“Eh, Bibi sedang buat gambar kuda ya?”
tanya Pras ketika usianya 4 tahun.
“Iya, ada apa?”
“Ehm, mengapa kuda kakinya 4?”
“Ya emang Allah ngasihnya 4, biar bisa
lari kencang. Kalau kakinya 2 bukan kuda, tapi ayam.”
“Lalu, mengapa Allah nggak adil kasih
ayam kakinya cuma 2?”
“Nggak, Allah adil kok. Karena ayam
berbeda dengan kuda. Kalau kakinya 4 jadi ayam aneh.”
“Mengapa aneh?”
Bibinya Pras kelimpungan menjawab.
Pertanyaan “mengapa” membuatnya harus sedikit memeras otak. Padahal dari anak
kecil.
O, o. Mulai sekarang berhentilah menganggap
bahwa anak kecil hanyalah sebatas anak kecil saja. Anak yang polos, putih, tak
tahu dan tak mau tahu dengan yang terjadi di sekelilingnya. Tidak. Anak bisa
bertingkah sebaliknya. Rasa ingin tahunya yang besar seolah tak terbendung.
Ingin mencoba apa saja, mau bertanya apa saja. Ini harus didukung, bahkan
distimulus agar perkembangan berpikir anak bisa melejit bagai roket menuju
angkasa. Bagaimana caranya?
Pertama,
rangsang visual anak dengan gambar-gambar di rumah. Bisa ditempel di
dinding-dinding, atau dengan memperbanyak buku bergambar dan berwarna di
perpustakaan rumah. Biasanya anak akan memulai pertanyaannya,”Ini apa ayah? Ini
apa bunda?” Namun, sekali Anda menjawab maka akan memunculkan pertanyaan
berikutnya. Salah satunya melibatkan kata “mengapa”. Teruslah berusaha menjawab
dan ketika terkadang menemukan jalan buntu untuk menelurkan jawaban, katakan
pada anak bahwa Anda akan mencari jawabannya. Hilangkan anggapan bahwa anak
cerewet, anak banyak tanya, anak kurang kerjaan.
Kedua,
jadilah orang tua yang sering bertanya “mengapa” juga. Tak dipungkiri bahwa
anak adalah replika atau jiplakan orang tuanya. Jika Anda ingin anak Anda
terasah pola pikirnya, maka semua dimulai dari ayah bundanya. Tak ada salahnya
jika orang tua ketika bermain dan belajar bersama anaknya memulai untuk
bertanya. Misalkan apa yang pernah saya lakukan. “Qowiyy, tahu tidak mengapa
pepaya baik untuk kesehatan?” Mungkin anak tak langsung menjawab. Biarkan saja.
Coba rangsang dengan pertanyaan penggali selanjutnya. “Ehm, mata Qowiyy mengapa
bisa berbinar dan sehat?” Demikian seterusnya. Jika terus diasah dan
dicontohkan, maka anak pun dengan mudah pula akan menirunya. Orang tua juga
bisa bertanya “mengapa” dari dongeng-dongeng yang diceritakan kepada anak-anak
mereka atau ketika mengajak mereka bertafakur alam.
Ketiga,
biasakan ada forum keluarga seminggu atau dua minggu sekali untuk membicarakan
keinginan masing-masing selama waktu itu. Dalam forum, setiap anggota keluarga
bebas mengutarakan dan bahkan bertanya “mengapa” kepada anggota keluarga yang
lain tentang alasan keinginannya. Misalkan, anak dalam seminggu ingin belajar
memasak, maka ayah boleh bertanya,”Mengapa kamu ingin belajar memasak?” Anak pun
berusaha mengutarakan alasannya. Demikian juga anak boleh bertanya hal yang
sama tentang keinginan ayahnya atau yang lainnya.
Keempat,
pujilah setiap kali anak bertanya “mengapa” atau bertanya yang lainnya. Sekali
dipuji maka aka nada pengulangan tindakan yang akan dilakukan anak Anda. Dia
akan terus bertanya. Tentu, hal ini berlaku pula sebaliknya. Ketika anak
berhasil menjawab pertanyaan orang tuanya, maka pujilah perbuatannya itu. Maka,
anak pun akan aktif mengungkapkan jawabannya.
Begitulah! Anda, para
orang tua layak merasa bahagia, ketika kata “mengapa” menjadi kata favorit anak
Anda.
share yang bagus sekali mbak Henny... penting untuk diingat :)
BalasHapusmoga bisa diamalkan bersama-sama ya. alhamdulillah anak saya Qowiyy meski belum terbiasa bertanya mengapa, tapi dia punya kosakata lain yang senada dengan mengapa, yaitu "kok ... sih?", misal kok jalannya gitu sih?
Hapus