“Nak, jadilah engkau duta Islam
sebagaimana Mush’ab bin Umair yang senantiasa mengajak manusia ke dalam Islam.
Jadilah engkau duta ekonomi sebagaimana Abdurrahman bin Auf yang sukses
berdagang dan menyumbangkan hasilnya untuk dakwah Islam.” Ini ada sepenggal
kalimat seorang ibu yang menuliskan pesannya di diary anaknya ketika menjenguk
sang buah hati di Pondok Pesantren Gontor. Dan pesan-pesan seperti ini
senantiasa beliau tuliskan setiap kali ke sana.
Atau seorang ibu juga pernah bercerita bahwa
ibundanya senantiasa memberikan segelas air putih kepadanya, juga saudara yang
lainnya ketika datang mengunjunginya. Beliau menyuruhnya untuk meminum terlebih
dahulu kemudian barulah mereka bercengkrama melepas rindu. Satu pun protes tak
keluar dari anak-anaknya. Ketika ditanya mengapa sang ibunda melakukan itu?
Jawabannya sederhana,”Itulah jejak cinta yang bisa saya berikan kepada
anak-anak saya.”
Pesan yang tertoreh di awal tulisan ini
juga merupakan jejak cinta seorang ibu kepada anaknya. Selalu dilakukannya.
Jejak cinta orang tua tentu tak sekedar jejak, namun ini adalah jejak yang bisa
membuat hati anaknya bergetar, tersentuh, karena keberadaannya diakui. Ada
orang yang mencintainya. Jejak cinta orang tua bahkan bisa menjadikan kekuatan
tersendiri hingga sang anak tak bisa berkata tidak untuk berusaha membahagiakan
orang tuanya meski orang tua tak pernah meminta.
Jembatan itu adalah jejak cinta. Anak
merasakan besarnya cinta melalui jembatan ini. Jembatan yang dibangun tanpa
berharap pamrih dari sang anak. Ikhlas orang tua melakukannya. Dan jembatan ini
akan senantiasa melintas di ruang angkasa ingatannya. Memori akan selalu
dijejali kalimat,”Orang tuaku mencintaiku. Aku pun cinta kepada keduanya.”
Tak harus puitis seperti tulisan seorang
ibu yang anaknya di Gontor tadi, atau tak harus mutlak seperti segelas air
putih tadi. Terserah orang tua bagaimana akan melukis jejak cinta ini.
Aktivitas mendongeng ketika anak akan melelapkan dirinya malam hari juga bisa
menjadi salah satu alternatif cara. Mencium kening anak, pun sangat bisa
menjadi jembatan ini. Saya ingat betul bagaimana direktur saya dulu ketika saya
bekerja berkata,”Saya masih suka mencium kening anak saya tiap hari ketika
mereka akan berangkat ke mana saja meski usia mereka sudah ada yang 17 tahun.”
Saya takjub, dan lebih takjub lagi dari kelima anak beliau ternyata benar-benar
menjadi anak yang menyejukkan hati. Semuanya berbakti.
Mengapa anak-anak zaman sekarang tak
menghormati orang tuanya? Mengapa banyak di antara mereka membangkang kepada
orang tuanya? Bisa jadi karena orang tua tak pernah membuat jejak cinta untuk
anak-anaknya. Gaya memerintah, membandingkan, menyalahkan, mengkritik, dsb
masih mendominasi komunikasi orang tua kepada anak. Alhasil, anak tak pernah
menangkap kesan cinta, kasih sayang orang tuanya.
Sekali lagi,
sederhana saja jika susah melakukan yang rumit. Setiap hari bahkan kalau perlu
setiap waktu. Apa susahnya jika kita berkata,”Nak, bunda mencintaimu!”sebagai salah satu bentuk usaha kita menorehkan jejak
cinta.
Jejak cinta akan meninggalkan bekasnya.
Inilah yang akan diingat sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar