Selasa, 07 Mei 2013

Ke mana Ayah Pergi?


Terkadang bahkan sering, atau mungkin setiap hari anak kita yang balita akan bertanya,”Bunda, ayah ke mana pergi?” Lalu kita pun menjawab,”Kerja, Nak! Biar dapat uang untuk beli susu adik.” Saya pun awalnya juga begitu. Tapi, kini berusaha sedikit demi sedikit mengubah diksi yang tepat untuk pertanyaan anak semacam itu. Hasilnya memang berbeda, meski terkadang masih keceplosan salah juga kembali ke jawaban seperti di atas. Ya Allah, terus bimbing saya!
Suatu ketika Qowiyy bertanya seperti itu. Kali ini saya mencoba dan suami juga menegaskan pula untuk menjawab versi lain yang pernah saya dapat ketika mendengarkan seorang parenter berceramah.
“Mas Qowiyy, ayah akan berjuang!” jawab saya.
“Benar, Mas. Ayah mau berjuang nih!” timpal suami saya lagi.
“Oh, berjuang ya?” tanya Qowiyy seperti tak mengerti.
Kami hanya mengangguk, lalu suami mencium Qowiyy, jabat tangan, berangkat berjuang. Saya juga tak segera menjelaskan kepada Qowiyy apa makna berjuang. Hingga suatu Minggu di pasar kaget kami sedang menikmati pecel Blitar, tepat di depan kami ada seorang bapak dan anaknya yang masih SD, kira-kira, sedang membuat “arum manis”, makanan kesukaan anak kecil yang rasanya manis. Mereka berdua tampak sekali tak kenal lelah hingga beberapa bungkus “arum manis” selesai dibuat.
“Mas, kakak itu berjuang membantu ayahnya untuk jualan,” suami saya tiba-tiba nyletuk sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada anak bapak penjual “arum manis”.
“Itu ngapain?” tanya Qowiyy.
“Berjuang, Mas! Mas Qowiyy bisa makan ini karena ayah juga berjuang sama kayak bapak itu. Kakak itu juga turut berjuang sama-sama bapaknya. Capek itu, tapi harus menyenangi. Harus dicoba terus!” jelas saya.
“Biar bisa makan ya?” tanya Qowiyy.
Itu salah satunya. Paling tidak dalam benak Qowiyy sudah pernah terlintas makna berjuang. Nah, ketika Qowiyy melihat bapak-bapak naik di atas atap ruko yang kebetulan terlihat dari jendela rumah, seperti biasa dia pun menanyakan sedang apakah mereka? Saya pun menjawab,”Mereka berjuang, Nak! Mereka berusaha tidak takut naik ke atas untuk memasang barang sejenis antena.”
“Bunda, ambilin kue di atas kulkas!”
“Coba ambil sendiri, Mas!”
“Nggak nyampe, Bunda!”
“Coba kayak bapak yang kemarin naik ke atas sana.”
“Berjuang ya? Ehm, naik kursi ya? Tapi takut jatuh Mas Qowiyynya,” Qowiyy berkata.
“Gimana biar nggak jatuh?”
“Pegangan ya?”
Akhirnya Qowiyy bisa mengambil kue di atas kulkas. Gara-gara kata “berjuang”.  Dia pun bisa membuat solusi sendiri dan berani melakukannya.
Kembali ke masalah ke mana ayah pergi. Andai saya menjawab seperti pada umumnya orang menjawab, Qowiyy hanya mengerti bahwa dia nanti akan dapat susu karena ayahnya bekerja. Dia tak pernah tahu tentang lelahnya bekerja, tak pernah mengerti bahwa segala sesuatu bisa didapat karena berusaha dan mencari jalan keluarnya. Dia hanya tahu hasil
Berbeda dengan ketika saya menjawab dengan kata “berjuang” lalu saya ajak Qowiyy melihat fakta di sekelilingnya tentang makna kata ajaib itu. Bahkan yang mengharukan adalah saat ayahnya pulang kerja Qowiyy menyambut dengan kalimat yang membuat saya dan suami kagum kepadanya.
“Ayah habis berjuang ya?”
“Iya, kok tahu?” jawab suami dang anti bertanya.
“Capek ya, gerah ya, kok kringetan,” jawab Qowiyy.
Mengajarkan kerja keras kepada anak memang harus sejak dini, apalagi zaman sekarang serba instan. Ke mana ayah pergi? Kalimat ini telah mengajari saya sesuatu yang berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar