Sabtu, 23 Februari 2013

Tuhan Nomor Dua


Perjalanan kali ini menuju sebuah sekolah masuk hampir di pelosok. Melalui jalanan dengan tanah berkapur menyebabkan mata ini tak sedap memandang hamparan sawah di kanan kirinya. Berdebu dan beterbangan ketika satu kendaraan bermotor saja lewat. Jalanannya pun goyang-goyang hingga dudukku tak pernah nyaman. Tapi, itu pengalaman betapa hidup tak selalu datar.
Memasuki sekolah aku buru-buru masuk ke kelas tempat aku melakukan supervisi. Guru-guru yang lugu zaman dulu masih ada potretnya di sana. Anak-anaknya diam (ehm, emang diam manut atau diam takut belum bisa dideteksi), pembelajarannya full of teacher. Tapi, syukurlah masih ada seorang guru lagi yang sudah berani keluar dari zona nyamannya. Menyenangkan.
Tiga jam sudah berlalu hingga adzan dhuhur memanggil. Aku bersegera membasuh anggota tubuhku, menenteng mukena lengkap dengan sajadahnya.
”Shalatnya di mana Pak?” tanya temanku.
”Di mushala, tunggu sebentar Bu, masih dipakai anak-anak,” Kepala Sekolah berujar.
Memang, saat aku wudhu, nampak bahwa mushala dipadati anak-anak laki-laki. Shalat berjamaah dengan salah satu gurunya. Maka aku dan temanku pun menunggu di sepenggal waktu. Hingga tiba saatnya....
”Astagfirullahal adzim!” sahutku.
Temanku hanya geleng-geleng kepala. Mushala tak layak sama sekali disebut rumah Tuhan (Allah). Banyak putung rokok di dalamnya, berserakan. Tak hanya di pojok, bahkan di tempat imam memimpin shalat pun ada batang-batang bekas hisapannya. Berdebu, hitam jika disentuh jari saja. Duh! Bagaimana mau khusyuk shalat kalau begini jadinya? Bagaimana bisa suci dan bersih menghadap Tuhan (Allah) jika sekitarnya saja tidak bersih? Tuhan (Allah) seolah-olah nomor dua di sana. Bagaimana tidak? Guru-gurunya saja tampil necis. Rapi, menampilkan sosok anggun dan gantengnya di depan siswa-siswanya. Pun, kelasnya ditata rapi, dipajangi tulisan-tulisan menarik di antara tembok-temboknya. Bahkan ada satu tulisan di sana ”Kebersihan sebagian dari iman”. Besar! Tapi, mengapa mushala seperti itu? Sungguh, aku melihat Tuhan (Allah) dinomorduakan di sana. Miris. Mengurut dada. Tak semestinya ada di sebuah sekolah yang membanggakan kualitas agamanya.
Sungguh, PR yang masih ada ini adalah tanggung jawab umat semuanya. (Surabaya, 26 Juli 2008, catatan usang yang tak terlupakan)

2 komentar:

  1. oohh hebat mbak, saya mau nyontek ahhh!!

    BalasHapus
  2. miris sebenarnya kalau melihat tempat ibadah dan jg toilet umum yg begitu kotor pdhl sebagai negara yg mayoritasnya muslim tahu bahwa " Kebersihan itu sebagian daripada Iman ", nice posting mbak Henny

    BalasHapus