan ini dengan mengumpulkan pedagang dalam satu area yang bukan memanfaatkan jalan untuk berjualan. Penjual senang, pembeli juga tenang.

Selasa, 23 September 2014

Segelas Teh, Tanda Tangan, Mulut Fasih, dan Kebanjiran

                
SMA Negeri 1 Kediri tampak dari depan
        Guru seperti ini yang senantiasa dinanti oleh siswa-siswanya. Faktanya, setiap hari raya Idul Fitri banyak sekali alumni SMA Negeri 1 Kediri tempatku belajar dulu senantiasa berkunjung ke rumah beliau. Guru yang hebat. Guru yang menggunakan hati dalam setiap aktivitasnya. Tidak hanya mengajar, namun memang seperti orang tua kedua. Ingat bangetlah ketika itu pelajaran Kimia, aku tak berkonsentrasi menyimak pelajarannya. Beliau rupanya memperhatikanku sejak mula pelajaran dimulai. Lantas, beliau mendekati. Dengan terpaksa aku pun mengaku bahwa perutku sakit sekali. Wajahku tampak pucat menahan sakit. Diajaknya aku ke kantin sekolah, tempat yang paling jarang aku datangi karena aku tak pernah bawa uang saku. Siswa yang lain sudah diberi tugas. Dibelikannya segelas teh pahit hangat dan memintaku untuk meminumnya.

“Minum, Nak! Biar legaan perutnya.”

Setelah itu kami kembali ke kelas. Aku berkeringat, namun letak meja kursiku dekat pintu kelas dan jendela membuat keringat menguap. Sedikit lega. Perutku tak sakit lagi. Sungguh, sampai sekarang aku juga tak mengerti apa khasiat segelas teh hangat dengan sakit perutku saat itu. Tapi kenangan ini begitu membekas di hatiku. Bu Endang mau membantuku menghilangkan sakitku.

Selain beliau masih ada 2 guru terbaik di SMA Negeri 1 Kediri. Bu Titik, guru fisika, orang yang sangat humoris. Fisika jadi tidak sulit. Beliau tak pernah mengadakan ulangan, namun di setiap akhir pembelajarannya, beliau selalu memberikan 3-5 soal tentang materi itu. Setiap soal dikerjakan cepat-cepatan untuk diperiksa oleh beliau. Yang berhasil pertama kali dan benar akan mendapatkan tanda tangannya. Selama sepekan yang berhasil mendapatkan tanda tangan terbanyak akan mendapatkan hadiah. Apa?

“Wuih, jempol kamu. Luar biasa!”

Hanya itu. Tapi sungguh lebih terasa semangatnya di hati, meski aku hanya merasakan sekali. Maklum, ada yang lebih jago di kelas kalau soal Fisika.

Satu lagi, beliau seorang guru agama. Laki-laki yang lucu karena mulut beliau itu fasih kalau ngomong. Karenanya pula masjid sekolah juga ramai dikunjungi siswa. Banyak cerita kehidupan yang beliau ketengahkan manakala mengajar. Tak perlu bawa buku atau ngobrolin dalil. Keren deh pokoknya!

Guru memang faktor utama keberhasilan pendidikan di sekolah. 60% kesuksesan sekolah berada pada pundak guru. Bukan melulu soal pandai mengajar, namun juga bisa membangun kedekatan dengan siswanya. Guru yang kreatif dan peduli pendidikan juga akan menanamkan karakter kerja keras dan pantang menyerah pada siswanya. Peristiwa banjir itu tak mudah kulupakan. Biasa, kalau hujan turun lebat dan terus-terusan, SMA Negeri 1 Kediri selalu banjir. Lapangan belakang yang biasa dipakai olahraga dan upacara dulunya adalah rawa. Masih banyak lahannya yang belum terjamah dan diapa-apakan. Kalau banjir airnya meluap sampai ke kelas-kelas dan sekolah bagian depan. Namun, sekolah tak meliburkan lho! Guru-gurunya bersama perangkat yang lain memasang papan kayu panjang dari pintu gerbang menuju kelas-kelas. Karena kelas kotor, bahkan ada ikan yang nyasar, guru dan siswa sama-sama membersihkan. Pelajaran tidak disampaikan secara formal seperti biasanya. Dari peristiwa kebanjiran, paling tidak aku dan teman lainnya paham, yang kotor harus dibersihkan, bersama-sama lebih enak daripada sendirian, untuk mendapatkan sesuatu harus segera dimulai. Tidak boleh ditunda. Tak mungkin bukan aku dan teman-teman menunggu kelas bersih sendiri untuk bisa belajar nyaman? Pelajaran yang sangat berharga. Aku tak salah pilih ketika dulu masuk ke SMA ini selain karena ada beasiswa unggulan saat itu.

Aku cukup lama tak pernah dengar kabar SMA Negeri 1 Kediri seperti apa. Terakhir bulan Juni 2014 kemarin dengar seseorang berkata seperti ini.

“SMA 1 sekarang bagus lho! Paling bagus malahan!”

SMA Negeri 1 Kediri sekarang sudah free wi-fi

Wow! Kira-kira bagusnya karena apa ya? Aku sendiri juga tidak melanjutkan obrolan itu lebih dalam. Namun, sebagai orang yang pernah bersekolah dan nanti juga akan menyekolahkan anak, aku punyalah sekolah impian yang kuidam-idamkan. Kayak gini nih..

Memang sih, garda utama tetap pada guru. Bahkan sampai tutur kata guru juga harus diperhatikan. Bukankah dari ucapan akan turun ke pikiran? Ucapan juga menentukan masa depan. Bahaya banget kalau guru suka ceplas-ceplos ngomong yang tak karuan. Kualitas mengajar dengan memperhatikan gaya belajar anak serta kompetensi keilmuwannya juga tak lagi diragukan.

Sekolah impian versi aku juga sebaiknya ada perpustakaan yang lengkap. Koleksi bukunya memungkinkan guru, siswa, dan elemen sekolah lainnya selalu bisa dengan cepat membaca dan membuat ringkasannya. Sekolah memang mengadakan program guru  dan siswa wajib baca buku. Kebayang kan apa jadinya jika semua elemen sekolah gila buku? Akan ada peradaban besar terjadi!

Tak ketinggalan, aku tuh ingin banget ada sekolah yang ketika mendirikannya juga melalui proses amdal. Tak harus yang muluk-muluk, minimal tentang pengelolaan sampah di sekolah bisa tertangani dengan baik juga. Atau tetap menyediakan saluran air yang lancar sehingga tak ada bau menyengat dari kamar mandi atau tempat lainnya. Kebersihan tak boleh disepelekan mau sekolah yang bentuknya ruang kelas, saung di pelataran, atau berbasis alam sekalipun.

Terakhir, apa ya? Oh ya, meski butuh proses yang sangat panjang, karakter positif siswa harus bisa terbentuk juga di sekolah. Kerjasama yang baik dengan orang tua akan memudahkan proses ini. Zaman semakin menggila sekarang, butuh perisai yang kuat untuk bisa menghadapinya. Guru tak cukup mengajar dalam taraf kognitif saja, namun memasukkan nilai moral dalam setiap ucapan dan tindakannya. Terintegralisasi. Nilai suatu bangsa ada pada nilai moral dan akhlak warganya. Sekolah turut andil dalam membangun nilai bangsa.

Dimana bisa mengetahui semua kriteria itu? Sekolah yang bagus mestinya punya Quality Assurance (QA). Terpajang di setiap pojok sekolah sebagai landasang berpijak semua elemen sekolah. Lihat  QA semangat muncul untuk mencapai apa yang tertera di dalamnya. Sekolah bagus harus mampu memberi jaminan kepada orang tua. Kalau milih sekolah, aku pasti lihat yang ini dulu.


                Segelas teh, tanda tangan, mulut fasih, dan kebanjiran telah mengajariku. Apa arti sekolah, apa makna kehidupan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away Sekolah Impian





Minggu, 21 September 2014

Menangis dari Hati yang Hidup Akan Lebih Menghidupkan Hati


                Terhenyak ketika tiba-tiba memandang sebuah majalah yang menanyakan kapan terakhir kita menitikkan air mata. Kaget dan rasanya dadaku langsung bergemuruh. Aku tak ingat kapan terakhir aku bisa menitikkan air mata.

                Air mata yang benar-benar beda. Seperti yang dimiliki Umar bin Khatab hingga pipinya terdapat bekas hitam saking seringnya sahabat Nabi yang perkasa ini menangis. Atau seperti Sufyan Ats Tsauri yang ketika mengingat dosanya, tapi masih saja merasa takut Allah tak menerima taubatnya.

                Entah kenapa, beberapa hari yang lalu aku ditawari tiket untuk mengikuti sebuah seminar parenting. Sebenarnya aku sudah mengenal siapa pembicaranya. Wong kami sering ketemu, kok! Tapi, tak ada rasa berat hati aku membeli tiket itu dan kemarin aku mengikuti seminarnya. Dan benar, menit pertama aku sudah menitikkan air mata. Bahkan sampai akhir seminar, air mataku susah untuk dibendung. Aku merasa hatiku hidup saat itu.

                Mengenal Allah.  Ya, aku juga ingat ketika dulu ikut pelatihan ESQ Bang Ari Ginanjar, hatiku juga takjub dan hidup karenanya. Tiga hari wajah tak bisa gembira sedikitpun. Benar, bahwa mengingat Allah, hati menjadi tenang. Hidup dan ingin terus mendekat kepada-Nya.

                Mengenal Rasulullah. Ya, aku juga terpana dan menitikkan air mata ketika sebuah video kisah meninggalnya manusia mulia ini tak sengaja aku putar ketika mendarat di grup whatsapp. Bahkan selama dua bulan lebih aku masih terngiang-ngiang isi video itu. Tamparan yang luar biasa.

                Tapi, aku tak ingat kapan terakhir bisa menitikkan air mata karena murni hatiku hidup. Bukan karena pelatihan, seminar, atau video. Bagaimana aku bisa seperti sahabat Rasulullah? Apa rahasia mereka bisa hidup hatinya, lalu mudah menangis, dan dengan meneteskan air mata, hati mereka tambah hidup?
1.       Puasa
Bahkan dalam keadaan berperang pun berpuasa. Perang yang meletihkan, menggemparkan, membutuhkan daya juang yang sangat tinggi. Namun, para sahabat Rasulullah tetap melakukannya. Justru itulah senjata utamanya. Puasa karena mereka begitu mengenal Allah.

2.       Sholat malam
Sholat terbaik setelah sholat wajib adalah sholat malam. Muhammad Al Fatih, meski bukan sahabat Rasulullah, namun beliaulah yang selalu hadir dalam mimpi Rasulullah. Dia berhasil membawa pasukan muslim menaklukkan Konstantinopel. Pemimpin pasukan luar biasa karena terbiasa menunaikan sholat malam sejak dia baligh sampai usianya ketika itu. Tak pernah ditinggalkannya meski hanya semalam.

3.       Dekat Al Quran
Al Quran adalah ruh yang menggerakkan jiwa, pikiran, dan badan para sahabat untuk senantiasa menabur kebaikan dibalut dengan iman. Abdullah bin Amr Al Ash mampu mengkhatamkan Al Quran dalam sehari meski akhirnya dilarang sama Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud rela dan berani membaca Al Quran di ka’bah meski tahu akan dilempari batu oleh kaum kafir Quraiys. Ibnu Abbas, saking dekatnya beliau dengan Al Quran menjadi tempat rujukan kala itu.

4.       Semangat Berukhuwah
Bagaimana Abu Dzar Al Ghifari merelakan perempuan Anshar yang ingin dipinangnya untuk menikah dengan sahabat yang menyampaikan pinangannya. Karena ternyata perempuan Anshar lebih memilih sahabat Rasul yang menemaninya itu. Atau dua orang sahabat Rasulullah yang sama-sama memiliki hutang dan ternyata keduanya saling membayarkan lunas hutangnya tanpa sepengetahuan keduanya. Sahabat A menyahurkan hutang sahabat B tanpa sepengetahuan sahabat B. Demikian juga sebaliknya.


                Hati para sahabat Rasulullah dan generasi sesudahnya hidup karena terus bersama cahaya Allah. Karena mengenal Allah dengan kadar yang sangat tinggi. Sedang aku? Tertatih-tatih menuju cahaya itu. Bisa menangis karenanya adalah sebuah anugrah yang tiada kira, meski kapan terakhir aku menitikkan air mata, aku pun sudah lupa. Bukan karena seringnya menangis, tapi saking jarangnya menangis. Menangis karena hati yang hidup itu.