Sesekali waktu cobalah bertanya pada
diri sendiri dan pada orang lain tentang alasan naik becak. Ada macam-macam.
Mulai dari santai bisa menikmati pemandangan selama perjalanan, tak terjangkau
angkotan kota, tak berdesakan seperti kendaraan umum lainnya, bahkan ada yang
menjawab bahwa naik becak enak karena bisa ditawar harganya. Semuanya benar.
“Bu, dari pasar ke tempat Ibu jika naik
becak dikasih berapa ya?” tanyaku pada Bu Umi ketika aku ingin bersilaturahim
ke rumahnya.
“Kasih lima ribu aja. Biasanya juga
segitu,” jawabnya singkat Rabu pagi itu.
Petualangan naik becak pun dimulai. Hal
yang sebenarnya tak terlalu aku suka sebelumnya. Apalagi kalau aku naik becak
sendirian. Entahlah, ada rasa tak nyaman. Sekali, dua kali, bahkan hingga
kumulai lagi perjalananku kali ini.
“Pasar, Bang!” seruku pada sopir angkot
mendekati Jalan Dewi Sartika Depok. Angkot biru sepi penumpang itu berhenti
sesuai dengan instruksiku.
“Liok, Teh? Becak?” seorang tukang becak
sudah menyambutku menawarkan jasanya untuk mengantarku ke kampung Liok.
Badannya tampak hitam karena terpanggang terik mentari yang sebenarnya belum
siang betul. Ada kain handuk melingkar di lehernya, pengusap keringatnya.
Seperti biasa, rasa kasihan mulai
merambah nuraniku. Aku naiki becaknya tanpa banyak kata keluar dari mulutku.
Aku hanya bertanya,”Kira-kira aku kasih berapa ya? Dari pasar ke rumah teman
katanya 5 ribu, kalau dari sini?”
Keputusan telah kuambil. Sepuluh ribu.
Padahal dari jalan raya ke pasar hanya butuh waktu tak sampai 5 menit, dan dari
pasar ke rumah teman kira-kira 10 menit. Jika dikalkulasi dengan cara
matematika dan logika, tujuh ribu saja cukup. Namun, sungguh aku tak pernah
tega dengan laki-laki yang bernama tukang becak. Di manapun tempatnya. Tak
hanya sekali kejadian.
“Ini Bang!” begitulah caraku memberikan
upah jasa tukang becak yang baru saja menurunkan aku. Tanpa bertanya berapa.
Namun, setengah melirik aku melihat raut muka tukang becak itu mengulumkan
senyum. Setelah gulungan uang sepuluh ribu dan dua ribu dibukanya. Dia pun memutar
becaknya, lalu menyapa,”Terima kasih, Teh!”
“Dikasih berapa tadi? Dari pasar kan?”
Bu Wati temanku bertanya.
“Ah, biasa Bu. Tadi dari jalan raya
setelah turun dari angkot.”
“Ya udah, soalnya kesenangan tuh kalau
tukang becak dikasih uang lebih. Bahkan mereka juga sering nipu penumpang
apalagi yang bukan orang Depok asli,” jelas temanku.
“Nggak kok, bapaknya tadi baik. Nggak
nyebutin minta ongkos berapa.”
“Ya kali aja Bu Henny ketipu!” tukasnya
sambil tersenyum.
Apa yang dilakukan Bu Wati memang tak
salah. Zaman sekarang, ketika hidup semakin melonjakkan harga barang, semakin
tinggi pula kompetisi orang untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Untuk
satu kata “hidup”. Melihat angkot yang berderet-deret berhenti di jalan rebutan
mencari penumpang, bahkan kata-kata kasar pun sering dilontarkan mencemooh
sopir angkot lainnya. Tukang becak pun tak ketinggalan. Ketika penumpang angkot
atau kendaraan umum lainnya turun, berbondong-bondong mendekati. Mempengaruhi
agar mau naik kendaraan roda tiganya. Ada pula yang membuat system antri. Ada
urutan waktunya siapa, tukang becak yang akan mengantarkan penumpang.
Tentang ongkos pun, beda-beda tiap
tukang becak. Ada yang sebelum penumpang naik, melakukan tawar menawar. Ada
pula yang setelah menurunkan penumpang, ketika ditanya rupiahnya, dia pun
menjawab terang-terangan. Namun, ada pula tukang becak yang terserah
penumpangnya mau memberi berapa. Dengan asumsi penumpang pasti tahu. Lucunya,
ketika sudah diberi penumpang, ternyata kurang. Tukang becak pun protes, minta
tambahan. Spontan, si penumpang pun ngomel-ngomel.
Inilah yang membuatku tak betah. Tak
nyaman jika hanya bertengkar masalah sepele seperti ongkos tukang becak. Aku
ambil jalan pintas saja. Kalau ingin naik ya langsung naik saja, saat turun
memberikan uang lebih setelah kubertanya berapa ongkos umumnya. Terkadang, aku
dicibiri orang ketika aku berbuat seperti ini. Tapi, aku tak peduli. Apalagi
melihat senyum yang mengembang di bibir tukang becak, bukan penyesalan yang
muncul di hati, tapi kepuasan karena telah bisa memberi. Seribu, dua ribu, atau
berapa pun itu.
Kembali ke sepuluh ribu, ongkos yang ingin
kuberikan kepada tukang becak yang mengantarkanku ke kampung Liok. Awalnya, aku
memang ingin memberinya senilai itu, nominal yang sudah lebih dari harga
umumnya. Namun, ketika sampai di dekat sekolah, jalan mulai menanjak naik.
Sudah begitu, jalannya rusak dan berlubang karena sering tergerus air hujan
yang memang setahun ini tak henti-henti menyapa nusantara.
“Kuat, Bang?” aku bertanya sambil
menggendong anakku.
Kubertanya sekali lagi. Rupanya tukang
becaknya tak mendengar suaraku. Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata, pedal
becak tidak dikayuh. Tukang becak turun dari tempat duduknya, lalu berjalan
dengan tangan berada di posisi setir sebelah kiri. Dia mendorong becaknya,
menuntunnya agar bisa naik dan tak berhenti. Iba, lagi-lagi mendominasi
perasaanku ketika itu. Aku rogoh lagi saku tas anakku, kutemukan ada uang
kertas dua ribu. Aku ambil dan kugulung bersama uang sepuluh ribu yang sudah
aku siapkan. Aku berikan kala tukang becak sudah selesai menjalankan tugasnya.
Lega. Aku bahagia. Bagiku membuat orang
tersenyum tak harus sulit caranya. Tukang becak, kita mungkin paham berapa uang
yang bisa dibawanya pulang dalam sehari untuk diberikan kepada istri dan
anaknya. Jauh dari gaji pegawai negeri, jauh dari penghasilan pegawai swasta
sekalipun. Bahkan terkadang, sehari hanya bisa narik tak sampai 5 kali. Apalagi
di Depok yang dekat kota, dimana angkot saja bisa ribuan banyaknya. Belum lagi
sekarang banyak penduduk yang makin jatuh cinta pergi ke mana-mana dengan
kendaraan bermotor roda dua. Lalu, bagaimana dengan tukang becak? Mengayuh
becaknya saja keringat bercucuran sebagai gantinya. Belum lagi kalau hujan, tak
jarang tukang becak hanya berselimut mantel plastik tipis yang tak sempurna
menutup tubuhnya. Yang begini dilakukannya juga. Tiap hari, agar hidup mampu
dititi.
Di Depok masih mendingan karena tukang
becak masih bisa berkeliaran. Bagaimana nasib mereka yang ada di ibukota
Indonesia. Mereka tergusur oleh peraturan, tak tahu harus mengadu hidup dengan
cara apa sebagai gantinya. Bisa saja mereka pun lari ke Depok untuk menarik
becaknya lagi. Meninggalkan anak istrinya di Jakarta, tukang becak tinggal di
Depok tanpa rumah. Karena rumahnya adalah becaknya sendiri. Sering kita lihat,
bukan? Mereka tidur di becaknya kala pagi, sore, dan malam, hingga kembali pagi
menjelang. Sungguh, diriku pernah menjumpainya.
“Rumahnya mana, Pak?” tanyaku pada
tukang becak yang mengantarku ke kos-kosan tempat aku tinggal.
“Aslinya Malang, anak dan istri di
sana,” jawabnya pelan dan sopan sambil terus mengayuh becaknya.
“Lha terus bapak tinggal di mana?”
“Ya tidur di becak. Kalau nggak gitu
becak diparkir dekat masjid, saya tidur di masjid.”
“Oh gitu ya Pak?” aku terharu.
Begitulah! Sepanjang perjalanan aku
banyak mengobrol dengan tukang becak itu hingga tak terasa sampai di kos-kosan.
Cukup jauh. Kubuka dompet dan kuambil uang dua puluh ribu. Kuberikan pada
tukang becak.
“Mbak, ini kebanyakan,” serunya sambil
menjelaskan pula bahwa dia tak ada kembalian.
“Memang berapa, Pak?”
“Sepuluh ribu saja.”
“Nggak papa, Pak, lebihnya buat anak
bapak,” jawabku sederhana.
“Terima kasih, Mbak. Allah yang mbalas.”
Sungguh, tukang becak membuatku terharu.
Banyak kisahnya menjadikan aku tak memandang miring tukang becak. Kegigihannya
membanting tulang, kesabaran berpisah dengan keluarga, toleransinya dengan
tukang becak yang lain (dapat dilihat dari budaya antri yang mereka terapkan
agar bisa semuanya dalam sehari narik), keikhlasannya mendoakan penumpang, dan
masih banyak lagi. Meski ada satu dua yang tak berkesan di hati, tapi melalui
tukang becak aku pun belajar untuk berbagi.
Sungguh, melebihkan ongkos tukang becak
mengantarkan kita ke suatu tempat tujuan kita bukanlah hal yang mudah.
Kebanyakan penumpang sering menawar. Aku, syukur kupanjatkan padaNya, bisa
berusaha untuk terus berbagi. Tak jarang ketika bepergian dengan suami, ketika
suami mau membayar, aku sering mengingatkan,”Ayah, tambahin deh ongkosnya!
Kasihan!” Bahkan, ketika aku boyongan/pindahan dari Surabaya ke Kediri, tukang
becak yang mengangkut barang-barang milikku dari rumah ke mobil yang diparkir
di depan gang, merasa girang karena uang lima puluh ribu berada di tangan.
Nominal yang belum tentu bisa dia dapatkan dalam sehari. Padahal, ongkos yang
pantas sebenarnya hanya sekitar dua puluh ribuan.
Aku hanya berpikir sederhana. Belajar
bersedekah intinya. Membahagiakan orang lain di kala aku bisa melakukannya.
Baik di waktu lapang ataupun sempit yang menimpa. Tukang becak bukanlah orang
lain. Dia adalah sesama yang sebenarnya juga nelangsa dengan hidupnya yang
serba kekurangan. Namun, tukang becak adalah laki-laki yang luar biasa. Mampu
bertahan untuk tidak menjadi pengemis. Menengadahkan tangan untuk
meminta-minta. Tukang becak mengajarkan bagaimana susahnya menjaga martabat.
Harga diri harus tetap dijunjung tinggi.
Sekali lagi, aku hanya berpikir
sederhana. Bersedekah di masjid sepertinya sudah biasa dilakukan siapa saja.
Menyumbang korban bencana alam, demikian halnya. Namun, niat bersedekah pada
tukang becak mungkin hanya segelintir saja. Kebiasaan inilah yang akhirnya
membuat diriku senang jika sekarang bepergian dengan menggunakan becak.
“Becak ya Teh? Ke kampung Liok, kan?”
tukang becak di belokan Jalan Dewi Sartika menawarkan.
“Iya Pak,” jawabku singkat.
Setiap Rabu. Minimal dalam seminggu aku
selalu naik becak. Dan setiap Rabu kucoba merangkai amalku, bekal akhiratku,
lagi-lagi dengan melebihkan ongkos becak yang telah mengantarkanku. Pulang dan
pergi, bisa dipastikan seperti itu. Apa yang diajarkan tak langsung oleh
keseharian tukang becak rasanya melebihi dari apa yang telah aku berikan. Dia
adalah guru kehidupan. Mata pelajaran yang disampaikannya bisa sampai
menghunjam jauh ke dalam dari permukaan hati. Dia lilin yang menerangi jiwa
yang terkadang bakhil, pelit untuk menyisihkan.
Becak, kini menjadi favorit tumpangan.
Selain turut membantu mengurangi polusi, becak dengan bentuknya yang menawan
juga menelurkan hikmah kesederhanaan. Becakku sayang, telah pula berujar bahwa
rodanya yang berputar layaknya roda kehidupan. Harus terus dikayuh agar bisa
berputar. Agar bisa terus bergerak, tak ada kemandegan.
Becakku sayang, ada sisi positif yang
kau emban, hingga aku jatuh cinta. Dan semoga cinta yang sedikit bisa aku
berikan, mampu membuat sopirmu, tukang becak dapat merasakan kebahagiaan.
Tukang becakku senang.
Halo Bunda.. Ijin Sharing ya, untuk bunda2 cerdas yang sedang bingung mencari educational daycare di sekitar Grand Depok City atau dekat stasiun depok lama, kami hadir untuk membantu Ayah-Bunda.
BalasHapusDisini buah hati Ayah - Bunda tidak sekedar diasuh tetapi juga di asah kreativitas dan kecerdasan buah hati bunda.
Fasilitas BUBBLEGUM Daycare & Early Education Center :
1. Ruang Bermain yang lengkap (Aneka permaina edukatif , indoor + outdoor )
2. Perpustakaan & Ruang Belajar Mini ( dengan fasilitas buku penunjang yang lengkap)
3. Ruang Tidur yang bersih & Higienis (Full AC)
4. Laporan harian & Bulanan
5. Mozart Music – Musik yang dapat menstimulasi otak anak ( buah hati anda akan mendengarkan music klasik untuk penghantar tidur siang )
6. Makanan yang sehat dan bergizi
7. Pembimbing & Pengasuh yang berpengalaman ( Rasio Pengasuhan 1:3 )
8. Loker Pribadi Anak & Toilet Training
9. Kunjungan Psikolog & Dokter yang rutin
10. Parenting Class bagi orang tua
11. Bilingual System
BUBBLEGUM Daycare & Early Education Center :
Senin- Sabtu : 07.00 – 17.30 WIB
Sabtu : 07.00 – 12.00 ( By Request)
Minggu : Pendaftaran By Appointment
Biaya Fullday 800.000 / Bln
Biaya Halfday 500.000 / Bln
Free Biaya Pendaftaran (Masih dalam promo)
Free 2 days Trial (Masih dalam promo)
Alamat Kami :
Grand Depok City
Cluster Alpinia Blok i No 2
Depok - Jabar
Contact Person : Bunda Dita 08567018866
Email : bubblegumdaycare@yahoo.com / bubblegumdaycare@gmail.com
FanPage FB: Bubblegum Daycare & Early Education Center
Instagram: @BubblegumDaycare
Twitter : @BubblegumDaycare
Blog : www.bubblegumdaycare.blogspot.com