Anak
menangis belajar matematika karena tidak bisa-bisa? Atau anak uring-uringan
diminta mengerjakan tugas matematikanya? Wah, pasti ada yang salah nih.
Biasanya ini terjadi karena pemahaman anak tentang konsep matematika belum
mengendap kuat. Terlebih jika tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Anak pasti kabur begitu mendengar matematika.
Lantas
bagaimana matematika bisa asyik diajarkan ke anak? Seorang anak usia 11 tahun
awalnya suka tak suka matematika. Ibunya tahu itu, namun tak menyurutkan
semangatnya agar anak mencintai matematika. Sang ibu memancing penasaran
anaknya, bahwa dalam Al Quran ada matematika. Oh ya? Sang anak kaget, namun
karena sang anak sudah hafal 30 juz dan sekarang sedang belajar bahasa arab,
maka rasa ingin tahunya jadi muncul seketika. Sang ibu mengajak anak belajar
pecahan dan hitungan sederhana dari kejadian ibunya membeli ayam. Berhitunglah
mereka ala skema laba rugi seperti orang sedang berbisnis. Tak ketinggalan
pula, sang ibu menceritakan kisah Rasulullah yang sudah berdagang. Hasil penjualan
es yogurt yang dijual sang anak dihitungnya pula akhirnya. Dan ternyata
yang didapat sedikit. Sang ibu berpesan,”Jika ingin berdagang sukses, ya harus
rajin promosi!”
Matematika
itu mudah sebenarnya. Komplit lagi. Segala bidang hampir membutuhkan matematika.
Bahkan matematika juga mampu menumbuhkan karakter anak. Dari sekelumit kisah
tadi tampak bahwa karakter percaya diri dan daya juang meski untuk berbisnis
sedang berusaha ditumbuhsuburkan oleh sang ibu. Terkait masalah budaya antri,
misalnya. Matematika sangat bisa untuk menumbuhkan karakter ini.
Suatu
ketika sulung saya, Qowiyy, saya ajak ke bank yang kebetulan ada sistem antrian
yang bisa bunyi sendiri itu. Ternyata dia hafal. “No antrian, A 005. No antrian
A 006, dst.” Saya menjelaskan kalau belum dipanggil tak boleh asal maju ke
tellernya. Antri dulu. Saya jelaskan bagaimana nomor antrian bekerja. Ada urutan
di sana. Antri berarti urut. Sama kayak hidup. Manusia urut hidupnya, dari
lahir, tumbuh menjadi anak kecil, anak yang sebesar ini, anak yang sebesar itu,
dewasa, menikah, dst. Ada masa menjalani hidupnya setelah lahir, lantas nanti
berakhir dengan kematian.
Ya,
Qowiyy sih tak paham-paham amat, tapi dia ngerti kalau harus antri. Ya lihat
dari nomor antrian tadi yang secara tak langsung berbau matematika. Asyik lah!
Bahkan “cebok” selepas buang air kecil dan menyiram kamar mandi bekas
kencingnya pun Qowiyy suka berhitung berapa kali dia menyiram pakai gayung biar
bersih. Dia mendapati sendiri, jika
hanya segayung kamar mandi masih bau. Bukankah Islam juga mengajarkan kebersihan dan bersuci?
Tak ada
yang salah dengan matematika. Semua ilmu ada manfaatnya, jika memang mau
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan saling terkait dengan
bidang keilmuwan lainnya. Jadi, mengapa harus dipisah-pisahkan?
Mantaaap...! ternyata kita bisa menumbuhkan cinta matematika pada anak melalui kegiatan yang dilakukannya sehari-hari ya mbak..thanks sharingnya, bermanfaat sekali.
BalasHapusi love matematika hehe
BalasHapus