Senin, 20 Mei 2013

Betah Belajar Matematika


Matematika. Bagaimanapun kurikulumnya, apakah akan mengalami perubahan atau tidak, yang namanya pelajaran matematika akan selalu ada. Tak heran memang, karena sejatinya matematika adalah ilmu universal yang mendasari disiplin ilmu lainnya. Sederhananya saja misalkan seseorang ingin belajar seni musik dengan not-not irama yang rumit namun asyik, juga memerlukan matematika. Atau seorang tukang becak sekalipun yang tidak mengeyam dunia pendidikan juga memerlukan matematika untuk menentukan tarif dikaitkan dengan jarak yang ditempuhnya untuk mengantar sang penumpang.
Namun, faktanya tak banyak siswa suka matematika, seolah matematika adalah monster yang menakutkan. Maka, benar adanya jika prestasi matematika siswa di Indonesia tergolong rendah. Bahkan bisa jadi menurun. Mengapa? Karena selama ini matematika identik dengan dominansi kemampuan menghafal rumus-rumusnya. Soal hitung-menghitung juga menjadi sasaran utama. Padahal, semestinya matematika itu jauh lebih mengasyikkan manakala guru mengerti esensi belajar matematika. Kemampuan bernalar, menggunakan logika, bahkan mengungkapkan argumentasi sangat bisa ditekankan dalam proses pembelajaran matematika.
“Padahal, belajar matematika itu harus mengembangkan logika, reasoning, dan berargumentasi. Sekarang ditambah malah harus bisa meyakinkan orang lain. Ini tidak pernah dikembangkan dalam pendidikan Matematika di sekolah” ujar Wono Setyabudi, dosen matematika Institut Teknologi Bandung ketika diwawancari Kompas. Dan lagi-lagi kelemahannya ada pada kompetensi guru yang rendah. Masih banyak ditemui adanya guru rangkap. Maksudnya guru sosial juga mengajar matematika. Padahal, sudah jelas termaktub dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 yang menyebutkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. Bahkan dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa sampai tahun 2015  guru harus memenuhi kualifikasi akademiknya minimal S1 atau D4.
Beginilah semestinya kondisi anak belajar matematika

Belajar matematika agar anak berkemampuan membuat keputusan

Matematika menumbuhkan dan menyuburkan semangat pantang menyerah

Berdasarkan Uji Kemampuan Awal 2012 yang diikuti oleh sekitar 281 ribu peserta (guru dari berbagai jenjang dan pengawas) pun terlihat bahwa kompetensi guru di Indonesia memang rendah, terutama guru dari jenjang Sekolah Dasar. Rata-rata kompetensi pedagogik guru SD hanya 42,10 dan kompetensi profesionalnya hanya 41,26. Padahal, Sekolah Dasar adalah bibit unggul agar anak bisa tetap mendulang sukses di jenjang selanjutnya. Bagaimana sebuah transfer ilmu dan nilai bisa berjalan maksimal manakala gurunya masih terkategori rendah kompetensinya. Pernah, seorang guru SD di Kalimantan Selatan bertanya kepada instruktur pelatihan,”Bu, KPK itu apa ya?” Sontak, sang instruktur pun kaget. KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) saja tidak tahu, bagaimana mungkin dia akan bisa mengajarkannya kepada siswanya? Miris, getir mendengar ceritanya. Itulah sekelumit kenyataan kondisi guru matematika di Indonesia.
Namun, menjadikan anak betah belajar matematika bukan hal yang mustahil. Ada bebarapa cara yang bisa dilakukan agar tumbuh rasa kerasan pada diri anak untuk belajar matematika mengingat sangat penting aplikasinya dalam kehidupan mereka.
Pertama, ini tentang mindset bahwa matematika itu asyik, mudah, menyenangkan. Ini yang harus ditanamkan terlebih dahulu di pikiran para guru yang mengajar matematika. Sedikit diubah paradigmanya bahwa matematika adalah rumus dan menghitung. Matematika senikmat bermain sepak bola di piala dunia, matematika selezat pizza. Pikiran ini yang akan menjadikan guru senantiasa bersemangat untuk belajar melakukan terobosan baru dalam melakukan proses pembelajaran matematika. Berbeda dengan guru dengan paradigma lamanya tentang matematika, maka proses pembelajarannya kaku, bahkan buku menjadi andalan utamanya. “Coba buka halaman sekian, lalu kerjakan!” Sungguh membosankan! Mindset juga bisa dibangun dengan mendesign kelas penuh dengan tulisan semisal “I like mathematic”, atau “Matematika, gampang banget ya!” Setiap hari membaca tulisan ini menimbulkan energi tersendiri agar anak betah belajar matematika.

