|
Menyusui atau tidak, kasih sayang ibu tiada peri |
Menyapih.
Kata ini yang menjadi fokus saya ketika lebaran ini. Anak kedua saya Agustus
ini usianya sudah menginjak 2 tahun. Berbekal pengalaman sebelumnya menyapih
anak pertama, maka proses menyapih yang sekarang pun dilakukan sesuai dengan
yang sebelumnya. Namun, apa yang terjadi? Saya lupa, bahwa anak itu beda.
Pengalaman memang bisa memberi bekal, tapi tak 100% bisa dijalankan sempurna.
Menyapih
dengan bertahap. Ini yang dulu saya lakukan pada anak pertama saya. Usia 19
bulan sudah saya sounding tentang menyapih. Tidur malam pun sudah tidak menyusu
lagi. Hanya 2 hari saya meladeni amukannya. Dan itu masih dalam batas yang
biasa. Tidak mengganggu tetangga. Menginjak usia 20 bulan, frekuensi menyusu
saya kurangi lagi. Demikian di bulan-bulan berikutnya hingga akhirnya sukses
menyapih si sulung di usia 23 bulan. Selain juga sudah “kesundulan” adiknya lagi di rahim saya.
Anak
kedua, saya perlakukan hal yang sama. Bertahap menyapihnya. Usia 20 bulan saya
coba kurangi malam tidak menyusu lagi. Empat hari baru bisa terkondisikan. Hari
kelima, ternyata saya sakit dan tak mungkin bisa melanjutkan proses menyapih.
Akhirnya si kecil saya susui kembali. Bagaimanapun, menyapih itu melelahkan dan
butuh energi besar. Apalagi kasus anak kedua saya ini. Ketika saya coba sapih
di usia ini ngamuknya luar biasa. Di malam pertama nangis sampai 1,5 jam.
Berhasil minum dari gelas dan tidur dalam gendongan. Ketika diletakkan di kasur,
satu jam sekali sudah bangun. Pegal? Iya. Tapi itulah proses yang harus
dinikmati.
Proses
menyapih bertahap pertama sudah gagal. Saya akhirnya menyusui si kecil lagi
sampai saya pindah rumah. Di rumah baru, saya coba menyapih lagi ketika kondisi
sudah fit. Namun, ketika itu saya lupa kalau ada bapak saya menginap beberapa
hari di rumah dan status saya adalah tetangga baru. Saya mencoba di suatu malam
mengurangi frekuensi menyusu si kecil. Wow! Ngamuknya lebih dahsyat ketika
usianya 20 bulan dulu. Sampai-sampai saya dimarahi bapak saya. Dari kejadian
ini akhirnya saya dan suami sepakat,”Ya udah ntar sajalah!”
Hingga
lebaran tahun ini akan datang. Saya dan suami sepakat memanfaatkan momen
tetangga yang mudik ke kampung untuk menyapih si kecil. Maklum, si kecil ini
tenaganya luar biasa. Kalau nangis teriak-teriak sampai sekomplek bisa dengar.
Bagaimanapun saya harus tetap menjaga adab bertetangga. Sebisa mungkin tidak
mengganggu mereka meski saya sudah ijin ke mereka kalau saya mau menyapih.
Alhasil dua hari sebelum lebaran saya mulai proses mendebarkan ini. Harap-harap
cemas akankah berhasil. Tapi saya optimis, kali ini pasti berhasil. Momen suami
libur lebaran juga menjadi pemantik semangat bahwa menyapih akan lebih mudah
dijalani.
Hari
pertama dan kedua saya mengurangi frekuensi menyusui di pagi sampai sore hari. Saya
tidak mengurangi frekuensinya di malam hari karena malam untuk memaksimalkan I’tikaf.
Lagi pula siang pagi sampai sore bukanlah waktu istirahat, sehingga saya tak
khawatir akan sangat menganggu tetatngga. Dan sudah saya duga kejadiannya lebih
heboh lagi. Si kecil nendang-nendang, “mancal-mancal” sambil nangis dan
berteriak. Saya dekap, gendong, elus-elus lembut masih saja mengamuk. Kadang,
sampai tak kuatnya tangan saya menggendong, saya letakkan si kecil di kasur dan
saya tak melihatnya sebentar sampai kemudian saya angkat lagi tubuhnya. Saya
tawari susu, air putih, cemilan, dsb masih saja menolak. Sampai 1 jam akhirnya
mau. Alhamdulillah bisa tidur cukup lama. Hari kedua merengek dan merontanya
sudah 20 menitan. Namun, biasanya tidur 2 kali, jadinya tidur sekali.
Melihat
efek menyapih di pagi hari sampai sore hingga si kecil doyan makan dan minum,
maka di hari ketiga, pas lebaran, saya dan suami memutuskan menyapih total.
Malam pertama si kecil disapih, tak jauh beda ketika hari pertama siang
disapih. Ditawari susu ditampik, dikasih air putih malah ditaruh di atas
kulkas. Tidur pun harus dengan menggendong. Menghentikan tangisnya harus dengan
menunjukkan sesuatu yang baru. Susu UHT tak lagi langsung disedot dari
kotaknya, tapi ditumpah di gelas. Ditunjukkan suasana malam yang sepi di luar
juga saya lakukan. Sampai suara kucing di atap pun saya pakai untuk
menenangkan. Bahkan, ada katak berloncatan di rumah serta serangga
bergelantungan juga saya gunakan untuk menarik perhatiannya agar bisa tenang.
Ampuh cara ini. Terjaga dari tidur malam hanya dua kali.
Hari
kedua, karena seharian berkelana ke Ragunan, ternyata si kecil malamnya rewel
sekali. Ngamuknya sudah berkurang, namun dua jam sekali terbangun. Tak mau
ditaruh kasur lagi. Minta tidur di gendongan. Alhasil, semalaman saya begadang.
Tidur sebentar-sebentar sambil duduk di kasur, bersandar di bantal. Pagi hari,
lelahnya tiada kira. Untung ada suami yang mau memijat sampai otot-otot tubuh
saya kembali lentur.
Hari
ketiga, keempat, sampai hari ketujuh, alhamdulillah si kecil jauh lebih
terkondisi. Bangun tidur pagi berhasil dialihkan dengan memberinya air
putih/susu dan cemilan. Malam pun sudah bisa tidur dengan tenang. Terjaga hanya
sekali atau dua kali dan bisa tidur kembali dengan cepat. Tak mau digendong
lagi. Masih teringat sih si kecil dengan kata “mimik”, maksudnya mau nyusu,
namun tak lagi mengamuk. Malah si kecil berkata,”Nasywah dah besar ya, nggak mimik
lagi!”
Alhamdulillah.
Apa peran suami saya? He, minimal pas si kecil terjaga dan meminta perhatian
saya, suami saya juga ikut terbangun. Sesekali menggendong dan menenangkan si
kecil, meski si kecil menolak karena maunya sama saya. Suami lah yang
mengambilkan minum dan cemilan untuk mengganti ASI. Dan suami lah yang menjaga
si sulung saya agar tak terjaga tidurnya karena adiknya yang mengamuk dengan
begitu kuatnya.
Menyapih
dengan cinta? Beginilah rasanya. Berjuta perasaan berkecamuk di dada. Rasa iba,
rasa bersalah, cinta, sedih, semuanya. Namun harus dijalani dengan penuh
kesabaran dan kelembutan. Tanpa tipu-tipu, ya!