Minggu, 03 Februari 2013

Becakku Sayang, Tukang Becakku Senang


Sesekali waktu cobalah bertanya pada diri sendiri dan pada orang lain tentang alasan naik becak. Ada macam-macam. Mulai dari santai bisa menikmati pemandangan selama perjalanan, tak terjangkau angkotan kota, tak berdesakan seperti kendaraan umum lainnya, bahkan ada yang menjawab bahwa naik becak enak karena bisa ditawar harganya. Semuanya benar.
“Bu, dari pasar ke tempat Ibu jika naik becak dikasih berapa ya?” tanyaku pada Bu Umi ketika aku ingin bersilaturahim ke rumahnya.
“Kasih lima ribu aja. Biasanya juga segitu,” jawabnya singkat Rabu pagi itu.
Petualangan naik becak pun dimulai. Hal yang sebenarnya tak terlalu aku suka sebelumnya. Apalagi kalau aku naik becak sendirian. Entahlah, ada rasa tak nyaman. Sekali, dua kali, bahkan hingga kumulai lagi perjalananku kali ini.
“Pasar, Bang!” seruku pada sopir angkot mendekati Jalan Dewi Sartika Depok. Angkot biru sepi penumpang itu berhenti sesuai dengan instruksiku.
“Liok, Teh? Becak?” seorang tukang becak sudah menyambutku menawarkan jasanya untuk mengantarku ke kampung Liok. Badannya tampak hitam karena terpanggang terik mentari yang sebenarnya belum siang betul. Ada kain handuk melingkar di lehernya, pengusap keringatnya.
Seperti biasa, rasa kasihan mulai merambah nuraniku. Aku naiki becaknya tanpa banyak kata keluar dari mulutku. Aku hanya bertanya,”Kira-kira aku kasih berapa ya? Dari pasar ke rumah teman katanya 5 ribu, kalau dari sini?”
Keputusan telah kuambil. Sepuluh ribu. Padahal dari jalan raya ke pasar hanya butuh waktu tak sampai 5 menit, dan dari pasar ke rumah teman kira-kira 10 menit. Jika dikalkulasi dengan cara matematika dan logika, tujuh ribu saja cukup. Namun, sungguh aku tak pernah tega dengan laki-laki yang bernama tukang becak. Di manapun tempatnya. Tak hanya sekali kejadian.
“Ini Bang!” begitulah caraku memberikan upah jasa tukang becak yang baru saja menurunkan aku. Tanpa bertanya berapa. Namun, setengah melirik aku melihat raut muka tukang becak itu mengulumkan senyum. Setelah gulungan uang sepuluh ribu dan dua ribu dibukanya. Dia pun memutar becaknya, lalu menyapa,”Terima kasih, Teh!”
“Dikasih berapa tadi? Dari pasar kan?” Bu Wati temanku bertanya.
“Ah, biasa Bu. Tadi dari jalan raya setelah turun dari angkot.”
“Ya udah, soalnya kesenangan tuh kalau tukang becak dikasih uang lebih. Bahkan mereka juga sering nipu penumpang apalagi yang bukan orang Depok asli,” jelas temanku.
“Nggak kok, bapaknya tadi baik. Nggak nyebutin minta ongkos berapa.”
“Ya kali aja Bu Henny ketipu!” tukasnya sambil tersenyum.
Apa yang dilakukan Bu Wati memang tak salah. Zaman sekarang, ketika hidup semakin melonjakkan harga barang, semakin tinggi pula kompetisi orang untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Untuk satu kata “hidup”. Melihat angkot yang berderet-deret berhenti di jalan rebutan mencari penumpang, bahkan kata-kata kasar pun sering dilontarkan mencemooh sopir angkot lainnya. Tukang becak pun tak ketinggalan. Ketika penumpang angkot atau kendaraan umum lainnya turun, berbondong-bondong mendekati. Mempengaruhi agar mau naik kendaraan roda tiganya. Ada pula yang membuat system antri. Ada urutan waktunya siapa, tukang becak yang akan mengantarkan penumpang.
Tentang ongkos pun, beda-beda tiap tukang becak. Ada yang sebelum penumpang naik, melakukan tawar menawar. Ada pula yang setelah menurunkan penumpang, ketika ditanya rupiahnya, dia pun menjawab terang-terangan. Namun, ada pula tukang becak yang terserah penumpangnya mau memberi berapa. Dengan asumsi penumpang pasti tahu. Lucunya, ketika sudah diberi penumpang, ternyata kurang. Tukang becak pun protes, minta tambahan. Spontan, si penumpang pun ngomel-ngomel.
Inilah yang membuatku tak betah. Tak nyaman jika hanya bertengkar masalah sepele seperti ongkos tukang becak. Aku ambil jalan pintas saja. Kalau ingin naik ya langsung naik saja, saat turun memberikan uang lebih setelah kubertanya berapa ongkos umumnya. Terkadang, aku dicibiri orang ketika aku berbuat seperti ini. Tapi, aku tak peduli. Apalagi melihat senyum yang mengembang di bibir tukang becak, bukan penyesalan yang muncul di hati, tapi kepuasan karena telah bisa memberi. Seribu, dua ribu, atau berapa pun itu.
Kembali ke sepuluh ribu, ongkos yang ingin kuberikan kepada tukang becak yang mengantarkanku ke kampung Liok. Awalnya, aku memang ingin memberinya senilai itu, nominal yang sudah lebih dari harga umumnya. Namun, ketika sampai di dekat sekolah, jalan mulai menanjak naik. Sudah begitu, jalannya rusak dan berlubang karena sering tergerus air hujan yang memang setahun ini tak henti-henti menyapa nusantara.
“Kuat, Bang?” aku bertanya sambil menggendong anakku.
Kubertanya sekali lagi. Rupanya tukang becaknya tak mendengar suaraku. Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata, pedal becak tidak dikayuh. Tukang becak turun dari tempat duduknya, lalu berjalan dengan tangan berada di posisi setir sebelah kiri. Dia mendorong becaknya, menuntunnya agar bisa naik dan tak berhenti. Iba, lagi-lagi mendominasi perasaanku ketika itu. Aku rogoh lagi saku tas anakku, kutemukan ada uang kertas dua ribu. Aku ambil dan kugulung bersama uang sepuluh ribu yang sudah aku siapkan. Aku berikan kala tukang becak sudah selesai menjalankan tugasnya.
Lega. Aku bahagia. Bagiku membuat orang tersenyum tak harus sulit caranya. Tukang becak, kita mungkin paham berapa uang yang bisa dibawanya pulang dalam sehari untuk diberikan kepada istri dan anaknya. Jauh dari gaji pegawai negeri, jauh dari penghasilan pegawai swasta sekalipun. Bahkan terkadang, sehari hanya bisa narik tak sampai 5 kali. Apalagi di Depok yang dekat kota, dimana angkot saja bisa ribuan banyaknya. Belum lagi sekarang banyak penduduk yang makin jatuh cinta pergi ke mana-mana dengan kendaraan bermotor roda dua. Lalu, bagaimana dengan tukang becak? Mengayuh becaknya saja keringat bercucuran sebagai gantinya. Belum lagi kalau hujan, tak jarang tukang becak hanya berselimut mantel plastik tipis yang tak sempurna menutup tubuhnya. Yang begini dilakukannya juga. Tiap hari, agar hidup mampu dititi.
Di Depok masih mendingan karena tukang becak masih bisa berkeliaran. Bagaimana nasib mereka yang ada di ibukota Indonesia. Mereka tergusur oleh peraturan, tak tahu harus mengadu hidup dengan cara apa sebagai gantinya. Bisa saja mereka pun lari ke Depok untuk menarik becaknya lagi. Meninggalkan anak istrinya di Jakarta, tukang becak tinggal di Depok tanpa rumah. Karena rumahnya adalah becaknya sendiri. Sering kita lihat, bukan? Mereka tidur di becaknya kala pagi, sore, dan malam, hingga kembali pagi menjelang. Sungguh, diriku pernah menjumpainya.
“Rumahnya mana, Pak?” tanyaku pada tukang becak yang mengantarku ke kos-kosan tempat aku tinggal.
“Aslinya Malang, anak dan istri di sana,” jawabnya pelan dan sopan sambil terus mengayuh becaknya.
“Lha terus bapak tinggal di mana?”
“Ya tidur di becak. Kalau nggak gitu becak diparkir dekat masjid, saya tidur di masjid.”
“Oh gitu ya Pak?” aku terharu.
Begitulah! Sepanjang perjalanan aku banyak mengobrol dengan tukang becak itu hingga tak terasa sampai di kos-kosan. Cukup jauh. Kubuka dompet dan kuambil uang dua puluh ribu. Kuberikan pada tukang becak.
“Mbak, ini kebanyakan,” serunya sambil menjelaskan pula bahwa dia tak ada kembalian.
“Memang berapa, Pak?”
“Sepuluh ribu saja.”
“Nggak papa, Pak, lebihnya buat anak bapak,” jawabku sederhana.
“Terima kasih, Mbak. Allah yang mbalas.”
Sungguh, tukang becak membuatku terharu. Banyak kisahnya menjadikan aku tak memandang miring tukang becak. Kegigihannya membanting tulang, kesabaran berpisah dengan keluarga, toleransinya dengan tukang becak yang lain (dapat dilihat dari budaya antri yang mereka terapkan agar bisa semuanya dalam sehari narik), keikhlasannya mendoakan penumpang, dan masih banyak lagi. Meski ada satu dua yang tak berkesan di hati, tapi melalui tukang becak aku pun belajar untuk berbagi.
Sungguh, melebihkan ongkos tukang becak mengantarkan kita ke suatu tempat tujuan kita bukanlah hal yang mudah. Kebanyakan penumpang sering menawar. Aku, syukur kupanjatkan padaNya, bisa berusaha untuk terus berbagi. Tak jarang ketika bepergian dengan suami, ketika suami mau membayar, aku sering mengingatkan,”Ayah, tambahin deh ongkosnya! Kasihan!” Bahkan, ketika aku boyongan/pindahan dari Surabaya ke Kediri, tukang becak yang mengangkut barang-barang milikku dari rumah ke mobil yang diparkir di depan gang, merasa girang karena uang lima puluh ribu berada di tangan. Nominal yang belum tentu bisa dia dapatkan dalam sehari. Padahal, ongkos yang pantas sebenarnya hanya sekitar dua puluh ribuan.
Aku hanya berpikir sederhana. Belajar bersedekah intinya. Membahagiakan orang lain di kala aku bisa melakukannya. Baik di waktu lapang ataupun sempit yang menimpa. Tukang becak bukanlah orang lain. Dia adalah sesama yang sebenarnya juga nelangsa dengan hidupnya yang serba kekurangan. Namun, tukang becak adalah laki-laki yang luar biasa. Mampu bertahan untuk tidak menjadi pengemis. Menengadahkan tangan untuk meminta-minta. Tukang becak mengajarkan bagaimana susahnya menjaga martabat. Harga diri harus tetap dijunjung tinggi.
Sekali lagi, aku hanya berpikir sederhana. Bersedekah di masjid sepertinya sudah biasa dilakukan siapa saja. Menyumbang korban bencana alam, demikian halnya. Namun, niat bersedekah pada tukang becak mungkin hanya segelintir saja. Kebiasaan inilah yang akhirnya membuat diriku senang jika sekarang bepergian dengan menggunakan becak.
“Becak ya Teh? Ke kampung Liok, kan?” tukang becak di belokan Jalan Dewi Sartika menawarkan.
“Iya Pak,” jawabku singkat.
Setiap Rabu. Minimal dalam seminggu aku selalu naik becak. Dan setiap Rabu kucoba merangkai amalku, bekal akhiratku, lagi-lagi dengan melebihkan ongkos becak yang telah mengantarkanku. Pulang dan pergi, bisa dipastikan seperti itu. Apa yang diajarkan tak langsung oleh keseharian tukang becak rasanya melebihi dari apa yang telah aku berikan. Dia adalah guru kehidupan. Mata pelajaran yang disampaikannya bisa sampai menghunjam jauh ke dalam dari permukaan hati. Dia lilin yang menerangi jiwa yang terkadang bakhil, pelit untuk menyisihkan.
Becak, kini menjadi favorit tumpangan. Selain turut membantu mengurangi polusi, becak dengan bentuknya yang menawan juga menelurkan hikmah kesederhanaan. Becakku sayang, telah pula berujar bahwa rodanya yang berputar layaknya roda kehidupan. Harus terus dikayuh agar bisa berputar. Agar bisa terus bergerak, tak ada kemandegan.
Becakku sayang, ada sisi positif yang kau emban, hingga aku jatuh cinta. Dan semoga cinta yang sedikit bisa aku berikan, mampu membuat sopirmu, tukang becak dapat merasakan kebahagiaan. Tukang becakku senang.

1 komentar:

  1. Halo Bunda.. Ijin Sharing ya, untuk bunda2 cerdas yang sedang bingung mencari educational daycare di sekitar Grand Depok City atau dekat stasiun depok lama, kami hadir untuk membantu Ayah-Bunda.
    Disini buah hati Ayah - Bunda tidak sekedar diasuh tetapi juga di asah kreativitas dan kecerdasan buah hati bunda.

    Fasilitas BUBBLEGUM Daycare & Early Education Center :
    1. Ruang Bermain yang lengkap (Aneka permaina edukatif , indoor + outdoor )
    2. Perpustakaan & Ruang Belajar Mini ( dengan fasilitas buku penunjang yang lengkap)
    3. Ruang Tidur yang bersih & Higienis (Full AC)
    4. Laporan harian & Bulanan
    5. Mozart Music – Musik yang dapat menstimulasi otak anak ( buah hati anda akan mendengarkan music klasik untuk penghantar tidur siang )
    6. Makanan yang sehat dan bergizi
    7. Pembimbing & Pengasuh yang berpengalaman ( Rasio Pengasuhan 1:3 )
    8. Loker Pribadi Anak & Toilet Training
    9. Kunjungan Psikolog & Dokter yang rutin
    10. Parenting Class bagi orang tua
    11. Bilingual System


    BUBBLEGUM Daycare & Early Education Center :
    Senin- Sabtu : 07.00 – 17.30 WIB
    Sabtu : 07.00 – 12.00 ( By Request)

    Minggu : Pendaftaran By Appointment

    Biaya Fullday 800.000 / Bln
    Biaya Halfday 500.000 / Bln

    Free Biaya Pendaftaran (Masih dalam promo)
    Free 2 days Trial (Masih dalam promo)

    Alamat Kami :
    Grand Depok City
    Cluster Alpinia Blok i No 2
    Depok - Jabar

    Contact Person : Bunda Dita 08567018866
    Email : bubblegumdaycare@yahoo.com / bubblegumdaycare@gmail.com
    FanPage FB: Bubblegum Daycare & Early Education Center
    Instagram: @BubblegumDaycare
    Twitter : @BubblegumDaycare

    Blog : www.bubblegumdaycare.blogspot.com



    BalasHapus