radar bojonegoro 23 nopember 2014 |
Sudah
2 hari Rido dan Deni tidak saling menyapa. Masalahnya sepele sekali. Deni lupa
tidak mampir ke rumah Rido ketika berangkat sekolah. Rido marah besar dan tak
lagi mau berteman. Biasanya, dua bocah ini memang berjalan kaki bersama-sama ke
sekolah. Demikian juga ketika pulangnya.
Di
kelas keduanya saling diam. Deni berusaha mendahului untuk menegur hari ini.
Rido tak menyahut, malah memalingkan muka. Ketika ada tugas kelompok, biasanya
mereka selalu bersama. Kali ini Rido memilih teman lainnya. Deni sedih karena
Rido tak peduli padanya.
“Deni,
Rido mana? Biasanya dia sering belajar ke sini kalau sore ngerjain tugas sama
kamu,” tanya ibu Deni. Bu Fifi namaya.
“Rido
marah, Bu, sama Deni. Gara-gara beberapa hari yang lalu Deni tak bisa mampir ke
rumahnya berangkat sekolah sama-sama.”
“Emang
kenapa kamu tak mampir, Nak.”
“Ketika
itu di tengah jalan sebelum ke rumah Rido, Deni harus menolong seorang nenek
buta yang mau ke tukang sayur. Daripada nyasar Deni tolong. Jalannya kan nggak
nglewati rumah Rido.”
Bu
Fifi tersenyum kagum. Perempuan berkacamata itu mengingatkan agar besok tetap
menyapa Rido lagi. Deni mengangguk.
“Aduh!”
tiba-tiba Rido berteriak keras sekali. Lalu tangisnya pecah membubarkan
pekerjaan teman-temannya yang lain di ruang komputer sekolah.
Kelas
riuh dan ramai. Anak-anak ketakutan melihat yang dialami Rido. Pak guru datang
dan melihat kejadiannya. Rido kesetrum. Ketika guru menjelaskan di depan, Rido
asyik membaca komik sendiri. Tak sengaja kakinya menyentuh colokan listrik di
tembok. Rido kesakitan. Karena kaget dan tak sanggup menahan, tubuh Rido jatuh
ke lantai. Tangannya terbentur meja dan memar.
“Adakah
yang mau membantu bapak ambilkan obat salep di UKS untuk memarnya Rido.”
“Saya
mau, Pak! Salep saja?” sahut Deni.
“Sekalian
obat merahnya juga ya. Sepertinya ada yang tergores sedikit tangannya. Ada
darahnya.”
Deni
segera menuju UKS. Dibantu petugas UKS, Deni bisa membawa salep dan obat merah
buat Rido yang kesetrum baru saja. Deni pun membantu gurunya mengoles salep ke
tangan Rido. Tampak serius Deni membantunya. Kaki yang kesetrum sudah diobati
Pak guru.
“Biar
saya bantu, Pak, memapah Rido duduk lagi di kursinya,” Deni menawarkan bantuan
lagi. Teman-teman yang lain duduk ke tempatnya semula dan mengerjakan tugas
pelajaran komputernya. Setelah Rido duduk nyaman, Deni pun duduk di kursinya
sendiri.
Keesokan
harinya Rido tak masuk sekolah. Deni tampak sedih. Ketika mampir di rumah Rido,
orang tuanya berkata kalau Rido masih sakit kakinya. Sepulang sekolah, Deni
mampir lagi. Kali ini Deni menjenguk Rido. Dibawakannya es krim kesukaan Rido
yang dia beli dari uang sakunya.
“Ini
buatmu, Rido. Moga kau senang es krimnya.”
Rido
tersenyum bahagia. Tak menyangka Deni begitu baik kepadanya. Deni tak marah
meskipun beberapa hari diabaikannya. Rido malu.
“Aku
pulang dulu, ya, Rido! Ntar kalau sudah sembuh kita main sama-sama lagi.
Berangkat dan pulang sekolah lagi.”
“Kamu
masih mau ke sekolah bareng aku?” tanya Rido.
Deni
mengacungkan jempolnya. Keduanya tersenyum dan saling berjabatan tangan. Siang
itu Rido juga tahu alasan beberapa hari yang lalu Deni tak mampir ke rumahnya.
Rido mengerti. Deni bahagia karena teman baiknya sudah mau berteman dengannya
lagi.
Kesetrum
membuat Rido sadar. Dia bisa kembali berteman dengan Deni yang telah
menolongnya.
Sederhana namun sarat makna ya mbk krn kesalahfahaman anak2...salam kenal bunda..*_*
BalasHapus