Tanti
tampak murung. Setiap hari begitu. Di sekolah juga tak ada raut muka bahagia.
Di rumah, dia memilih untuk menyendiri di kamar. Ayah dan ibunya sangat
khawatir.
“Sayang,
adakah yang membuatmu sedih?” tanya Bu Gina.
Tanti
memilih diam. Sepiring nasi di depannya belum dimakannya juga. Dia tak ingin
membuat ibunya juga ikut sedih. Ketika ditanya ibunya sekali lagi, Tanti juga
menggelengkan kepala. Lantas dia menuju kamar kembali. Terdengar sesenggukan
dari kamarnya. Bu Gina tampak cemas.
Malam
harinya, selesai mengerjakan tugas sekolahnya, Tanti juga langsung ke kamar.
Padahal biasanya dia ngobrol dulu bersama ayah dan ibunya. Tak seperti
biasanya. Sudah 3 hari ini semenjak dia pindah ke sekolah yang baru.
Bu
Gina mengintip dari balik jendela kamar Tanti. Anaknya semata wayang sudah
tertidur. Bu Gina masuk dan tak sengaja membaca buku harian Tanti yang masih
terbuka. Ibu yang lembut dan penuh kasih sayang itu pun menangis.
“Tan,
hari ini mau ke sekolah kah?”
“Iya,
Bu!” jawab Tanti kurang bersemangat.
Tanti
pun menyiapkan diri ke sekolah. Dia anak yang rajin dan cerdas. Setiap hari tak
pernah terlambat ke sekolah. Semua guru menyayanginya. Namun tidak dengan
teman-temannya. Tak ada yang mau berteman dengannya.
“Tan,
nanti kamu mewakili sekolah ya ikut lomba pidato,” pinta wali kelasnya.
“Saya,
Bu?” tanya Tanti ragu.
Wali
kelasnya mengangguk. Nama Tanti juga diumumkan di papan madding sekolah.
Teman-temannya di kelas mencibirnya. Tanti yang bibirnya sumbing takkan mampu
memikat dewan juri. Dia pun takkan bisa berbicara dengan lancar karena tak
percaya diri dengan bibir sumbingnya.
Olokan
itu membuat Tanti menangis. Padahal di sekolah lamanya dia tak pernah
diperlakukan begitu. Padahal berbagai perlombaan pidato juga sudah beberapa
kali dimenangkannya. Tapi, Tanti kali ini merasa kecil hati.
“Jangan
saya ya, Bu!” jawab Tanti sepulang sekolah kepada wali kelasnya.
“Kenapa,
Tan? Kamu sangat mumpuni di bidang ini. Meski baru masuk 4 hari ini, saya tahu
kamu bisa, Tan!”
Tanti
tak kuat bicara. Air matanya meleleh dan dia buru-buru pamit pulang. Sesampainya
di rumah, Bu Gina menyambutnya dengan hangat. Dipeluk erat Tanti dan
dielus-elus punggungnya sampai Tanti tenang.
“Tan,
ada apakah?”
Tanti
belum menyahut. Lima menit dia juga masih diam. Lantas, ibunya membuka
pertanyaan.
“Kau
gelisah dengan bibir sumbingmu, Nak?”
Tanti
terkejut. Bu Gina segera memeluk kembali Tanti. Pelan-pelan anaknya mengangguk.
Menceritakan semuanya yang sudah terjadi selama ini di sekolah. Termasuk
penunjukkannya mewakili sekolah untuk lomba pidato.
“Nak,
bukankah ini kesempatan baik?”
“Iya,
Bu. Tapi, teman-teman Tanti?”
“Apakah
nanti teman-temanmu akan menjadi jurinya?”
“Nggak
sih.”
Bu
Gina terus menyemangati Tanti. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh
disia-siakan. Tanti bisa tampil dengan baik. Apalagi ini temanya pas sekali.
Memaknai Tahun Baru. Peluang bagi Tanti untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan.
“Gimana,
Tan?” tanya wali kelasnya.
Tanti
menoleh ke ibunya yang sengaja hari itu mengantarnya ke sekolah. Pendaftaran
lomba tingga hari itu. Tanti masih tampak ragu. Dia diam. Namun, nasihat ibunya
masih terngiang. Tanti memandang kembali ibunya.
“Majulah,
Tan!” sahut Bu Gina.
“Baiklah,
Bu!” sahut Tanti pelan.
Dan
benar, Tanti menjuarai lomba pidato itu. Juri tak melihat bibir sumbingnya.
Melainkan puas dengan caranya berpidato.
Semangat Tanti....Munculkan potensi dalam keterbatasan fisik bukanlah halangan... bgus bunda critanya ^_^
BalasHapusinspiratif, Mbak,,, :)
BalasHapus