Selasa, 28 Mei 2013

Pohon Mengkudu dan Pohon Jambu

“Uh, ke mana sih Lani kok nggak datang-datang? Katanya janjian pukul 16.00 di sini!” keluh Riska berdiri di bawah pohon mengkudu. Seperempat jam berlalu, Riska tak kelihatan batang hidungnya. Lani menyeok-nyeokkan tanah dengan sandal kakinya. Jengkel, manyun. Bibirnya masih maju beberapa sentimeter ke depan. Lima belas menit lagi Lani tidak datang, Riska memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Tak ada lagi belajar sama-sama dengan Lani setelahnya. Benar, Lani tak muncul. Riska yang menyandarkan punggungnya pada batang pohon mengkudu segera melangkahkan kaki ke rumahnya kembali.
Lani dan Riska adalah sohib. Akrab, dan saking eratnya pertemanan mereka, Lani dan Riska selalu mengerjakan pekerjaan rumah sama-sama. Bahkan ketika tak ada PR pun, keduanya selalu bertemu untuk belajar bersama untuk pelajaran keesokan harinya. Biasanya mereka belajar di rumah salah satu, namun sore itu keduanya ingin sekali belajar di rumah Santi, teman baru di sekolah yang berasal dari luar kota. Ingin belajar di rumahnya karena Lani dan Riska biar bisa dekat dengan Santi.
“Lho?” Lani dan Riska berkata sama ketika keduanya berpapasan di tengah jalan.
“Kok?” tanya Riska heran.
“Aku tadi menantimu di sini sejak pukul 15.50 lho? Karena nggak lewat-lewat, ini aku mau pulang,” jelas Lani masih berdiri di bawah pohon jambu. Pohon jambu terletak berjarak 1 tikungan dengan pohon mengkudu. Pohon jambu dulu baru pohon mengkudu jika berangkat dari rumah Riska.
“Aku malah sudah menantimu  pukul 15.40 di sana. Karena aku tahu kamu orangnya tepat waktu, aku datang lebih dulu. Tadi sekalian nebeng bapak naik sepeda. Aku dah di sana selama hampir 1 jam. Kan capek?” Riska tak mau kalah. Wajahnya masih sewot.
“Emang menantiku di mana tadi?”
“Di bawah pohon mengkudu,’’ jawab Riska sambil menunjuk ke arah pohon mengkudu meski tidak kelihatan.
“Kan aku minta tolong kamu nunggu di sini, di bawah pohon jambu. Dekat rumahmu, biar nggak jalan jauh kamunya. Kenapa nunggu di sana? Sebelum pukul 16.00 aku dah di sini dan belum ada kamu, jadi aku nunggu kamu di sini,” Lani bersuara tinggi sedikit kesal.
“Pohon jambu? Kamu tadi di sekolah bilangnya pohon mengkudu!”
”Nggak kok. Pohon jambu aku bilang!” Lani tak mau disalahkan.
“Pohon mengkudu. Jelas banget aku dengernya!” Riska masih ngotot juga.
“Ih, pohon jambu. Nggak percaya lagi!”
Sore sudah mulai memerah. Langitnya tak lagi biru. Hati Lani dan Riska ikut-ikutan merah. Masih dan belum menghilang juga. Terbawa sampai kembali ke rumah. Menggerutu. Tak ada yang mau mengalah. Hati keduanya masih sakit seperti diiris sembilu.
“Kok kemarin nggak jadi datang sih? Padahal aku dah bikin teh sama beli kue buat kalian,” sapa Santi keesokan harinya di sekolah, menyapa Lani dan Riska.
“Itu salah dia!” sahut Riska terlebih dahulu menjawab dengan nada sedikit kasar.
“Salahmu tahu!” Lani menimpali.
“Eit, ada apa memangnya?”
“Riska aku minta nunggu di bawah pohon jambu, eh dia malah nunggu di bawah pohon mengkudu. Sampai jamuran dia di sana, aku juga capek berdiri di pohon jambu. Ketemu-ketemu sudah sore banget, males jalan lagi ke rumahmu. Maaf ya!”
“Oh gitu. Nggak apa-apa lagi. Soal pohon mengkudu atau pohon jambu biarkan saja. Lupakan ya! Ntar sore aku saja yang datang ke rumah Riska. Lani ke sana juga ya, kita belajar sama-sama. Jadi kalian nggak perlu ribut lagi soal pohon mengkudu atau pohon jambu lagi,” Santi menengahi.

Dan lembayung sore kembali datang. Hati Lani dan Riska sudah menuai lapang. Tak ada lagi perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar