Ini sebuah pengalaman yang membuat saya tertegun. Kehadiran
seorang adik bagi anak pertama saya ternyata membawa peristiwa yang senantiasa
membuat saya belajar, belajar, dan terus belajar sebagai orang tua. Pasalnya
kisah tentang persaingan kakak adik, pertengkaran di antara keduanya sering
mewarnai perjalanan hidup orang tua mendidik anak-anaknya.
“Gimana, mas Qowiyy dah usilin adiknya belum?”
Pertanyaan di atas pernah saya terima dari SMS yang
dikirimkan seorang teman saya. Usil? Apakah definisi usil? Apakah usil itu
berarti sang kakak yang diam-diam menggigit tangan adiknya? Atau usil itu
mendorong adiknya yang sedang belajar merayap/merangkak? O,o, kata usil ini
pula yang ternyata langsung membius saya untuk percaya. Ya, sang kakak memang
suka usil terhadap adiknya hingga terkadang kemarahan sering tersulut
karenanya.
Namun, senantiasa ada penyesalan dalam hati manakala marah
telah terjadi. Menangis, hingga akhirnya saya pun sering berkata,”Mas Qowiyy
maafkan bunda ya!” Pun dengan suami.
Hingga suatu peristiwa terjadi. Sang adik baru saja tidur.
Lalu sang kakak berkata,”Mas Qowiyy mau bobok.” Suami yang mendengar langsung
memegang tangan anak kami dan berkata,”Sama ayah ya, ntar adik bangun. Kasihan!”
Maklum, kedua anak kami memang tidur satu kasur karena memang rumah kami kecil.
Saya pun menimpali,”Ayo Yah, temani! Ntar Qowiyy usilin adiknya!” Tapi, Qowiyy
malah berkata,”Mas Qowiyy mau bobok sendiri.” Suami lagi-lagi memegang
tangannya dan merayu kembali agar sang kakak mau tidur ditemani ayahnya.
Lalu, entah mengapa tiba-tiba saya berubah pikiran.
Saya ingin memandang dari sudut lain. Persepsi yang berbeda. Saya ingin percaya bahwa sang kakak bisa bertanggung jawab dengan kata-katanya, bahwa dia ingin tidur sendiri. “Ya udah biarin aja, Ayah!” Bergegas sang kakak naik ke atas tempat tidur dengan pelan. Selanjutnya dia merebahkan badan, bernyanyi pelan sebentar, lalu tertidur.
Saya ingin memandang dari sudut lain. Persepsi yang berbeda. Saya ingin percaya bahwa sang kakak bisa bertanggung jawab dengan kata-katanya, bahwa dia ingin tidur sendiri. “Ya udah biarin aja, Ayah!” Bergegas sang kakak naik ke atas tempat tidur dengan pelan. Selanjutnya dia merebahkan badan, bernyanyi pelan sebentar, lalu tertidur.
Melihat sang kakak begitu dada saya langsung bergetar. Anak
pertama saya bisa menepati omongannya. Malu rasanya karena telah berprasangka negatif
terhadapnya. Suami juga hanya terdiam merenungi kesalahan.
Sang kakak usil terhadap adiknya? Sekarang coba pandang dari
sudut yang berlawanan. Jangan anggap anak usil, tapi berpikirlah bahwa sang
kakak bertanggung jawab, sayang adik, dsb. Seperti kasus anak saya di atas,
membuktikan bahwa orang tua bisa salah menanggapi polah anak. Yang terjadi
malah sebaliknya. Anggapan usil coba dihilangkan. Ketika misalkan sang kakak mendorong
sang adik ketika merangkak, anggaplah bahwa sang kakak ingin menyemangati
adiknya untuk merangkak, bukan disalahartikan bahwa sang kakak ingin membuat
adiknya celaka. Tentu, tetap sambil dijaga adiknya oleh kita, namun kata-kata
kasar seperti “Ah, Mas Qowiyy kenapa adiknya didorong?” tak perlu kita
keluarkan. Kita cukup tersenyum, lalu dengan pelan tetap menasihati sang kakak.
“Mas Qowiyy jika ingin menyemangati adik merangkak dengan sorak-sorak yel saja
ya!”
Mempercayai memang butuh kemantapan hati. Termasuk mempercayai
anak kita terutama yang masih balita. Suatu ketika saya berpesan kepada sang
kakak,”Mas, dijaga ya adiknya. Bunda mau mandi sebentar.” Sang kakak pun
mengangguk. Tapi, belum selesai saya mandi, suara tangis adiknya sudah
menggelegar. Buru-buru saya menyelesaikan mandi. Sesampainya di kamar, saya
bertanya,”Adiknya diapain, Mas?” Ups, keceplosan. Langsung saya ganti
pertanyaan,”Adiknya kenapa menangis, Mas?” Anak saya, sang kakak menjawab,”Adik
nangis, gigit jari.”
Berbeda bukan sensasinya kedua pertanyaan di atas? Saya
hanya berharap sang kakak tidak mengingat pertanyaan saya yang pertama. Ya,
pertanyaan pertama cenderung menuduh, padahal saya tak melihat sendiri
faktanya. Dan anak justru tak keluar kata-katanya untuk membela. Pertanyaan kedua,
kejujuran anak malah tertangkap di sana.
Mempercayai memang butuh energi. Apalagi kepada anak kita.
Tapi, percayalah! Bahwa mereka adalah anak-anak yang bisa dipercaya.
ohh selama ini ternyata saya salah, saya cenderung menggunakan kata yang negatif untuk melerai perseteruan antara kaka beradik, subhan Allah, makasih tulisannya bagus banget mbak!
BalasHapusTrima kasih sharingnya BUnda. Akan saya ingat selalu jika nanti Hana punya adik.
BalasHapusSae mbk. Anak saya baru,satu. Sudah harus mulai blajar
BalasHapusWah, benar juga ya.. Berhusnuzon memang harus dilatih, tidak mudah menerapkannya. Terimakasih pelajaran berharganya Bu Henny :)
BalasHapussaya juga terus belajar ibu-ibu untuk senantiasa berprasangka positif kepada anak. moga Allah membimbing kita semua
BalasHapus