“Jahe, mengapa engkau
bersedih?”tanya Lengkuas ketika mereka dalam sebuah panci yang terpanggang di
atas api. Air yang mendidih membolak-balikkan tubuh keduanya hingga saatnya
terung ungu dan kacang panjang bergantian masuk, bertemu dengan mereka.
“Manusia itu kejam ya?”sahut Jahe
seketika.
“Maksudmu apa, Jahe?”Lengkuas
bingung sambil terus merasa kepanasan berada dalam ramuan sayur lodeh buatan Bu
Patri. Tentu, ada cabe rawit lebih dari 10 juga berada dalam panci tersebut,
dihaluskan bersama bawang merah dan bawang putih.
“Tapi dari geprekkan itu kan muncul
kekhasan bau kita, Jahe! Itu kan yang bikin sayur lodeh Bu Patri selalu
beraroma lezat? Laris lagi jualannya beliau!”Lengkuas berusaha menghibur.
“Ah, tapi manusia tetap saja kejam
pada kita berdua. Juga kejam sama si daun salam!”
“Ah, itu hanya perasaanmu saja,
Jahe!”Lengkuas kemudian diam sambil terus menari-nari girang di dalam sayur
yang tinggal dimasukkan santan. Sebentar lagi matang dan siap dihidangkan bagi
pembeli yang hampir selalu mengikutkan sayur lodeh ini bersama nasi untuk makan
siang mereka.
Jahe dan Lengkuas, tak dipungkiri,
memang jadi bagian tak terpisahkan dari resep sayur lodeh Bu Patri. Sebenarnya
ada Kunyit, namun jahe menganggap bahwa nasib yang menimpa Kunyit tak lebih
buruk dari nasibnya dan Lengkuas. Sayangnya, Lengkuas malah tak merasa senasib
dengannya. Tak ada kawan sepenanggungan.
Tiap hari, Jahe dan Lengkuas tak
pernah absen dimasak Bu Patri. Bahkan, tak hanya untuk sayur lodeh. Kadang
dalam masakan yang sama, kadang mereka terpisah dalam menu yang berbeda. Namun,
Jahe tetap saja mengeluh. Manusia kejam terhadapnya.
“Jahe, senyum dong!”pinta Lengkuas
membuka pembicaraan lagi ketika panci sudah diangkat dari kompor.
“Enak aja nyuruh senyum. Kamu nggak
merasa sakit hati apa, Lengkuas?”tanya Jahe sewot.
“Nggak tuh. Bahkan aku merasa
gembira,”teriak Lengkuas.
Jahe menggeleng tanda tak paham.
Lengkuas gembira? Aneh, padahal tiap hari mereka disiksa. Mulai dari dikuliti,
digeprek pakai uleg-an, dimasukkan dalam air mendidih, diaduk-aduk, sampai
sayur habis barulah mereka dibuang begitu saja di kantong plastik tempat
sampah.
“Aku nggak terima. Aku ingin tumbuh
bebas di tanah saja. Itu duniaku,”pikir Jahe dalam hati sambil terus
menggerutu. Dari awal hingga akhirnya di tempat sampah. Tentu, tetap bersama
Lengkuas.
“Dor! Jahe, memang apa sih
masalahnya?”Lengkuas mengageti Jahe.
“Sungguh Lengkuas, aku tak suka sama
manusia. Terutama Bu Patri dan pembeli sayur lodeh tempat kita dijadikan bumbu
masakan. Mereka mengambil apa yang kita punya, namun pada akhirnya mereka
membuang kita. Coba saja, jika kita secara tak sengaja kita nyangkut di piring
mereka, mereka pun menyisihkan kita. Tak tanggung-tanggung mereka langsung
membuang kita di tempat sampah. Bu Patri? Alah, dia juga sama. Ketika sayurnya
habis dan yang tersisa tinggal kita, maka tempat sampahlah tempat istirahat
kita. Bayangkan! Habis manis sepah dibuang kan?”Jahe menjelaskan dengan
berapi-api. Meluap emosinya.
“Oalah, gitu to?Paham, paham,
paham,”Lengkuas menanggapi dengan tenang.
“Nah lho! Benar kan kata aku?”Jahe
langsung menimpali.
“Jahe, coba pikirkan, apa artinya
dirimu jika tak ada Bu Patri yang membayarmu di pasar lalu memasakmu bersama
bumbu-bumbu yang lain?”
“Ya aku akan tetap ada di
pasar,”jawab Jahe singkat.
“Kalau tidak ada juga yang membeli?”
“Ya lama-lama aku akan kering, lalu
busuk,”Jahe menjawab lagi dengan mantap.
“Kamu ingin kering dan busuk tanpa
ada sesuatu apa pun yang bisa diambil manfaatnya darimu? Kamu ingin mati tanpa
pernah bersedekah sedikit pun? Itu masih untung lho Jahe, petani mau memanenmu
dan membawamu ke pasar hingga pedagang mau menjualmu. Kalau kamu hanya terus di
tanah, apa yang bisa kamu lakukan?”Lengkuas berusaha meluruskan pikiran Jahe
yang konslet akhir-akhir ini.
“Iya juga sih. Tapi aku tetap nggak
suka!”Jahe melakukan pembelaan.
“Bukankah melihat orang lain gembira
karena diri kita adalah sesuatu yang menyenangkan? Meski akhirnya di tempat
sampah, bukankah kita sudah menorah sejarah? Ya, bermanfaat bagi yang lainnya.
Manusia juga akan mati. Di kuburan gelap, ada cacing. Tapi manusia yang
bermanfaat tetap lebih beruntung karena amal baik mereka. Betul, bukan?”tanya
Lengkuas.
Jahe mengangguk. Semestinya dia tak
perlu menyesal mengapa harus berada dalam panci berisi sayur lodeh. Buatan Bu
Patri, yang sebenarnya justru karena jasa beliau aroma khasnya yang segar dan
menghangatkan bisa menjadikan pembeli tertarik mampir dan menyantap sayur lodeh
dimana dirinya berada. Jahe berjanji, mulai sekarang akan selalu riang. Karena
dirinya bisa menyumbang meski akhirnya dibuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar