Menilik
judul tulisan ini, ada pertanyaan besar di lubuk hati,”Seperti apakah generasi
muslim yang kuat? Sudahkah Islam memilikinya?” Memiliki, ya, Islam memilikinya.
Tapi itu dulu. Sekarang, potret generasi Islam kian hari ada saja yang kian
mengenaskan. Masih segelintir yang mengindikasikan bahwa mereka adalah generasi
kuat.
Kuat
berarti tidak lemah. Dan dengan kekuatan ini, kebaikan dan kebenaran bisa
langgeng. Islam sebagai sumberkebenaran mengabadi di bumi. Lihat di Gaza
Palestina saat ini. Generasi muslim kuat ada di sana. Betapa Islam tetap hidup
di bumi penuh darah syuhada itu. Mengapa? Karena muslim di sana tidak lemah.
Bagaimana di negeri kita?
Anak-anak
dewasa sebelum umurnya sudah menjadi berita sehari-hari. Bahkan, tatkala
Ramadhan kemarin masih banyak yang lebih menyenangi tempat perbelanjaan
dibandingkan masjid. Ketika lebaran menyapa, sajadah pun sudah digulung. Al
Quran kembali tertutup. Hanya sedikit yang bertahan.
Lantas,
bagaimana menyiapkan generasi muslim yang kuat? Kuat berarti bukan penakut. Tak
selayaknya generasi muslim bagai An Numairi. Sosok penakut dan saking takutnya
ada anjing yang menyelinap masuk rumahnya pun hebohnya luar biasa. Dia
berteriak memanggil orang sekampung, padahal anjing tak berbuat apa-apa di
rumahnya. Kemana-mana ada pedang kayu sebagai senjatanya. Bisa berbuat apa
dengan pedang kayu? Rasa takut ini rupanya masih bertengger pula dalam hati
muslim saat ini. Betapa takut mati, takut kehilangan harta, bahkan takut menjalani
masalah hidup, masih mendominasi. Hanya segelintir orang yang mampu menepis
rasa ini.
Generasi
muslim kuat berarti harus berani. Sudah selayaknya kita berani berkata,”Ya,
saksikan, kami adalah mukmin!” Beriman dengan tingkat tinggi, karena dengan dengan
modal inilah kebaikan dan kebenaran Islam bisa tampak nyata. Lihat, betapa
sekarang generasi muslim enggan untuk berani. Bahkan untuk sekedar menutup
auratnya pun masih sering berkata bahwa mereka belum mendapatkan hidayah. Kasus
artis lepas hijab pun menjadi hal yang biasa terjadi. Keberanian itu
tersembunyi. Hanya segelintir orang memiliki rasa ini.
Menjadi
muslim, sungguh, tak cukup hanya baik. Namun juga harus kuat. Muslim yang kuat
lebih dicintai Allah dibandingkan muslim yang lemah. Contohnya soal menuntut
ilmu. Muslim yang bersekolah banyak, dan itu baik. Namun, seberapa sabar dan
teguh mereka menekuni ilmu yang didapatnya hingga benar-benar mumpuni? Belajar
tekun hanya menjelang ujian. Jika menuai kegagalan frustasi tingkat tinggi
bahkan sampai membunuh diri. Muslim yang bekerja banyak dan itu baik. Namun,
seberapa kuat mereka bertahan menggeluti pekerjaannya hingga benar-benar
professional? Jika mendapati ketidakcocokan mengundurkan diri. Berganti
pekerjaan lagi. Alhasil, generasi muslim hanyalah generasi yang
setengah-setengah. Tidak totalitas. Generasi muslim merupakan generasi yang
gamang. Alih-alih menjadi penggagas temuan baru, yang ada masih pengekor dan
hanya bagai buih di lautan.
Kuat
adalah perisai. Bagaimana Islam akan sempurna dipandang sana sini. Namun,
merasa sok kuat juga bukan solusi. Sudah merasa ilmunya dan pengikutnya banyak,
lantas berhenti lebih memperkuat diri. Abu Yusuf, murid Abu Hanifah,
mentang-mentang sudah memiliki banyak ilmu dan jamaah yang banyak, lupa untuk
belajar lagi. Selama beberapa kali, Abu Hanifah tak menjumpainya di majelis
ilmu. Abu Yusuf merasa sudah mampu menjadi ulama besar. Maka, sebuah kejadian
akhirnya menggugah kesadarannya bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan
besar. Bahkan untuk menjawab pertanyaan seorang jamaahnya yang diutus oleh Abu
Hanifah, Abu Yusuf tak berkutik. Abu Yusuf kembali menimba ilmu dari sang guru.
Kuat
butuh konsistensi. Untuk menjadi generasi kuat perlu keistiqomahan. Tidak
berhenti di satu titik, namun terus melaju mengejar keunggulan dan keutamaan.
Sabar dan tekun adalah kunci. Menyiapkan generasi muslim kuat, selain iman, ada
kesungguhan untuk bertahan, mempelajari, memperkuat pondasi, dan terus
bertumbuh. Tak ada kata “sudah, cukup sampai di sini”. Bukankah muslim yang
baik bagai tanaman yang akarnya menghunjam kuat ke tanah dan terus bertumbuh
menjulang tinggi?
*Tulisan ini dimuat di Majalah Bina Qolam Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar