Menikah
tanpa cinta sebelumnya? Bisakah? Ehm, mungkin sebagian besar bilang tidak
mungkin nikah tanpa cinta. Iya sih, kan cinta itu pondasinya. Cinta untuk
siapa?
Menikah
memang butuh rasa cinta. Namun, tentu saja rasa ini bisa dipupuk setelah
menikah tentunya. Dan untuk menumbuhkan rasa cinta ini perlu perjuangan yang
luar biasa, bahkan jauh sebelum menikah. Persiapan untuk memupuk dan menumbuhkan cinta ini lebih
penting untuk diperhatikan terlebih dahulu sebelum rasa ini ada nantinya di
bahtera rumah tangga.
Menikah
butuh uang? Iyalah! Namun, jangan pernah khawatir soal uang ini. Uang bisa
dicari. Bisa diusahakan. Istri menyemangati suami mencari nafkah halal tentu
akan menumbuhkan rasa cinta tersendiri. Bagaimana tidak? Sebelum berangkat
kerja istri menyiapkan semua kebutuhan kerja suami. Peluk dan cium mengiringi.
Suami kerja semangat tiada henti. Uang hendaklah jangan dirisaukan lagi. Ada
banyak jalan halal untuk mendapatkannya. Bahkan bisa menyemai cinta lebih dalam
lagi. Bagaimana jika istri bekerja? Uang siapa itu? Untuk apa uang yang didapat
istri? Membincangkannya dengan suami dengan pikiran dan hati terbuka tentu akan
didapatkan keputusan yang mendamaikan hati.
Menikah
butuh fisik yang kuat. Bukan ketika menikah saja, namun setelahnya juga. Dan
fisik yang kuat didapatkan dari kebiasaan baik justru jauh sebelum menikah.
Olahraga 30 menit setiap hari akan membuat tubuh menjadi bugar. Kekuatan fisik
penting manakala seorang perempuan menjadi istri maupun ibu nantinya. Mendidik
anak bukanlah perkara mudah. Fisik akan banyak terkuras dalam hal ini. Menjadi
istri demikian halnya. Tak ingin bukan terlihat loyo dan lemas di hadapan
suami? Kalau sudah lemah begitu, bagaimana cinta akan bersemi?
Menikah
juga memerlukan kesiapan yang satu ini. Apakah itu? Kesiapan mental. Maksudnya
adalah bahwa setiap diri yang akan menikah harus mampu memupuk rasa saling
mengerti. Rasa inilah yang akan menjadikan pasangan nantinya mampu
berkomunikasi dengan baik sehingga membangun komitmen berumah tangga menjadi
lebih mudah. Tak semudah yang dibayangkan soal memupuk rasa saling mengerti
ini. Yang pertama harus dilakukan setiap diri yang mau menikah/sudah menikah
adalah bisa melepaskan ego diri. Membuka diri dari A sampai Z tak ada yang tersembunyi.
Demikian juga dengan pasangan. Manakala masih ada rasa lebih sempurna atau
lebih baik dari pasangan, maka ego itu masih melekat. Dan ini justru tak akan
menjadi perekat, namun penghalang cinta itu akan tumbuh. Parahnya lagi, jika
hal ini terus berlanjut dan berlangsung, maka kebaikan sedikitpun dari apa yang
dibisai pasangan tak menjadi ada artinya lagi. Lalu, buat apa membina rumah
tangga?
Lantas,
bagaimana agar bisa antar pasangan bisa saling terbuka dan tercipta komunikasi
yang efektif? Ada 3 ketrampilan dasar yang mesti dilatih oleh tiap pasangan.
Mendengar aktif. Di sini tiap pasangan mendengar dengan penuh hikmat apa saja
yang dikatakan dan dilakukan pasangannya. Tujuannya sederhana, agar bisa
menemukan titik temu atas persepsi yang mungkin berbeda. Misalkan soal
kebersihan. Bisa jadi antara istri dan suami ada standar yang berbeda soal hal
ini. Bagi istri, bersih itu jika rumah dipel tiap hari, sedangkan bagi suami
mungkin bersih itu cukup disapu saja rumah yang ditempati. Karena tak sepaham,
maka jika tidak ada kemampuan mendengar aktif ini, sangat mungkin terjadi istri
ngomel-ngomel manakala rumah tak dipel sehari saja. Jembatani hal seperti ini
dengan menjadi pendengar aktif.
Ketrampilan
kedua adalah merasa dan menerima. Mendengar aktif akan memunculkan jiwa tiap
pasangan untuk merasa. Untuk kasus tadi, istri akan merasa, jika dipel setiap
hari ada lelah yang dirasa atau membutuhkan waktu untuk melakukannya. Suami
juga merasa kalau tidak dipel setiap hari akan memungkinkan rumah terjangkiti kuman
penyakit. Akhirnya, keduanya bisa saling menerima dan berdiskusi bagaimana
seharusnya.
Dan
ketrampilan dasar yang terakhir adalah melakukan respon positif. Nabi Muhammad
telah memberi bukti nyata soal respon ini. Masih ingat, bukan, bagaimana perlakuan
penduduk Thaif kepada Nabi di babak perjuangan dakwah beliau? Nabi diolok-olok,
dilempari batu, dihujani kotoran hewan, dsb. Sampai-sampai Fatimah tak tega dan
Jibril ingin menjatuhkan gunung untuk membalas perlakuan meraka. Namun, Nabi
memiliki ketrampilan mendengar aktif, merasa dan menerima dengan kondisi
penduduk Thaif kala itu. Karenanya, respon yang keluar dari Sang Nabi pun
begitu luar biasa. Nabi malah mendoakan penduduk Thaif. Siapa tahu dari mereka
nantinya akan lahir generasi yang akan mencintai Allah dan takut kepada-Nya.
Respon yang benar-benar positif. Dalam berumah tangga demikian halnya.
Menikah
memang tak sekedar cinta. Banyak hal yang perlu disiapkan sebelumnya bahkan
ketika sudah menikah pun harus dilatih dan dipupuk terus-menerus.
Pantaslah jika dikatakan menikah telah melewati setengah perjalanan dalma ad Dien yaa..
BalasHapusnah fisik yang kuat ini yang saya ga pny hehe
BalasHapus