Terkadang bahkan sering, atau mungkin setiap hari anak kita
yang balita akan bertanya,”Bunda, ayah ke mana pergi?” Lalu kita pun menjawab,”Kerja,
Nak! Biar dapat uang untuk beli susu adik.” Saya pun awalnya juga begitu. Tapi,
kini berusaha sedikit demi sedikit mengubah diksi yang tepat untuk pertanyaan
anak semacam itu. Hasilnya memang berbeda, meski terkadang masih keceplosan
salah juga kembali ke jawaban seperti di atas. Ya Allah, terus bimbing saya!
Suatu ketika Qowiyy bertanya seperti itu. Kali ini saya
mencoba dan suami juga menegaskan pula untuk menjawab versi lain yang pernah
saya dapat ketika mendengarkan seorang parenter berceramah.
“Mas Qowiyy, ayah akan berjuang!” jawab saya.
“Benar, Mas. Ayah mau berjuang nih!” timpal suami saya lagi.
“Oh, berjuang ya?” tanya Qowiyy seperti tak mengerti.
Kami hanya mengangguk, lalu suami mencium Qowiyy, jabat
tangan, berangkat berjuang. Saya juga tak segera menjelaskan kepada Qowiyy apa
makna berjuang. Hingga suatu Minggu di pasar kaget kami sedang menikmati pecel
Blitar, tepat di depan kami ada seorang bapak dan anaknya yang masih SD,
kira-kira, sedang membuat “arum manis”, makanan kesukaan anak kecil yang
rasanya manis. Mereka berdua tampak sekali tak kenal lelah hingga beberapa
bungkus “arum manis” selesai dibuat.
“Mas, kakak itu berjuang membantu ayahnya untuk jualan,”
suami saya tiba-tiba nyletuk sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada anak
bapak penjual “arum manis”.
“Itu ngapain?” tanya Qowiyy.
“Berjuang, Mas! Mas Qowiyy bisa makan ini karena ayah juga
berjuang sama kayak bapak itu. Kakak itu juga turut berjuang sama-sama
bapaknya. Capek itu, tapi harus menyenangi. Harus dicoba terus!” jelas saya.
“Biar bisa makan ya?” tanya Qowiyy.
Itu salah satunya. Paling tidak dalam benak Qowiyy sudah
pernah terlintas makna berjuang. Nah, ketika Qowiyy melihat bapak-bapak naik di
atas atap ruko yang kebetulan terlihat dari jendela rumah, seperti biasa dia
pun menanyakan sedang apakah mereka? Saya pun menjawab,”Mereka berjuang, Nak!
Mereka berusaha tidak takut naik ke atas untuk memasang barang sejenis antena.”
“Bunda, ambilin kue di atas kulkas!”
“Coba ambil sendiri, Mas!”
“Nggak nyampe, Bunda!”
“Coba kayak bapak yang kemarin naik ke atas sana.”
“Berjuang ya? Ehm, naik kursi ya? Tapi takut jatuh Mas
Qowiyynya,” Qowiyy berkata.
“Gimana biar nggak jatuh?”
“Pegangan ya?”
Akhirnya Qowiyy bisa mengambil kue di atas kulkas. Gara-gara
kata “berjuang”. Dia pun bisa membuat
solusi sendiri dan berani melakukannya.
Kembali ke masalah ke mana ayah pergi. Andai saya menjawab
seperti pada umumnya orang menjawab, Qowiyy hanya mengerti bahwa dia nanti akan
dapat susu karena ayahnya bekerja. Dia tak pernah tahu tentang lelahnya
bekerja, tak pernah mengerti bahwa segala sesuatu bisa didapat karena berusaha
dan mencari jalan keluarnya. Dia hanya tahu hasil
Berbeda dengan ketika saya menjawab dengan kata “berjuang”
lalu saya ajak Qowiyy melihat fakta di sekelilingnya tentang makna kata ajaib
itu. Bahkan yang mengharukan adalah saat ayahnya pulang kerja Qowiyy menyambut
dengan kalimat yang membuat saya dan suami kagum kepadanya.
“Ayah habis berjuang ya?”
“Iya, kok tahu?” jawab suami dang anti bertanya.
“Capek ya, gerah ya, kok kringetan,” jawab Qowiyy.
Mengajarkan kerja keras kepada anak memang harus sejak dini,
apalagi zaman sekarang serba instan. Ke mana ayah pergi? Kalimat ini telah
mengajari saya sesuatu yang berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar