Matematika. Bagaimanapun kurikulumnya, apakah akan
mengalami perubahan atau tidak, yang namanya pelajaran matematika akan selalu
ada. Tak heran memang, karena sejatinya matematika adalah ilmu universal yang
mendasari disiplin ilmu lainnya. Sederhananya saja misalkan seseorang ingin
belajar seni musik dengan not-not irama yang rumit namun asyik, juga memerlukan
matematika. Atau seorang tukang becak sekalipun yang tidak mengeyam dunia
pendidikan juga memerlukan matematika untuk menentukan tarif dikaitkan dengan
jarak yang ditempuhnya untuk mengantar sang penumpang.
Namun, faktanya tak banyak siswa suka matematika,
seolah matematika adalah monster yang menakutkan. Maka, benar adanya jika
prestasi matematika siswa di Indonesia tergolong rendah. Bahkan bisa jadi
menurun. Mengapa? Karena selama ini matematika identik dengan dominansi
kemampuan menghafal rumus-rumusnya. Soal hitung-menghitung juga menjadi sasaran
utama. Padahal, semestinya matematika itu jauh lebih mengasyikkan manakala guru
mengerti esensi belajar matematika. Kemampuan bernalar, menggunakan logika,
bahkan mengungkapkan argumentasi sangat bisa ditekankan dalam proses
pembelajaran matematika.
“Padahal, belajar matematika itu harus mengembangkan
logika, reasoning, dan berargumentasi. Sekarang ditambah malah harus bisa
meyakinkan orang lain. Ini tidak pernah dikembangkan dalam pendidikan
Matematika di sekolah” ujar Wono Setyabudi, dosen matematika Institut Teknologi
Bandung ketika diwawancari Kompas. Dan lagi-lagi kelemahannya ada pada
kompetensi guru yang rendah. Masih banyak ditemui adanya guru rangkap.
Maksudnya guru sosial juga mengajar matematika. Padahal, sudah jelas termaktub
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 yang menyebutkan bahwa guru
harus memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan
bidang tugas. Bahkan dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa sampai tahun
2015 guru harus memenuhi kualifikasi
akademiknya minimal S1 atau D4.
Beginilah semestinya kondisi anak belajar matematika |
Belajar matematika agar anak berkemampuan membuat keputusan |
Matematika menumbuhkan dan menyuburkan semangat pantang menyerah |
Berdasarkan Uji Kemampuan Awal 2012 yang diikuti oleh
sekitar 281 ribu peserta (guru dari berbagai jenjang dan pengawas) pun terlihat
bahwa kompetensi guru di Indonesia memang rendah, terutama guru dari jenjang
Sekolah Dasar. Rata-rata kompetensi pedagogik guru SD hanya 42,10 dan
kompetensi profesionalnya hanya 41,26. Padahal, Sekolah Dasar adalah bibit
unggul agar anak bisa tetap mendulang sukses di jenjang selanjutnya. Bagaimana
sebuah transfer ilmu dan nilai bisa berjalan maksimal manakala gurunya masih
terkategori rendah kompetensinya. Pernah, seorang guru SD di Kalimantan Selatan
bertanya kepada instruktur pelatihan,”Bu, KPK itu apa ya?” Sontak, sang
instruktur pun kaget. KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) saja tidak tahu,
bagaimana mungkin dia akan bisa mengajarkannya kepada siswanya? Miris, getir mendengar
ceritanya. Itulah sekelumit kenyataan kondisi guru matematika di Indonesia.
Namun, menjadikan anak betah belajar matematika bukan
hal yang mustahil. Ada bebarapa cara yang bisa dilakukan agar tumbuh rasa
kerasan pada diri anak untuk belajar matematika mengingat sangat penting
aplikasinya dalam kehidupan mereka.
Pertama, ini tentang mindset bahwa matematika itu asyik, mudah, menyenangkan. Ini yang
harus ditanamkan terlebih dahulu di pikiran para guru yang mengajar matematika.
Sedikit diubah paradigmanya bahwa matematika adalah rumus dan menghitung.
Matematika senikmat bermain sepak bola di piala dunia, matematika selezat
pizza. Pikiran ini yang akan menjadikan guru senantiasa bersemangat untuk
belajar melakukan terobosan baru dalam melakukan proses pembelajaran
matematika. Berbeda dengan guru dengan paradigma lamanya tentang matematika,
maka proses pembelajarannya kaku, bahkan buku menjadi andalan utamanya. “Coba
buka halaman sekian, lalu kerjakan!” Sungguh membosankan! Mindset juga bisa dibangun dengan mendesign kelas penuh dengan
tulisan semisal “I like mathematic”,
atau “Matematika, gampang banget ya!” Setiap hari membaca tulisan ini
menimbulkan energi tersendiri agar anak betah belajar matematika.
Selanjutnya, lihat tingkat/fase/tahap kognitif anak.
Melakukan proses pembelajaran matematika untuk anak SD, SMP, dan SMA tentu ada
bedanya. Untuk anak SD, guru seharusnya paham bahwa usia anak SD masih dalam
tahap operasional konkret, sehingga matematika yang abstrak tak bisa langsung
diberikan mentah-mentah untuk dihafal rumusnya atau konsepnya. Contohnya,
tentang tabung. Apa itu tabung? Tak cukup dengan kata-kata bahwa tabung adalah
sebuah bangun ruang dengan alas lingkaran, dst. Namun, guru harus membawa alat
peraga yang berbentuk tabung entah kaleng susu, tempat pensil, dsb. Anak
memegang, meraba, mencium kalau perlu sehingga indra anak termaksimalkan. Ini
yang menjadikan terjadinya pengendapan konsep dalam ingatan anak. Pola berpikir
induktif sangat cocok untuk matematika SD. Sedang untuk jenjang lebih atas
seperti SMA bisa dengan pola berpikir deduktif.
Nah, sekarang tentang media pembelajaran. Seorang
guru pernah melibatkan siswa untuk mencari bonggol jagung untuk kemudian
dilubangi tengahnya dan dipotong kecil-kecil menjadi beberapa bagian. Setelah
selesai anak diminta untuk mengecat bonggol tersebut dengan warna yang berbeda.
Sang guru menggunakannya untuk peraga mengajarkan tentang tempat angka sebuah
bilangan. Anak-anak senang karena belajar matematika tak harus mahal. Bahkan
peraga buatan mereka sendiri pun bisa digunakan. Untuk sekolah yang cukup
dananya bisa saja melakukan pembelajaran matematika dilakukan dengan media yang
lebih canggih dan menarik, tapi bagi sekolah di pedesaan, media bisa
menggunakan apa yang ada di alam. Dan lagi-lagi ternyata hal ini juga
menyenangkan. Di sini sosok seorang guru yang mumpuni bisa dilihat. Guru yang
ulet dan kreatif membuat media sendiri biasanya malah memiliki kompetensi yang
tinggi karena dia tahu bagaimana cara mengajarkan sebuah konsep. Keberadaan media
akan menarik siswa untuk betah belajar matematika. Sudah menjadi rumus pula,
guru yang kreatif akan melahirkan anak yang kreatif.
Sekarang tinggal action-nya.
Kelincahan guru dalam mengajar, bahasa yang senantiasa membakar anak untuk
semangat belajar, interaksi yang positif antara keduanya juga menjadi modal
utama anak bisa betah dengan matematika. Apa yang Anda bayangkan manakala
seorang guru matematika tiba-tiba masuk kelas langsung berpuisi tentang Kubus
misalnya. Atau tiba-tiba membanting kardus di depan kelas dengan nada penuh
marah? Tentu, anak-anak di kelas akan tercengang heran. Inilah salah satu kelincahan.
Bahwa memulai pembelajaran tak harus dengan salam yang diucapkan dengan hambar.
Bahasa, tentu saja. Misalkan Anda seorang guru matematika ditanya oleh seorang
siswa seperti ini,”Apakah dulu ibu/bapak menyukai matematika? Saya benci
matematika!” Apajawaban Anda? Seorang guru dalam sebuah cuplikan film menjawab
seperti ini,”Saya benci matematika, sama seperti kalian, namun semakin dibenci
ternyata saya semakin tak bisa, makanya saya belajar. Dan akhirnya saya
menyukai matematika.” Beginilah bahasa sederhana namun membangkitkan. Apalagi
ditambah dengan interaksi yang positif antara guru dan anak-anak, misalkan
dengan polesan permainan dalam pembelajaran matematika, atau bahkan diskusi
setelah bereksperimen, justru akan semakin menambah kecintaan anak terhadap
matematika.
Betah belajar matematika, bukan hal yang niscaya tak
bisa diwujudkan. Semuanya bisa. Faktor utama pada guru tentunya. Semua tergantung
kepadanya. Sebuah ungkapan bijak berkata,”Tak ada siswa yang tidak bisa
belajar, yang ada adalah guru yang tak bisa mengajar.”
Anakku kurang suka matematika, dulu aku juga begitu padahal pas SD aku sukaaa bgt. Begitu SMP matematika berubah jadi monster buatku, semoga cara ini manjur buat anakku biar jatuh cinta sama matematika...^_^
BalasHapusTerima kasih banget lo...