Selasa, 02 Desember 2014

Menikah Tak Sekedar Cinta


                Menikah tanpa cinta sebelumnya? Bisakah? Ehm, mungkin sebagian besar bilang tidak mungkin nikah tanpa cinta. Iya sih, kan cinta itu pondasinya. Cinta untuk siapa?

             Menikah memang butuh rasa cinta. Namun, tentu saja rasa ini bisa dipupuk setelah menikah tentunya. Dan untuk menumbuhkan rasa cinta ini perlu perjuangan yang luar biasa, bahkan jauh sebelum menikah. Persiapan  untuk memupuk dan menumbuhkan cinta ini lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu sebelum rasa ini ada nantinya di bahtera rumah tangga.

                Menikah butuh uang? Iyalah! Namun, jangan pernah khawatir soal uang ini. Uang bisa dicari. Bisa diusahakan. Istri menyemangati suami mencari nafkah halal tentu akan menumbuhkan rasa cinta tersendiri. Bagaimana tidak? Sebelum berangkat kerja istri menyiapkan semua kebutuhan kerja suami. Peluk dan cium mengiringi. Suami kerja semangat tiada henti. Uang hendaklah jangan dirisaukan lagi. Ada banyak jalan halal untuk mendapatkannya. Bahkan bisa menyemai cinta lebih dalam lagi. Bagaimana jika istri bekerja? Uang siapa itu? Untuk apa uang yang didapat istri? Membincangkannya dengan suami dengan pikiran dan hati terbuka tentu akan didapatkan keputusan yang mendamaikan hati.

                Menikah butuh fisik yang kuat. Bukan ketika menikah saja, namun setelahnya juga. Dan fisik yang kuat didapatkan dari kebiasaan baik justru jauh sebelum menikah. Olahraga 30 menit setiap hari akan membuat tubuh menjadi bugar. Kekuatan fisik penting manakala seorang perempuan menjadi istri maupun ibu nantinya. Mendidik anak bukanlah perkara mudah. Fisik akan banyak terkuras dalam hal ini. Menjadi istri demikian halnya. Tak ingin bukan terlihat loyo dan lemas di hadapan suami? Kalau sudah lemah begitu, bagaimana cinta akan bersemi?

                Menikah juga memerlukan kesiapan yang satu ini. Apakah itu? Kesiapan mental. Maksudnya adalah bahwa setiap diri yang akan menikah harus mampu memupuk rasa saling mengerti. Rasa inilah yang akan menjadikan pasangan nantinya mampu berkomunikasi dengan baik sehingga membangun komitmen berumah tangga menjadi lebih mudah. Tak semudah yang dibayangkan soal memupuk rasa saling mengerti ini. Yang pertama harus dilakukan setiap diri yang mau menikah/sudah menikah adalah bisa melepaskan ego diri. Membuka diri dari A sampai Z tak ada yang tersembunyi. Demikian juga dengan pasangan. Manakala masih ada rasa lebih sempurna atau lebih baik dari pasangan, maka ego itu masih melekat. Dan ini justru tak akan menjadi perekat, namun penghalang cinta itu akan tumbuh. Parahnya lagi, jika hal ini terus berlanjut dan berlangsung, maka kebaikan sedikitpun dari apa yang dibisai pasangan tak menjadi ada artinya lagi. Lalu, buat apa membina rumah tangga?

                Lantas, bagaimana agar bisa antar pasangan bisa saling terbuka dan tercipta komunikasi yang efektif? Ada 3 ketrampilan dasar yang mesti dilatih oleh tiap pasangan. Mendengar aktif. Di sini tiap pasangan mendengar dengan penuh hikmat apa saja yang dikatakan dan dilakukan pasangannya. Tujuannya sederhana, agar bisa menemukan titik temu atas persepsi yang mungkin berbeda. Misalkan soal kebersihan. Bisa jadi antara istri dan suami ada standar yang berbeda soal hal ini. Bagi istri, bersih itu jika rumah dipel tiap hari, sedangkan bagi suami mungkin bersih itu cukup disapu saja rumah yang ditempati. Karena tak sepaham, maka jika tidak ada kemampuan mendengar aktif ini, sangat mungkin terjadi istri ngomel-ngomel manakala rumah tak dipel sehari saja. Jembatani hal seperti ini dengan menjadi pendengar aktif.

                Ketrampilan kedua adalah merasa dan menerima. Mendengar aktif akan memunculkan jiwa tiap pasangan untuk merasa. Untuk kasus tadi, istri akan merasa, jika dipel setiap hari ada lelah yang dirasa atau membutuhkan waktu untuk melakukannya. Suami juga merasa kalau tidak dipel setiap hari akan memungkinkan rumah terjangkiti kuman penyakit. Akhirnya, keduanya bisa saling menerima dan berdiskusi bagaimana seharusnya.

                Dan ketrampilan dasar yang terakhir adalah melakukan respon positif. Nabi Muhammad telah memberi bukti nyata soal respon ini. Masih ingat, bukan, bagaimana perlakuan penduduk Thaif kepada Nabi di babak perjuangan dakwah beliau? Nabi diolok-olok, dilempari batu, dihujani kotoran hewan, dsb. Sampai-sampai Fatimah tak tega dan Jibril ingin menjatuhkan gunung untuk membalas perlakuan meraka. Namun, Nabi memiliki ketrampilan mendengar aktif, merasa dan menerima dengan kondisi penduduk Thaif kala itu. Karenanya, respon yang keluar dari Sang Nabi pun begitu luar biasa. Nabi malah mendoakan penduduk Thaif. Siapa tahu dari mereka nantinya akan lahir generasi yang akan mencintai Allah dan takut kepada-Nya. Respon yang benar-benar positif. Dalam berumah tangga demikian halnya.

                Menikah memang tak sekedar cinta. Banyak hal yang perlu disiapkan sebelumnya bahkan ketika sudah menikah pun harus dilatih dan dipupuk terus-menerus. 

2 komentar:

  1. Pantaslah jika dikatakan menikah telah melewati setengah perjalanan dalma ad Dien yaa..

    BalasHapus
  2. nah fisik yang kuat ini yang saya ga pny hehe

    BalasHapus