Rabu, 20 Februari 2013

Percayalah!


Ini sebuah pengalaman yang membuat saya tertegun. Kehadiran seorang adik bagi anak pertama saya ternyata membawa peristiwa yang senantiasa membuat saya belajar, belajar, dan terus belajar sebagai orang tua. Pasalnya kisah tentang persaingan kakak adik, pertengkaran di antara keduanya sering mewarnai perjalanan hidup orang tua mendidik anak-anaknya.
“Gimana, mas Qowiyy dah usilin adiknya belum?”
Pertanyaan di atas pernah saya terima dari SMS yang dikirimkan seorang teman saya. Usil? Apakah definisi usil? Apakah usil itu berarti sang kakak yang diam-diam menggigit tangan adiknya? Atau usil itu mendorong adiknya yang sedang belajar merayap/merangkak? O,o, kata usil ini pula yang ternyata langsung membius saya untuk percaya. Ya, sang kakak memang suka usil terhadap adiknya hingga terkadang kemarahan sering tersulut karenanya.
Namun, senantiasa ada penyesalan dalam hati manakala marah telah terjadi. Menangis, hingga akhirnya saya pun sering berkata,”Mas Qowiyy maafkan bunda ya!” Pun dengan suami.
Hingga suatu peristiwa terjadi. Sang adik baru saja tidur. Lalu sang kakak berkata,”Mas Qowiyy mau bobok.” Suami yang mendengar langsung memegang tangan anak kami dan berkata,”Sama ayah ya, ntar adik bangun. Kasihan!” Maklum, kedua anak kami memang tidur satu kasur karena memang rumah kami kecil. Saya pun menimpali,”Ayo Yah, temani! Ntar Qowiyy usilin adiknya!” Tapi, Qowiyy malah berkata,”Mas Qowiyy mau bobok sendiri.” Suami lagi-lagi memegang tangannya dan merayu kembali agar sang kakak mau tidur ditemani ayahnya.
Lalu, entah mengapa tiba-tiba saya berubah pikiran.
Saya ingin memandang dari sudut lain. Persepsi yang berbeda. Saya ingin percaya bahwa sang kakak bisa bertanggung jawab dengan kata-katanya, bahwa dia ingin tidur sendiri. “Ya udah biarin aja, Ayah!” Bergegas sang kakak naik ke atas tempat tidur dengan pelan. Selanjutnya dia merebahkan badan, bernyanyi pelan sebentar, lalu tertidur.
Melihat sang kakak begitu dada saya langsung bergetar. Anak pertama saya bisa menepati omongannya. Malu rasanya karena telah berprasangka negatif terhadapnya. Suami juga hanya terdiam merenungi kesalahan.
Sang kakak usil terhadap adiknya? Sekarang coba pandang dari sudut yang berlawanan. Jangan anggap anak usil, tapi berpikirlah bahwa sang kakak bertanggung jawab, sayang adik, dsb. Seperti kasus anak saya di atas, membuktikan bahwa orang tua bisa salah menanggapi polah anak. Yang terjadi malah sebaliknya. Anggapan usil coba dihilangkan. Ketika misalkan sang kakak mendorong sang adik ketika merangkak, anggaplah bahwa sang kakak ingin menyemangati adiknya untuk merangkak, bukan disalahartikan bahwa sang kakak ingin membuat adiknya celaka. Tentu, tetap sambil dijaga adiknya oleh kita, namun kata-kata kasar seperti “Ah, Mas Qowiyy kenapa adiknya didorong?” tak perlu kita keluarkan. Kita cukup tersenyum, lalu dengan pelan tetap menasihati sang kakak. “Mas Qowiyy jika ingin menyemangati adik merangkak dengan sorak-sorak yel saja ya!”
Mempercayai memang butuh kemantapan hati. Termasuk mempercayai anak kita terutama yang masih balita. Suatu ketika saya berpesan kepada sang kakak,”Mas, dijaga ya adiknya. Bunda mau mandi sebentar.” Sang kakak pun mengangguk. Tapi, belum selesai saya mandi, suara tangis adiknya sudah menggelegar. Buru-buru saya menyelesaikan mandi. Sesampainya di kamar, saya bertanya,”Adiknya diapain, Mas?” Ups, keceplosan. Langsung saya ganti pertanyaan,”Adiknya kenapa menangis, Mas?” Anak saya, sang kakak menjawab,”Adik nangis, gigit jari.”
Berbeda bukan sensasinya kedua pertanyaan di atas? Saya hanya berharap sang kakak tidak mengingat pertanyaan saya yang pertama. Ya, pertanyaan pertama cenderung menuduh, padahal saya tak melihat sendiri faktanya. Dan anak justru tak keluar kata-katanya untuk membela. Pertanyaan kedua, kejujuran anak malah tertangkap di sana.
Mempercayai memang butuh energi. Apalagi kepada anak kita. Tapi, percayalah! Bahwa mereka adalah anak-anak yang bisa dipercaya.

5 komentar:

  1. ohh selama ini ternyata saya salah, saya cenderung menggunakan kata yang negatif untuk melerai perseteruan antara kaka beradik, subhan Allah, makasih tulisannya bagus banget mbak!

    BalasHapus
  2. Trima kasih sharingnya BUnda. Akan saya ingat selalu jika nanti Hana punya adik.

    BalasHapus
  3. Sae mbk. Anak saya baru,satu. Sudah harus mulai blajar

    BalasHapus
  4. Wah, benar juga ya.. Berhusnuzon memang harus dilatih, tidak mudah menerapkannya. Terimakasih pelajaran berharganya Bu Henny :)

    BalasHapus
  5. saya juga terus belajar ibu-ibu untuk senantiasa berprasangka positif kepada anak. moga Allah membimbing kita semua

    BalasHapus