Selanjutnya, lihat tingkat/fase/tahap kognitif anak. Melakukan proses pembelajaran matematika untuk anak SD, SMP, dan SMA tentu ada bedanya. Untuk anak SD, guru seharusnya paham bahwa usia anak SD masih dalam tahap operasional konkret, sehingga matematika yang abstrak tak bisa langsung diberikan mentah-mentah untuk dihafal rumusnya atau konsepnya. Contohnya, tentang tabung. Apa itu tabung? Tak cukup dengan kata-kata bahwa tabung adalah sebuah bangun ruang dengan alas lingkaran, dst. Namun, guru harus membawa alat peraga yang berbentuk tabung entah kaleng susu, tempat pensil, dsb. Anak memegang, meraba, mencium kalau perlu sehingga indra anak termaksimalkan. Ini yang menjadikan terjadinya pengendapan konsep dalam ingatan anak. Pola berpikir induktif sangat cocok untuk matematika SD. Sedang untuk jenjang lebih atas seperti SMA bisa dengan pola berpikir deduktif.

Nah, sekarang tentang media pembelajaran. Seorang guru pernah melibatkan siswa untuk mencari bonggol jagung untuk kemudian dilubangi tengahnya dan dipotong kecil-kecil menjadi beberapa bagian. Setelah selesai anak diminta untuk mengecat bonggol tersebut dengan warna yang berbeda. Sang guru menggunakannya untuk peraga mengajarkan tentang tempat angka sebuah bilangan. Anak-anak senang karena belajar matematika tak harus mahal. Bahkan peraga buatan mereka sendiri pun bisa digunakan. Untuk sekolah yang cukup dananya bisa saja melakukan pembelajaran matematika dilakukan dengan media yang lebih canggih dan menarik, tapi bagi sekolah di pedesaan, media bisa menggunakan apa yang ada di alam. Dan lagi-lagi ternyata hal ini juga menyenangkan. Di sini sosok seorang guru yang mumpuni bisa dilihat. Guru yang ulet dan kreatif membuat media sendiri biasanya malah memiliki kompetensi yang tinggi karena dia tahu bagaimana cara mengajarkan sebuah konsep. Keberadaan media akan menarik siswa untuk betah belajar matematika. Sudah menjadi rumus pula, guru yang kreatif akan melahirkan anak yang kreatif.

Sekarang tinggal action-nya. Kelincahan guru dalam mengajar, bahasa yang senantiasa membakar anak untuk semangat belajar, interaksi yang positif antara keduanya juga menjadi modal utama anak bisa betah dengan matematika. Apa yang Anda bayangkan manakala seorang guru matematika tiba-tiba masuk kelas langsung berpuisi tentang Kubus misalnya. Atau tiba-tiba membanting kardus di depan kelas dengan nada penuh marah? Tentu, anak-anak di kelas akan tercengang heran. Inilah salah satu kelincahan. Bahwa memulai pembelajaran tak harus dengan salam yang diucapkan dengan hambar. Bahasa, tentu saja. Misalkan Anda seorang guru matematika ditanya oleh seorang siswa seperti ini,”Apakah dulu ibu/bapak menyukai matematika? Saya benci matematika!” Apajawaban Anda? Seorang guru dalam sebuah cuplikan film menjawab seperti ini,”Saya benci matematika, sama seperti kalian, namun semakin dibenci ternyata saya semakin tak bisa, makanya saya belajar. Dan akhirnya saya menyukai matematika.” Beginilah bahasa sederhana namun membangkitkan. Apalagi ditambah dengan interaksi yang positif antara guru dan anak-anak, misalkan dengan polesan permainan dalam pembelajaran matematika, atau bahkan diskusi setelah bereksperimen, justru akan semakin menambah kecintaan anak terhadap matematika.

Betah belajar matematika, bukan hal yang niscaya tak bisa diwujudkan. Semuanya bisa. Faktor utama pada guru tentunya. Semua tergantung kepadanya. Sebuah ungkapan bijak berkata,”Tak ada siswa yang tidak bisa belajar, yang ada adalah guru yang tak bisa mengajar.”

1 komentar:

  1. Anakku kurang suka matematika, dulu aku juga begitu padahal pas SD aku sukaaa bgt. Begitu SMP matematika berubah jadi monster buatku, semoga cara ini manjur buat anakku biar jatuh cinta sama matematika...^_^
    Terima kasih banget lo...

    BalasHapus