Minggu, 24 Maret 2013

Ibu-ibu Doyan Matematika


Kira-kira jika saya membuka grup bernama “Ibu-ibu Doyan Matematika” ada yang tertarik tidak ya untuk bergabung di dalamnya? Entahlah, namun saya ingin berbicara bahwa ibu-ibu rumah tangga harus melek matematika. Jangan sampai kejadiannya seperti ini.

“Ibu, kenapa 2 x 3 = 6 dan 3 x 2 = 6 juga? Apa bedanya?” seorang anak SD kelas 2 bertanya kepada ibunya. Dan ibunya menggeleng tidak tahu. Bahkan meminta anaknya agar besok bertanya kepada guru matematikanya.
Ini kejadian lain. Seorang anak bertanya kepada ibunya,”Bu, aku nggak bisa ngerjain PR matematikanya.” Sang ibu menjawab,”Ya udah, ibu dulu juga nggak belajar begituan.” Dan ujung-ujungnya, sang ibu kembali menyuruh anaknya besok nyontek temannya yang bisa dan lebih mendengarkan penjelasan guru matematikanya dengan lebih cermat lagi.
Nah, bagaimana jika guru matematikanya juga tidak bisa? Faktanya masih banyak ditemui untuk guru matematika SD dipegang oleh guru yang berlatar belakang matematika. Sebagian besar juga salah konsep dalam mengajarkannya kepada siswa. Alhasil metode yang digunakan guru pun cenderung sifatnya text book saja. Padahal matematika SD tidak bisa hanya melulu begitu.
Matematika sebenarnya sangat menyenangkan. Tanpa buku pun anak-anak akan menyukainya. Tentu, guru harus matang secara konsepnya dan tahu metodologi bagaimana mengajarkannya. Kembali lagi, bagaimana jika gurunya yang tidak bisa? Apakah anak akan selamanya tidak bisa? Di sinilah peran ibu rumah tangga belajar matematika.
Saya pernah mengajar ibu-ibu rumah tangga sekitar 22 orang untuk belajar matematika sehingga jika anaknya bertanya tentang PR nya atau kesulitannya dalam matematika bisa membantunya. Secara praktis mungkin bisa gampang saja orang tua memasukkan anaknya di lembaga les matematika, namun saya punya pikiran lain. Jika orang tua khususnya ibu bisa mengajari anak-anaknya di rumah tentu hasilnya lebih positif. Anak memiliki kedekatan yang lebih dengan ibunya. Bukankah setengah hari bahkan seharian mereka sudah di sekolah? Belum lagi TPA, main sama teman tetangga sebelah. Berapa lama bisa bersama ibunya? Kalau ketika bertanya PR pun seperti di atas jawabannya?
Ya, syukurlah, 22 ibu yang saya katakan tadi akhirnya belajar matematika. Antusias sekali meski hanya seminggu sekali, bahkan ketika saya minta untuk membuat media belajar untuk anak juga ada yang melakukannya. Meski pada akhirnya tersisa 6 orang saja yang istiqomah untuk belajar (yang lain pada bentrok waktu sama saya), tapi saya senang. Seorang di antaranya malah sudah terlihat hasilnya ketika dengan ibunya sendiri yang turut mengajari di rumah dengan cara yang berbeda dengan gurunya, anaknya jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan pendapatnya. Nilai matematikanya pun mengalami kenaikan.
Tapi saya ingin menekankan. Hasil matematika yang baik bukan satu-satunya tujuan. Yang terpenting bagaimana anak dekat dengan ibunya terlebih lagi bisa bangga karena ibu bisa menjadi guru untuknya.
Memang dekat dengan anak bisa dengan cara yang lain. Dan matematika bisa menjadi salah satu pendekatannya. Bagaimana? Ibu-ibu tertarik belajar matematika? 

2 komentar:

  1. mau dong ikut gabung, Shidqi dah mulai kritis nih, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak, boleh tanya online lewat saya ... anaknya dah usia berapa sekarang?

      Hapus