Perjalanan kali
ini menuju sebuah sekolah masuk hampir di pelosok. Melalui jalanan dengan tanah
berkapur menyebabkan mata ini tak sedap memandang hamparan sawah di kanan
kirinya. Berdebu dan beterbangan ketika satu kendaraan bermotor saja lewat.
Jalanannya pun goyang-goyang hingga dudukku tak pernah nyaman. Tapi, itu
pengalaman betapa hidup tak selalu datar.
Memasuki sekolah
aku buru-buru masuk ke kelas tempat aku melakukan supervisi. Guru-guru yang
lugu zaman dulu masih ada potretnya di sana. Anak-anaknya diam (ehm, emang diam
manut atau diam takut belum bisa dideteksi), pembelajarannya full of teacher. Tapi, syukurlah masih
ada seorang guru lagi yang sudah berani keluar dari zona nyamannya.
Menyenangkan.
Tiga jam sudah
berlalu hingga adzan dhuhur memanggil. Aku bersegera membasuh anggota tubuhku,
menenteng mukena lengkap dengan sajadahnya.
”Shalatnya di mana
Pak?” tanya temanku.
”Di mushala,
tunggu sebentar Bu, masih dipakai anak-anak,” Kepala Sekolah berujar.
Memang, saat aku
wudhu, nampak bahwa mushala dipadati anak-anak laki-laki. Shalat berjamaah
dengan salah satu gurunya. Maka aku dan temanku pun menunggu di sepenggal
waktu. Hingga tiba saatnya....
”Astagfirullahal
adzim!” sahutku.
Temanku hanya
geleng-geleng kepala. Mushala
tak layak sama sekali disebut rumah Tuhan (Allah). Banyak putung rokok di
dalamnya, berserakan. Tak hanya di pojok, bahkan di tempat imam memimpin shalat
pun ada batang-batang bekas hisapannya. Berdebu, hitam jika disentuh jari saja.
Duh! Bagaimana mau khusyuk shalat kalau begini jadinya? Bagaimana bisa suci dan
bersih menghadap Tuhan (Allah) jika sekitarnya saja tidak bersih? Tuhan (Allah)
seolah-olah nomor dua di sana. Bagaimana tidak? Guru-gurunya saja tampil necis.
Rapi, menampilkan sosok anggun dan gantengnya di depan siswa-siswanya. Pun,
kelasnya ditata rapi, dipajangi tulisan-tulisan menarik di antara
tembok-temboknya. Bahkan ada satu tulisan di sana ”Kebersihan sebagian dari
iman”. Besar! Tapi, mengapa mushala seperti itu? Sungguh, aku melihat Tuhan
(Allah) dinomorduakan di sana. Miris. Mengurut dada. Tak semestinya ada di
sebuah sekolah yang membanggakan kualitas agamanya.
Sungguh, PR yang
masih ada ini adalah tanggung jawab umat semuanya. (Surabaya, 26 Juli 2008, catatan usang yang tak terlupakan)
oohh hebat mbak, saya mau nyontek ahhh!!
BalasHapusmiris sebenarnya kalau melihat tempat ibadah dan jg toilet umum yg begitu kotor pdhl sebagai negara yg mayoritasnya muslim tahu bahwa " Kebersihan itu sebagian daripada Iman ", nice posting mbak Henny
BalasHapus