”Ketika dilahirkan engkau
menangis dan orang di sekitarmu tertawa. Berbuatlah sesuatu dalam hidup supaya
jika saatnya engkau meninggal, engkau tertawa dan orang di sekitarmu menangis”
(Ali bin Abi Thalib)
Sabtu, 23 Agustus 2008 taujih singkat ini aku hadiahkan ke beberapa
temanku. Kulayangkan dengan penuh kesadaran bahwa itu juga sebagai ketukan
buatku. Tak hanya satu ketukan, namun beberapa ketukan hingga membekas menembus
selaput hatiku. Menyeimbangkan rasa khauf dan roja’ku. Selang beberapa menit,
HP reot punyaku menggemparkan karpet merah tempatku merenung. Begini isi
SMS-nya,
”Aku pinginnya tertawa
bersama Mbak. Gimana Mbak?”
Berkaca-kaca. Lalu tumpah. Tak kusangka, benar-benar di luar zona pikiranku. Jika direnungkan, memang
sama sekali tak ada salahnya. Apalagi disorot dari teropong dakwah umat Islam
saat ini. Segala aktivitasnya hakekatnya mempunyai tujuan yang sama, menyeru manusia
ke jalan-Nya. Surga adalah tempat terakhir, imbalan yang senantiasa
dinanti-nanti. Mereka tak ingin ke sana sendiri. Mati pun inginnya tertawa
bersama. Tertawa bersama orang-orang di hamparan tanah hidupnya. Tertawa karena
sama-sama telah membawa bekal bernilai surga.
Mungkin hal ini pula mengapa akhirnya orang berlomba-lomba dalam kebaikan
di setiap lini kehidupan ini. Orang saling menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran karena tak ingin saudaranya terlantar. Dengan hikmah dan bahasa hati,
orang berkoalisi menyemai benih kemanfaatan, menjadikan yang kecil merasa besar
(maksudnya besar semangat untuk beramal dan beribadah), dan mengencangkan ikat
persaudaraan. Sungguh, jika diresapi begitu indahnya ukhuwah dan dakwah ini.
Surga bukan lagi impian pribadi.
Maka, untuk apa lagi dakwah ini? Tertawa bersama saat mati, menggerakkan kipas kebahagiaan di surga nanti. Satu
lagi, periksa kembali dengan teliti, niat kita sendiri tentang dakwah ini! (Surabaya,
24 Agustus 2008, masaku masih lajang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar