Minggu, 03 Februari 2013

Taubat Sang "Jahe"


            “Jahe, mengapa engkau bersedih?”tanya Lengkuas ketika mereka dalam sebuah panci yang terpanggang di atas api. Air yang mendidih membolak-balikkan tubuh keduanya hingga saatnya terung ungu dan kacang panjang bergantian masuk, bertemu dengan mereka.
            “Manusia itu kejam ya?”sahut Jahe seketika.
            “Maksudmu apa, Jahe?”Lengkuas bingung sambil terus merasa kepanasan berada dalam ramuan sayur lodeh buatan Bu Patri. Tentu, ada cabe rawit lebih dari 10 juga berada dalam panci tersebut, dihaluskan bersama bawang merah dan bawang putih.
            “Bayangkan saja, tiap hari kita digeprek. Kan sakit?”


            “Tapi dari geprekkan itu kan muncul kekhasan bau kita, Jahe! Itu kan yang bikin sayur lodeh Bu Patri selalu beraroma lezat? Laris lagi jualannya beliau!”Lengkuas berusaha menghibur.
            “Ah, tapi manusia tetap saja kejam pada kita berdua. Juga kejam sama si daun salam!”
            “Ah, itu hanya perasaanmu saja, Jahe!”Lengkuas kemudian diam sambil terus menari-nari girang di dalam sayur yang tinggal dimasukkan santan. Sebentar lagi matang dan siap dihidangkan bagi pembeli yang hampir selalu mengikutkan sayur lodeh ini bersama nasi untuk makan siang mereka.
            Jahe dan Lengkuas, tak dipungkiri, memang jadi bagian tak terpisahkan dari resep sayur lodeh Bu Patri. Sebenarnya ada Kunyit, namun jahe menganggap bahwa nasib yang menimpa Kunyit tak lebih buruk dari nasibnya dan Lengkuas. Sayangnya, Lengkuas malah tak merasa senasib dengannya. Tak ada kawan sepenanggungan.
            Tiap hari, Jahe dan Lengkuas tak pernah absen dimasak Bu Patri. Bahkan, tak hanya untuk sayur lodeh. Kadang dalam masakan yang sama, kadang mereka terpisah dalam menu yang berbeda. Namun, Jahe tetap saja mengeluh. Manusia kejam terhadapnya.
            “Jahe, senyum dong!”pinta Lengkuas membuka pembicaraan lagi ketika panci sudah diangkat dari kompor.
            “Enak aja nyuruh senyum. Kamu nggak merasa sakit hati apa, Lengkuas?”tanya Jahe sewot.
            “Nggak tuh. Bahkan aku merasa gembira,”teriak Lengkuas.
            Jahe menggeleng tanda tak paham. Lengkuas gembira? Aneh, padahal tiap hari mereka disiksa. Mulai dari dikuliti, digeprek pakai uleg-an, dimasukkan dalam air mendidih, diaduk-aduk, sampai sayur habis barulah mereka dibuang begitu saja di kantong plastik tempat sampah.
            “Aku nggak terima. Aku ingin tumbuh bebas di tanah saja. Itu duniaku,”pikir Jahe dalam hati sambil terus menggerutu. Dari awal hingga akhirnya di tempat sampah. Tentu, tetap bersama Lengkuas.
            “Dor! Jahe, memang apa sih masalahnya?”Lengkuas mengageti Jahe.
            “Sungguh Lengkuas, aku tak suka sama manusia. Terutama Bu Patri dan pembeli sayur lodeh tempat kita dijadikan bumbu masakan. Mereka mengambil apa yang kita punya, namun pada akhirnya mereka membuang kita. Coba saja, jika kita secara tak sengaja kita nyangkut di piring mereka, mereka pun menyisihkan kita. Tak tanggung-tanggung mereka langsung membuang kita di tempat sampah. Bu Patri? Alah, dia juga sama. Ketika sayurnya habis dan yang tersisa tinggal kita, maka tempat sampahlah tempat istirahat kita. Bayangkan! Habis manis sepah dibuang kan?”Jahe menjelaskan dengan berapi-api. Meluap emosinya.
            “Oalah, gitu to?Paham, paham, paham,”Lengkuas menanggapi dengan tenang.
            “Nah lho! Benar kan kata aku?”Jahe langsung menimpali.
            “Jahe, coba pikirkan, apa artinya dirimu jika tak ada Bu Patri yang membayarmu di pasar lalu memasakmu bersama bumbu-bumbu yang lain?”
            “Ya aku akan tetap ada di pasar,”jawab Jahe singkat.
            “Kalau tidak ada juga yang membeli?”
            “Ya lama-lama aku akan kering, lalu busuk,”Jahe menjawab lagi dengan mantap.
            “Kamu ingin kering dan busuk tanpa ada sesuatu apa pun yang bisa diambil manfaatnya darimu? Kamu ingin mati tanpa pernah bersedekah sedikit pun? Itu masih untung lho Jahe, petani mau memanenmu dan membawamu ke pasar hingga pedagang mau menjualmu. Kalau kamu hanya terus di tanah, apa yang bisa kamu lakukan?”Lengkuas berusaha meluruskan pikiran Jahe yang konslet akhir-akhir ini.
            “Iya juga sih. Tapi aku tetap nggak suka!”Jahe melakukan pembelaan.
            “Bukankah melihat orang lain gembira karena diri kita adalah sesuatu yang menyenangkan? Meski akhirnya di tempat sampah, bukankah kita sudah menorah sejarah? Ya, bermanfaat bagi yang lainnya. Manusia juga akan mati. Di kuburan gelap, ada cacing. Tapi manusia yang bermanfaat tetap lebih beruntung karena amal baik mereka. Betul, bukan?”tanya Lengkuas.
            Jahe mengangguk. Semestinya dia tak perlu menyesal mengapa harus berada dalam panci berisi sayur lodeh. Buatan Bu Patri, yang sebenarnya justru karena jasa beliau aroma khasnya yang segar dan menghangatkan bisa menjadikan pembeli tertarik mampir dan menyantap sayur lodeh dimana dirinya berada. Jahe berjanji, mulai sekarang akan selalu riang. Karena dirinya bisa menyumbang meski akhirnya dibuang.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar