Minggu, 02 November 2014

Menyiapkan Generasi Muslim yang Kuat


            Menilik judul tulisan ini, ada pertanyaan besar di lubuk hati,”Seperti apakah generasi muslim yang kuat? Sudahkah Islam memilikinya?” Memiliki, ya, Islam memilikinya. Tapi itu dulu. Sekarang, potret generasi Islam kian hari ada saja yang kian mengenaskan. Masih segelintir yang mengindikasikan bahwa mereka adalah generasi kuat.

            Kuat berarti tidak lemah. Dan dengan kekuatan ini, kebaikan dan kebenaran bisa langgeng. Islam sebagai sumberkebenaran mengabadi di bumi. Lihat di Gaza Palestina saat ini. Generasi muslim kuat ada di sana. Betapa Islam tetap hidup di bumi penuh darah syuhada itu. Mengapa? Karena muslim di sana tidak lemah. Bagaimana di negeri kita?

            Anak-anak dewasa sebelum umurnya sudah menjadi berita sehari-hari. Bahkan, tatkala Ramadhan kemarin masih banyak yang lebih menyenangi tempat perbelanjaan dibandingkan masjid. Ketika lebaran menyapa, sajadah pun sudah digulung. Al Quran kembali tertutup. Hanya sedikit yang bertahan.

        Lantas, bagaimana menyiapkan generasi muslim yang kuat? Kuat berarti bukan penakut. Tak selayaknya generasi muslim bagai An Numairi. Sosok penakut dan saking takutnya ada anjing yang menyelinap masuk rumahnya pun hebohnya luar biasa. Dia berteriak memanggil orang sekampung, padahal anjing tak berbuat apa-apa di rumahnya. Kemana-mana ada pedang kayu sebagai senjatanya. Bisa berbuat apa dengan pedang kayu? Rasa takut ini rupanya masih bertengger pula dalam hati muslim saat ini. Betapa takut mati, takut kehilangan harta, bahkan takut menjalani masalah hidup, masih mendominasi. Hanya segelintir orang yang mampu menepis rasa ini.

            Generasi muslim kuat berarti harus berani. Sudah selayaknya kita berani berkata,”Ya, saksikan, kami adalah mukmin!” Beriman dengan tingkat tinggi, karena dengan dengan modal inilah kebaikan dan kebenaran Islam bisa tampak nyata. Lihat, betapa sekarang generasi muslim enggan untuk berani. Bahkan untuk sekedar menutup auratnya pun masih sering berkata bahwa mereka belum mendapatkan hidayah. Kasus artis lepas hijab pun menjadi hal yang biasa terjadi. Keberanian itu tersembunyi. Hanya segelintir orang memiliki rasa ini.

            Menjadi muslim, sungguh, tak cukup hanya baik. Namun juga harus kuat. Muslim yang kuat lebih dicintai Allah dibandingkan muslim yang lemah. Contohnya soal menuntut ilmu. Muslim yang bersekolah banyak, dan itu baik. Namun, seberapa sabar dan teguh mereka menekuni ilmu yang didapatnya hingga benar-benar mumpuni? Belajar tekun hanya menjelang ujian. Jika menuai kegagalan frustasi tingkat tinggi bahkan sampai membunuh diri. Muslim yang bekerja banyak dan itu baik. Namun, seberapa kuat mereka bertahan menggeluti pekerjaannya hingga benar-benar professional? Jika mendapati ketidakcocokan mengundurkan diri. Berganti pekerjaan lagi. Alhasil, generasi muslim hanyalah generasi yang setengah-setengah. Tidak totalitas. Generasi muslim merupakan generasi yang gamang. Alih-alih menjadi penggagas temuan baru, yang ada masih pengekor dan hanya bagai buih di lautan.

            Kuat adalah perisai. Bagaimana Islam akan sempurna dipandang sana sini. Namun, merasa sok kuat juga bukan solusi. Sudah merasa ilmunya dan pengikutnya banyak, lantas berhenti lebih memperkuat diri. Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, mentang-mentang sudah memiliki banyak ilmu dan jamaah yang banyak, lupa untuk belajar lagi. Selama beberapa kali, Abu Hanifah tak menjumpainya di majelis ilmu. Abu Yusuf merasa sudah mampu menjadi ulama besar. Maka, sebuah kejadian akhirnya menggugah kesadarannya bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar. Bahkan untuk menjawab pertanyaan seorang jamaahnya yang diutus oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf tak berkutik. Abu Yusuf kembali menimba ilmu dari sang guru.


            Kuat butuh konsistensi. Untuk menjadi generasi kuat perlu keistiqomahan. Tidak berhenti di satu titik, namun terus melaju mengejar keunggulan dan keutamaan. Sabar dan tekun adalah kunci. Menyiapkan generasi muslim kuat, selain iman, ada kesungguhan untuk bertahan, mempelajari, memperkuat pondasi, dan terus bertumbuh. Tak ada kata “sudah, cukup sampai di sini”. Bukankah muslim yang baik bagai tanaman yang akarnya menghunjam kuat ke tanah dan terus bertumbuh menjulang tinggi?

*Tulisan ini dimuat di Majalah Bina Qolam Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar