Kira-kira jika saya membuka grup
bernama “Ibu-ibu Doyan Matematika” ada yang tertarik tidak ya untuk bergabung
di dalamnya? Entahlah, namun saya ingin berbicara bahwa ibu-ibu rumah tangga
harus melek matematika. Jangan sampai kejadiannya seperti ini.
“Ibu, kenapa 2 x 3 = 6 dan 3 x 2
= 6 juga? Apa bedanya?” seorang anak SD kelas 2 bertanya kepada ibunya. Dan
ibunya menggeleng tidak tahu. Bahkan meminta anaknya agar besok bertanya kepada
guru matematikanya.
Ini kejadian lain. Seorang anak
bertanya kepada ibunya,”Bu, aku nggak bisa ngerjain PR matematikanya.” Sang ibu
menjawab,”Ya udah, ibu dulu juga nggak belajar begituan.” Dan ujung-ujungnya,
sang ibu kembali menyuruh anaknya besok nyontek temannya yang bisa dan lebih
mendengarkan penjelasan guru matematikanya dengan lebih cermat lagi.
Nah, bagaimana jika guru
matematikanya juga tidak bisa? Faktanya masih banyak ditemui untuk guru
matematika SD dipegang oleh guru yang berlatar belakang matematika. Sebagian
besar juga salah konsep dalam mengajarkannya kepada siswa. Alhasil metode yang
digunakan guru pun cenderung sifatnya text book saja. Padahal matematika SD tidak
bisa hanya melulu begitu.
Matematika sebenarnya sangat
menyenangkan. Tanpa buku pun anak-anak akan menyukainya. Tentu, guru harus
matang secara konsepnya dan tahu metodologi bagaimana mengajarkannya. Kembali lagi,
bagaimana jika gurunya yang tidak bisa? Apakah anak akan selamanya tidak bisa? Di
sinilah peran ibu rumah tangga belajar matematika.
Saya pernah mengajar ibu-ibu
rumah tangga sekitar 22 orang untuk belajar matematika sehingga jika anaknya
bertanya tentang PR nya atau kesulitannya dalam matematika bisa membantunya.
Secara praktis mungkin bisa gampang saja orang tua memasukkan anaknya di
lembaga les matematika, namun saya punya pikiran lain. Jika orang tua khususnya
ibu bisa mengajari anak-anaknya di rumah tentu hasilnya lebih positif. Anak
memiliki kedekatan yang lebih dengan ibunya. Bukankah setengah hari bahkan
seharian mereka sudah di sekolah? Belum lagi TPA, main sama teman tetangga
sebelah. Berapa lama bisa bersama ibunya? Kalau ketika bertanya PR pun seperti
di atas jawabannya?
Ya, syukurlah, 22 ibu yang saya katakan
tadi akhirnya belajar matematika. Antusias sekali meski hanya seminggu sekali,
bahkan ketika saya minta untuk membuat media belajar untuk anak juga ada yang
melakukannya. Meski pada akhirnya tersisa 6 orang saja yang istiqomah untuk
belajar (yang lain pada bentrok waktu sama saya), tapi saya senang. Seorang di
antaranya malah sudah terlihat hasilnya ketika dengan ibunya sendiri yang turut
mengajari di rumah dengan cara yang berbeda dengan gurunya, anaknya jauh lebih
terbuka dan berani mengungkapkan pendapatnya. Nilai matematikanya pun mengalami
kenaikan.
Tapi saya ingin menekankan. Hasil
matematika yang baik bukan satu-satunya tujuan. Yang terpenting bagaimana anak
dekat dengan ibunya terlebih lagi bisa bangga karena ibu bisa menjadi guru
untuknya.
Memang dekat dengan anak bisa
dengan cara yang lain. Dan matematika bisa menjadi salah satu pendekatannya. Bagaimana?
Ibu-ibu tertarik belajar matematika?
mau dong ikut gabung, Shidqi dah mulai kritis nih, hehe
BalasHapusAyo mbak, boleh tanya online lewat saya ... anaknya dah usia berapa sekarang?
Hapus