Air mata saya pecah,manakala dokter cantik di depan
saya berkata,”Kalau ICA sudah 6 begini, ya hanya cesar jalan keluarnya. Apalagi
ibu sudah lewat HPL dan plasenta sudah pengapuran grade 3. Tidak ada kontraksi
lagi.” Sungguh, saya tak bisa menahannya meski sudah saya coba. Suami hanya
menepuk pundak untuk menambah energi kesabaran sayaa.
Kontraksi, khususnya kontraksi yang semakin kuat
dan menjadi, itulah impian, harapan, dan sesuatu yang ingin sekali saya rasakan
sejak kontraksi-kontraksi palsu sering datang. Apa yang harus saya lakukan?
Hampir semua usaha saya jalani, mulai dari senam endhorphin, goyang inul, makan
mangga, durian, nanas, jalan kaki, dan ah yang satu lagi ini sepertinya sudah
biasa disarankan dokter atau bidan, maaf, hubungan suami istri.
Ketika itu saya mendatangi bidan untuk senam
endhorphin sebanyak 2 kali sambil cek kandungan. Bidan berkata,”Subhanallah
Mbak, posisi janinnya pas sekali. Ini mah ngejan sebentar juga langsung
brojol.” Saya hanya tersenyum mengaminkan dan berharap itu menjadi sebuah
kenyataan mengingat persalinan sebelumnya saya juga cesar dalam posisi janin
sungsang dan ketuban pecah dini. Jadi ketika bidan berkata demikian betapa
bersyukurnya saya.
“Yuk Mbak ke kamar sebelah, kita cek portionya.”
Saya pun menurut saja. Bidan berkata,”Mbak tetap optimis ya, mulut rahimnya
masih tebal, sepertinya tanggal 10 Agustus saya prediksikan belum bisa lahir,
ya semoga dengan tetap berusaha semaksimal mungkin bisa menjadi tipis mulut
rahimnya.”
Tanggal 10 Agustus 2012 adalah HPL janin saya.
Sontak, mendengar penjelasan bidan sedikit sedih, tapi saya segera
bertanya,”Apa yang harus saya lakukan lagi?” Bidan menyarankan seperti apa yang
sudah saya jalankan selama ini. Ditambah satu lagi, yang akhirnya cara ini pun
saya tempuh. Konsumsi vitamin B1. Pulang dari bidan langsung ngacir ke apotik.
Pun saran-saran sebelumnya tetap saya lakukan semaksimal mungkin. Sebisa yang
sama lakukan.
Vitamin B1. Vitamin dalam bentuk pil ini senantiasa
saya makan sesuai anjuran. Alhamdulillah, perasaan tenang karena bisa
menjalankan resep dari bidan.
Makan nanas, durian, dan mangga. Tiap hari 3 buah
ini bergiliran mengisi perut saya. Dan luar biasa setelah makan buah-buah ini,
perut rasanya kenceng dan sakit. Dan harapan itu tetap menyala bahwa kontraksi
bisa semakin bertambah kuat. Namun, lagi-lagi, dia menghilang tanpa ijin.
Kuelus-elus perutku sambil senantiasa berkata,”Nak, ayo bantu bunda! Engkau
sudah pintar Nak karena posisimu sudah sangat baik. Sekarang, bantu bunda lagi
ya agar bunda bisa kontraksi. Engkau bisa lahir secara alami sayang. Allah
bersama kita.” Tentu dengan menangis. Maklum mungkin, karena saya seorang
perempuan, seorang hamba Allah yang memang lemah adanya.
Selanjutnya, senam endhorphin. Luar biasa memang
senam ini. Ketika melakukannya bersama bidan pun, bu bidannya saja
berkata,”Tadi waktu senam ada kontraksi 2 kali lho Mbak.” Saya menjawab,”Iya,
saya juga merasakan.” So pasti, bidan yang cantik dan meneduhkan serta ramah
melayani saya pun menganjurkan agar saya melakukannya juga di rumah dibantu
suami saya. Syukurlah, suami bersedia. Bahkan kala lelah mendera dan ngantuk
menyerang, suami pun berusaha melakukannya ketika saya minta. Dan keajaiban
selalu terjadi. Pasca senam selalu kontraksi. Namun, dia datang dan tak lama
pergi. Tak ingin menyesal, dan seperti biasanya saya berkata kepada janin
saya,”Nak, dengan pertolongan Allah, insyaAllah bisa. Kita terus berusaha ya.”
Tentu, tangis itu pun senantiasa membasahi pipi sebagai wujud keseriusan saya
meminta padaNya.
Goyang inul. Mendengarnya istilahnya saja juga tak
ada keraguan saya melakukannya. Meski jujur, melakukannya harus nyuri-nyuri
kesempatan ketika anak saya yang pertama, laki-laki masih berusia 2,5 tahun
sedang asyik bermain sendiri. Dan teori yang akhirnya saya praktekkan ini
memang ampuh. Tak lama setelah goyang, kontraksi memang terjadi. Tapi dia
enggan untuk terus menguat. Dia melemah, lalu menghilang pergi. Dalam hati
terus memohon agar Allah mengizinkan saya melahirkan alami.
Apa lagi ya? Oh ya, hubungan suami istri. Tentu
dalam melakukannya harus karena landasan iman, cinta, dan tanpa keterpaksaan.
Syarat yang ketiga ini yang benar-benar saya jaga. Saran dokter dan bidan ini
sungguh luar biasa dalam menyebabkan terjadinya kontraksi. Saya merasakannya
betul, namun, meski dokter atau bidan menganjurkan agar aktivitas ini jadi
agenda rutin tiap hari, saya tak bisa melakukannya. Bukan karena tak mampu,
tapi karena saya tak mau memaksa. Hari ini ok, tapi hari berikutnya belum tentu
ok. Siapa yang tega membangunkan suami yang begitu lelah dan ijin untuk
istirahat tidur untuk diajak begituan? Hati nurani saya tidak tega.
Bagaimanapun dia, suami saya, telah bercucuran keringat menunaikan kewajibannya
memberi nafkah keluarga. Rasanya tak adil jika saya mengganggu waktu
istirahatnya. Alhasil, hari tersebut terlewati. Lagi, saya tak mau putus asa.
Jalan kaki dan ngepel rumah. Tiap hari saya selalu
menyempatkan diri untuk melakukan hal ini. Jagoanku yang masih batita pun
alhamdulillah bisa berkompromi. Jalan PP lebih dari 2 km pun kuat, hanya untuk
menemani saya agar bisa cepat kontraksi alami. Berjalan sambil menikmati
hidangan alam dengan tetap berdendang bersama si janin di rahim. Kontraksi?Iya,
sejenak lalu entah kemana lagi dia bersembunyi.
Hingga 9 Agustus 2012, CTG saya jalani pagi hari.
Tak ada kontraksi terdeteksi. Saya terus saja bicara dengan janin bahwa saya
dan dia harus bersabar. Sabar, sabar, dan sabar. Tiga puluh menit berlalu dan
dokter berkata,”Sudah, pesan kamar saja untuk operasi besok. HPL nya besok
kan?”
Saya masih saja tersenyum dan menyapa
dokter,”Doakan saya ntar malam bisa kontraksi ya?” Dokter mengangguk. Saya lega
meski mendengar hasil CTG tadi sedikit bersedih. Tapi hari itu kami tak pesan
kamar. Bukan karena apa-apa, hanya karena masih ada harapan 1 malam lagi.
Malamnya, dengan lembut dan hati-hati suami
berkata,”Bunda, jika besok ayah dinas ke luar kota bagaimana? Ayah nggak bisa
menolak tugas ini karena ini tugas dari atasan.” Dengan dada sedikit sesak saya
mengiyakan. Tak bisa menolak karena memang itulah pekerjaan suami saya. Apalagi
apa yang dilakukan suami pun juga dalam rangka ibadah kepadaNya.
10 Agustus 2012. HPL datang. Tak ada kontraksi
juga. Tapi saya merasa baik-baik saja. Saya tetap menjalani aktivitas hidup
seperti biasanya. Bermain bersama anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
mengisi pengajian, dsb. Hingga akhirnya saya mengirim pesan kepada seorang
dokter spesialis kandungan lagi yang saya kenal lewat facebook. Saya konsultasi
kepada beliau bahwa kemarin ICA saya 9 dan kondisi sekarang seperti ini. Dokter
menyarankan untuk cek ketuban lagi di dokter yang lain dari yang biasa saya
kunjungi untuk control kandungan. Saya pun ke dokter lain bersama suami pada 11
Agustus 2012. Dan hasilnya seperti yang saya tulis di awal tulisan ini. Saat
itu sebenarnya akan CTG lagi agar dokter bisa memastikan sampai kapan janin
saya bisa bertahan. Tapi kondisi anak saya yang pertama saat itu tak
memungkinkan untuk bertahan di rumah sakit. Sudah kelamaan ngantri, keburu
bosan dan rewel minta pulang. Maka kami pun pulang dengan kata-kata cesar masih
terngiang. Sampai rumah magrib dan keputusan saya dan suami mau cek ketuban
lagi di dokter saya sebelumnya tapi di tempat yang berbeda dengan yang ketika
tanggal 9 Agustus 2012. Saya ngantri lama lagi, jam 23.00 baru dipanggil.
Dokter saya tidak menyalahkan saya karena saya tak jadi pesan kamar sesuai
sarannya beberapa hari yang lalu. USG dimulai dan hasilnya indeks ketuban masih
9. “Ya Allah, mana yang benar? Beri hamba petunjukMu,” batin saya. “Saya beri
waktu sampai 13 Agustus ya Mbak. Jika nggak kontraksi lagi, maka harus
operasi.” Saya lega. Ada waktu 3 hari saya harus berusaha semaksimal mungkin,
ini pun disarankan oleh dokter yang saya kenal lewat facebook untuk terus
berpikiran positif.
13 Agustus 2012 akhirnya datang. Setelah subuh saya
langsung pergi ke rumah sakit dengan kepasrahan yang sudah total. Tak ada
kontraksi saya rasakan. Digiring ke kamar operasi untuk dicesar. Menangis
sebelum dan sesudahnya. Bukan karena membayangkan mahalnya biaya cesar, bukan
pula membayangkan sakit yang lama pasca cesar. Saya menangis karena ternyata
banyak hikmah berceceran yang akhirnya bisa saya pungut karena peristiwa ini.
Allah lah yang memberi keputusan sepintar manusia belajar dan semaksimal
manusia berikhtiar. Itu yang paling saya ingat dari perkataan suami saya yang
sangat sederhana,”Ikhlas ya Bunda!” Dan saya mengangguk terharu sambil terus
menyeka air mata.
Bayi perempuan mungilpun lahir di dunia. Tak
langsung menangis,karena ternyata dia mengalami sesak karena kemasukan air
ketuban. Lima hari pun dilaluinya di perinatologi dengan ASI diantar setiap
harinya. Alhamdulillah masih bisa Inisiasi Menyusui Dini meski hanya sebentar.
Hikmah berikutnya yang berhasil saya dapat adalah Allah lah yang Maha Mengetahui
segalanya. USG dan dokter atau bidan hanya wasilah yang bisa memberikan
informasi, motivasi, dan membantu proses persalinan kita, tapi Allah segalanya.
Meski 2 kali cesar saya begitu menikmati karena ada
suami yang baik hati. Pun Allah yang selalu di hati. Pertanyaan saya,”Gentle
Birth kah saya?”Wallahu a’lam.