Jumat, 22 Februari 2013

Ssst, Diamlah!


Diam berarti emas. Peribahasa ini ada benarnya juga jika kita mampu mendalami filosofinya secara mendalam.Tak sekedar diajarkan dalam kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia, atau menjadi kata mutiara pajangan dinding semata. Ibuku pun mengajarkankan padaku, dulu ketika aku masih SMP dan masih membekas jejak petuahnya sampai sekarang.
Suatu hari, tentu ketika aku masih SMP saat itu, aku bercerita tentang kisah teman-temanku di sekolah kepada ibuku. Ibuku mendengarkan dengan baik. Setelah selesai bercerita, wanita mulia yang melahirkanku inipun bertanya,”Ceritamu bagus. E, tapi apakah ibu kenal dengan teman-temanmu?” Aku menggeleng tanda benar. Lalu, ibu melanjutkan,”Apakah cerita itu ada manfaatnya untuk ibu?” Aku pun berkata,”Nggak ada.” Ibu pun berkata,”Lain kali berkatalah yang perlu saja dan sekiranya orang lain mampu memahami dan mengambil manfaatnya.” Kira-kira begitu nasihat ibuku jika harus kuubah ke dalam Bahasa Indonesia (ketika itu kita berdua berdialog dengan Bahasa Jawa).
Memang, mungkin sikap ibuku terlalu berlebihan karena seolah-olah nampak kurang senang dengan apa yang aku ceritakan. Padahal, jika peristiwa itu terjadi di zaman sekarang, itu justru lebih baik karena memberikan peluang kepada anak untuk mengungkapkan perasaannya, menggali potensi kecerdasan linguistiknya, atau meskipun hanya untuk menambah kedekatan antara anak dan oang tuanya. Namun, ketika itu aku mengambil hikmah dari sisi yang lain.
Masih terngiang juga di telingaku petuah berharga lainnya yang masih berhubungan tentang bagaimana seharusnya mulut ini tetap terjaga.


“Bicara lebih dari 30 kata sekali ngomong, hati-hati, biasanya ngelantur bahkan sia-sia.”
O, o, pikirku saat itu,”Masak sih ngomong ja pakai dihitung berapa kata yang diucapin. Kurang kerjaan amat!” Hanya dalam hati.
Namun, lama kurenungkan, aku cermati dalam sisi sanubari, nasihat-nasihat itu tak ada yang merah nilainya. Dari sudut pandang lain. Ketika manusia bisa menahan mulutnya dari berbicara yang berlebihan, ternyata memang lebih selamat. Makanya,diam itu emas. Ketika manusia bisa berucap yang bermanfaat saja, ternyata juga lebih tepat sasaran. Ya, peristiwa tatkala aku mahasiswa pun bisa menjadi cambuk yang luar biasa ketika aku bicara yang tak ada gunanya, meskipun itu tak sampai 30 kata.
“Indi, katanya mau nyuci,”kataku siang itu di kamar kos yang diisi 5 mahasiswa. Namun, kebetulan saat itu ada 4 orang saja. Indi adalah teman satu jurusan di matematika.
“Ngapain sih kamu ngomong gitu? Sepertinya kamu nyuruh aku ya untuk buru-buru nyuci?”sahut Indi agak sewot.
Aku terbelalak kaget. Tak ada maksudku seperti itu atau lebih tepatnya sebenarnya aku tak punya kepentingan apapun apakah Indi mau mencuci atau tidak. Tapi, mulutku keceplosan. Alhasil, kami pun saling diam tak menyapa selama 3 hari. Aku bingung, tak suka kalau harus sampai begini. Segala cara aku lakukan agar Indi bisa memaafkanku.
Begitulah, lisan terkadang menggelincirkan. Banyak arena licin yang bisa menjadikan mulut mengeluarkan kalimat tak membawa pesan. Asal keluar tanpa melalui proses penyaringan. Akibatnya, sering timbul salah paham yang ujungnya adalah ketidakharmonian hubungan.
Ketika itu aku lupa dengan nasihat ibuku dan sejak saat itu aku mulai berhati-hati. Apalagi ketika aku memasuki dunia kerja yang menuntutku untuk berbicara kepada banyak orang. Profesi trainer yang selalu membuka peluang mulut untuk terbuka ini, membutuhkan puluhan bahkan ribuan energi agar berbicara yang selayaknya saja sesuai dengan tugas trainer itu sendiri. Tak mudah memang agar lisan ini tak sia-sia.
Di kantor pun, misal ketika rapat, pertama yang aku lakukan adalah berusaha menjadi pendengar setia, yang aktif menyimak kata demi kata. Jika memang diperlukan untuk memberi ide, aku baru angkat bicara.
Tiga puluh kata, sebenarnya bukan batas ideal yang tepat untuk melihat apakah manusia memang harus berhati-hati mengendalikan mulutnya. Buktinya, kurang dari itu juga bisa mengiris hati orang lain. Bagaimana bila banyak? Belum tentu juga. Namun, ada benang merah yang jelas di sini. Berapapun kata yang kita ucapkan hendaknya kita takar dulu nilai manfaatnya, nilai kebaikannya.Kita adakan flash back kepada diri kita sendiri seandainya itu terucap untuk kita. Lalu, bayangkan rasanya.
Diam. Sungguh dahsyat kata ini. Mengapa manusia diberi satu mulut, lebih sedikit dibanding dengan dua telinga? Ada maksudnya. Manusia hendaklah menjadi satpam atas mulutnya.  
Nasihat ibuku sungguh takkan pernah kulupa. Tak ada ruginya ketika manusia berusaha mengunci mulutnya agar tak sembarangan menganga. Menjadi pendiam memang terkadang terlihat aneh, apalagi jika kita berada di kumpulan banyak orang. Namun, justru dengan diam tak ada pertengkaran. Tak pula menurun harkat dan martabat manusia.
Diam adalah ibadah tanpa harus lelah melakukannya. Jika ingin menghiasi diri hiasilah dengan diam. Dengan diam, pintu keburukan bisa ditutup dan hasilnya malaikat pencatat amal keburukan bisa banyak menganggur.
Sssst, diamlah! Bukan berarti manusia tak boleh bicara, namun bicara dalam porsi sewajarnya saja. Membuka mulut dalam kendali kata-kata agar hati merasa nyaman karenanya.
Sssst, diamlah! Ibuku, petuahmu begitu berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar