Diam
berarti emas. Peribahasa ini ada benarnya juga jika kita mampu mendalami filosofinya
secara mendalam.Tak sekedar diajarkan dalam kegiatan belajar mengajar Bahasa
Indonesia, atau menjadi kata mutiara pajangan dinding semata. Ibuku pun
mengajarkankan padaku, dulu ketika aku masih SMP dan masih membekas jejak
petuahnya sampai sekarang.
Suatu
hari, tentu ketika aku masih SMP saat itu, aku bercerita tentang kisah
teman-temanku di sekolah kepada ibuku. Ibuku mendengarkan dengan baik. Setelah
selesai bercerita, wanita mulia yang melahirkanku inipun bertanya,”Ceritamu
bagus. E, tapi apakah ibu kenal dengan teman-temanmu?” Aku menggeleng tanda
benar. Lalu, ibu melanjutkan,”Apakah cerita itu ada manfaatnya untuk ibu?” Aku
pun berkata,”Nggak ada.” Ibu pun berkata,”Lain kali berkatalah yang perlu saja
dan sekiranya orang lain mampu memahami dan mengambil manfaatnya.” Kira-kira
begitu nasihat ibuku jika harus kuubah ke dalam Bahasa Indonesia (ketika itu
kita berdua berdialog dengan Bahasa Jawa).
Memang,
mungkin sikap ibuku terlalu berlebihan karena seolah-olah nampak kurang senang
dengan apa yang aku ceritakan. Padahal, jika peristiwa itu terjadi di zaman
sekarang, itu justru lebih baik karena memberikan peluang kepada anak untuk
mengungkapkan perasaannya, menggali potensi kecerdasan linguistiknya, atau
meskipun hanya untuk menambah kedekatan antara anak dan oang tuanya. Namun,
ketika itu aku mengambil hikmah dari sisi yang lain.
Masih
terngiang juga di telingaku petuah berharga lainnya yang masih berhubungan
tentang bagaimana seharusnya mulut ini tetap terjaga.
“Bicara
lebih dari 30 kata sekali ngomong, hati-hati, biasanya ngelantur bahkan
sia-sia.”
O,
o, pikirku saat itu,”Masak sih ngomong ja pakai dihitung berapa kata yang
diucapin. Kurang kerjaan amat!” Hanya dalam hati.
Namun,
lama kurenungkan, aku cermati dalam sisi sanubari, nasihat-nasihat itu tak ada
yang merah nilainya. Dari sudut pandang lain. Ketika manusia bisa menahan
mulutnya dari berbicara yang berlebihan, ternyata memang lebih selamat.
Makanya,diam itu emas. Ketika manusia bisa berucap yang bermanfaat saja,
ternyata juga lebih tepat sasaran. Ya, peristiwa tatkala aku mahasiswa pun bisa
menjadi cambuk yang luar biasa ketika aku bicara yang tak ada gunanya, meskipun
itu tak sampai 30 kata.
“Indi,
katanya mau nyuci,”kataku siang itu di kamar kos yang diisi 5 mahasiswa. Namun,
kebetulan saat itu ada 4 orang saja. Indi adalah teman satu jurusan di
matematika.
“Ngapain
sih kamu ngomong gitu? Sepertinya kamu nyuruh aku ya untuk buru-buru
nyuci?”sahut Indi agak sewot.
Aku
terbelalak kaget. Tak ada maksudku seperti itu atau lebih tepatnya sebenarnya
aku tak punya kepentingan apapun apakah Indi mau mencuci atau tidak. Tapi,
mulutku keceplosan. Alhasil, kami pun saling diam tak menyapa selama 3 hari.
Aku bingung, tak suka kalau harus sampai begini. Segala cara aku lakukan agar
Indi bisa memaafkanku.
Begitulah,
lisan terkadang menggelincirkan. Banyak arena licin yang bisa menjadikan mulut
mengeluarkan kalimat tak membawa pesan. Asal keluar tanpa melalui proses
penyaringan. Akibatnya, sering timbul salah paham yang ujungnya adalah ketidakharmonian
hubungan.
Ketika
itu aku lupa dengan nasihat ibuku dan sejak saat itu aku mulai berhati-hati.
Apalagi ketika aku memasuki dunia kerja yang menuntutku untuk berbicara kepada
banyak orang. Profesi trainer yang selalu membuka peluang mulut untuk terbuka
ini, membutuhkan puluhan bahkan ribuan energi agar berbicara yang selayaknya
saja sesuai dengan tugas trainer itu sendiri. Tak mudah memang agar lisan ini
tak sia-sia.
Di
kantor pun, misal ketika rapat, pertama yang aku lakukan adalah berusaha menjadi
pendengar setia, yang aktif menyimak kata demi kata. Jika memang diperlukan
untuk memberi ide, aku baru angkat bicara.
Tiga
puluh kata, sebenarnya bukan batas ideal yang tepat untuk melihat apakah
manusia memang harus berhati-hati mengendalikan mulutnya. Buktinya, kurang dari
itu juga bisa mengiris hati orang lain. Bagaimana bila banyak? Belum tentu
juga. Namun, ada benang merah yang jelas di sini. Berapapun kata yang kita
ucapkan hendaknya kita takar dulu nilai manfaatnya, nilai kebaikannya.Kita adakan
flash back kepada diri kita sendiri
seandainya itu terucap untuk kita. Lalu, bayangkan rasanya.
Diam.
Sungguh dahsyat kata ini. Mengapa manusia diberi satu mulut, lebih sedikit
dibanding dengan dua telinga? Ada maksudnya. Manusia hendaklah menjadi satpam
atas mulutnya.
Nasihat
ibuku sungguh takkan pernah kulupa. Tak ada ruginya ketika manusia berusaha
mengunci mulutnya agar tak sembarangan menganga. Menjadi pendiam memang
terkadang terlihat aneh, apalagi jika kita berada di kumpulan banyak orang.
Namun, justru dengan diam tak ada pertengkaran. Tak pula menurun harkat dan
martabat manusia.
Diam
adalah ibadah tanpa harus lelah melakukannya. Jika ingin menghiasi diri
hiasilah dengan diam. Dengan diam, pintu keburukan bisa ditutup dan hasilnya
malaikat pencatat amal keburukan bisa banyak menganggur.
Sssst,
diamlah! Bukan berarti manusia tak boleh bicara, namun bicara dalam porsi
sewajarnya saja. Membuka mulut dalam kendali kata-kata agar hati merasa nyaman
karenanya.
Sssst, diamlah! Ibuku, petuahmu begitu berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar