“Uh, ke mana sih Lani
kok nggak datang-datang? Katanya janjian pukul 16.00 di sini!” keluh Riska
berdiri di bawah pohon mengkudu. Seperempat jam berlalu, Riska tak kelihatan
batang hidungnya. Lani menyeok-nyeokkan tanah dengan sandal kakinya. Jengkel,
manyun. Bibirnya masih maju beberapa sentimeter ke depan. Lima belas menit lagi
Lani tidak datang, Riska memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Tak ada lagi
belajar sama-sama dengan Lani setelahnya. Benar, Lani tak muncul. Riska yang
menyandarkan punggungnya pada batang pohon mengkudu segera melangkahkan kaki ke
rumahnya kembali.
Lani dan Riska adalah
sohib. Akrab, dan saking eratnya pertemanan mereka, Lani dan Riska selalu
mengerjakan pekerjaan rumah sama-sama. Bahkan ketika tak ada PR pun, keduanya
selalu bertemu untuk belajar bersama untuk pelajaran keesokan harinya. Biasanya
mereka belajar di rumah salah satu, namun sore itu keduanya ingin sekali
belajar di rumah Santi, teman baru di sekolah yang berasal dari luar kota.
Ingin belajar di rumahnya karena Lani dan Riska biar bisa dekat dengan Santi.
“Lho?” Lani dan Riska
berkata sama ketika keduanya berpapasan di tengah jalan.
“Kok?” tanya Riska
heran.
“Aku tadi menantimu di
sini sejak pukul 15.50 lho? Karena nggak lewat-lewat, ini aku mau pulang,”
jelas Lani masih berdiri di bawah pohon jambu. Pohon jambu terletak berjarak 1
tikungan dengan pohon mengkudu. Pohon jambu dulu baru pohon mengkudu jika
berangkat dari rumah Riska.
“Aku malah sudah
menantimu pukul 15.40 di sana. Karena
aku tahu kamu orangnya tepat waktu, aku datang lebih dulu. Tadi sekalian nebeng
bapak naik sepeda. Aku dah di sana selama hampir 1 jam. Kan capek?” Riska tak
mau kalah. Wajahnya masih sewot.
“Emang menantiku di
mana tadi?”
“Di bawah pohon
mengkudu,’’ jawab Riska sambil menunjuk ke arah pohon mengkudu meski tidak
kelihatan.
“Kan aku minta tolong
kamu nunggu di sini, di bawah pohon jambu. Dekat rumahmu, biar nggak jalan jauh
kamunya. Kenapa nunggu di sana? Sebelum pukul 16.00 aku dah di sini dan belum
ada kamu, jadi aku nunggu kamu di sini,” Lani bersuara tinggi sedikit kesal.
“Pohon jambu? Kamu tadi
di sekolah bilangnya pohon mengkudu!”
”Nggak kok. Pohon jambu
aku bilang!” Lani tak mau disalahkan.
“Pohon mengkudu. Jelas
banget aku dengernya!” Riska masih ngotot juga.
“Ih, pohon jambu. Nggak
percaya lagi!”
Sore sudah mulai
memerah. Langitnya tak lagi biru. Hati Lani dan Riska ikut-ikutan merah. Masih
dan belum menghilang juga. Terbawa sampai kembali ke rumah. Menggerutu. Tak ada
yang mau mengalah. Hati keduanya masih sakit seperti diiris sembilu.
“Kok kemarin nggak jadi
datang sih? Padahal aku dah bikin teh sama beli kue buat kalian,” sapa Santi
keesokan harinya di sekolah, menyapa Lani dan Riska.
“Itu salah dia!” sahut
Riska terlebih dahulu menjawab dengan nada sedikit kasar.
“Salahmu tahu!” Lani
menimpali.
“Eit, ada apa
memangnya?”
“Riska aku minta nunggu
di bawah pohon jambu, eh dia malah nunggu di bawah pohon mengkudu. Sampai
jamuran dia di sana, aku juga capek berdiri di pohon jambu. Ketemu-ketemu sudah
sore banget, males jalan lagi ke rumahmu. Maaf ya!”
“Oh gitu. Nggak apa-apa
lagi. Soal pohon mengkudu atau pohon jambu biarkan saja. Lupakan ya! Ntar sore
aku saja yang datang ke rumah Riska. Lani ke sana juga ya, kita belajar
sama-sama. Jadi kalian nggak perlu ribut lagi soal pohon mengkudu atau pohon
jambu lagi,” Santi menengahi.
Dan lembayung sore
kembali datang. Hati Lani dan Riska sudah menuai lapang. Tak ada lagi perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar