Sabtu, 08 November 2014

Matematika Itu Komplit Lho!


         Anak menangis belajar matematika karena tidak bisa-bisa? Atau anak uring-uringan diminta mengerjakan tugas matematikanya? Wah, pasti ada yang salah nih. Biasanya ini terjadi karena pemahaman anak tentang konsep matematika belum mengendap kuat. Terlebih jika tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Anak pasti kabur begitu mendengar matematika.

                Lantas bagaimana matematika bisa asyik diajarkan ke anak? Seorang anak usia 11 tahun awalnya suka tak suka matematika. Ibunya tahu itu, namun tak menyurutkan semangatnya agar anak mencintai matematika. Sang ibu memancing penasaran anaknya, bahwa dalam Al Quran ada matematika. Oh ya? Sang anak kaget, namun karena sang anak sudah hafal 30 juz dan sekarang sedang belajar bahasa arab, maka rasa ingin tahunya jadi muncul seketika. Sang ibu mengajak anak belajar pecahan dan hitungan sederhana dari kejadian ibunya membeli ayam. Berhitunglah mereka ala skema laba rugi seperti orang sedang berbisnis. Tak ketinggalan pula, sang ibu menceritakan kisah Rasulullah yang sudah berdagang. Hasil penjualan es yogurt yang dijual sang anak dihitungnya pula akhirnya. Dan ternyata yang didapat sedikit. Sang ibu berpesan,”Jika ingin berdagang sukses, ya harus rajin promosi!”

                Matematika itu mudah sebenarnya. Komplit lagi. Segala bidang hampir membutuhkan matematika. Bahkan matematika juga mampu menumbuhkan karakter anak. Dari sekelumit kisah tadi tampak bahwa karakter percaya diri dan daya juang meski untuk berbisnis sedang berusaha ditumbuhsuburkan oleh sang ibu. Terkait masalah budaya antri, misalnya. Matematika sangat bisa untuk menumbuhkan karakter ini.

                Suatu ketika sulung saya, Qowiyy, saya ajak ke bank yang kebetulan ada sistem antrian yang bisa bunyi sendiri itu. Ternyata dia hafal. “No antrian, A 005. No antrian A 006, dst.” Saya menjelaskan kalau belum dipanggil tak boleh asal maju ke tellernya. Antri dulu. Saya jelaskan bagaimana nomor antrian bekerja. Ada urutan di sana. Antri berarti urut. Sama kayak hidup. Manusia urut hidupnya, dari lahir, tumbuh menjadi anak kecil, anak yang sebesar ini, anak yang sebesar itu, dewasa, menikah, dst. Ada masa menjalani hidupnya setelah lahir, lantas nanti berakhir dengan kematian.

                Ya, Qowiyy sih tak paham-paham amat, tapi dia ngerti kalau harus antri. Ya lihat dari nomor antrian tadi yang secara tak langsung berbau matematika. Asyik lah! Bahkan “cebok” selepas buang air kecil dan menyiram kamar mandi bekas kencingnya pun Qowiyy suka berhitung berapa kali dia menyiram pakai gayung biar bersih.  Dia mendapati sendiri, jika hanya segayung kamar mandi masih bau. Bukankah Islam juga mengajarkan kebersihan dan bersuci?


           Tak ada yang salah dengan matematika. Semua ilmu ada manfaatnya, jika memang mau mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan saling terkait dengan bidang keilmuwan lainnya. Jadi, mengapa harus dipisah-pisahkan?

2 komentar:

  1. Mantaaap...! ternyata kita bisa menumbuhkan cinta matematika pada anak melalui kegiatan yang dilakukannya sehari-hari ya mbak..thanks sharingnya, bermanfaat sekali.

    BalasHapus