Selasa, 14 Oktober 2014

Banjirnya Kecil, Hikmahnya Besar

               
Ketika air hujan membanjiri rumah, Qowiyy sebesar ini
              Kehadiran Qowiyy dalam rumah tangga saya memang memberi kebahagiaan. Namun, dibalik semua itu ada kesedihan yang mendalam juga saya rasakan. Ketika Qowiyy berusia 3 bulan terpaksa harus berpisah dengan ayahnya. Ayahnya ke Depok menjalani pekerjaan baru sebagai PNS. Mau nyusul, tapi harus nunggu cukup uang sakunya ke sana. Suami belum digaji. Banting tulang dengan mengisi training sana sisi, syukurlah saya dan Qowiyy akhirnya bisa sampai di Depok.

                Selama 3 bulan Qowiyy tak mendengarkan dongeng dan kidung dari ayahnya. Sebenarnya inilah yang membuat saya sedih. Dan tambah sedih lagi,ketika sampai di Depok, terdengar kabar bahwa suami harus prajab selama 2 minggu. Kondisi kontrakan itu sangat tidak menyenangkan. Setiap hari aku tutup jendela dan tirainya karena di depan kontrakan sering ada anak muda mabuk-mabukan. Dan tiap hari pula aku setel murottal kenceng-kenceng. Belum lagi sebelah kontrakan tepat suka banget nyetel musik keras-keras. Saingan deh!

                Dua minggu itu berjalan sangat lambat dan lama. Dan yang pasti repot sendiri, meski tak serepot sekarang. Bermain sendiri bersama Qowiyy di rumah. Bete karena tak ada kegiatan luar yang bisa membuat waktu berjalan cepat. Selain itu juga ngeri. Belakang kontrakan banyak pohon bambu dan sungai Ciliwung. Saat itu musim penghujan. Kalau angin kencang mengerikan. Berdua sama Qowiyy di kamar dari jelang ashar sampai subuh tiba. Kalau saya mau mandi, Qowiyy yang sudah bisa guling-guling itu dipagari dua bantal.

                Hingga hujan deras itu menyapa malam-malam. Aliran sungai Ciliwung terdengar deras. Saya memeluk Qowiyy biar hangat. Malam terakhir menanti ayahnya pulang keesokan harinya. Tak sabar rasanya malam berlalu dan kami bersama mendidik dan mengasuh Qowiyy. Namun, malam itu benar-benar menguras tenaga saya. Untung, saya membuka pintu kamar dan hendak ke kamar mandi. Air sudah mengalir ke dalam rumah dari pintu belakang. Saya buru-buru mengamankan barang-barang di kamar. Khawatir banjir. Maklum belum punya almari. Semua baju ada di kardus dan semuanya ditaruh di lantai. Saya angkat kardus-kardus itu ke kasur cepat-cepat. Keringat mulai berkucuran. Air semakin mendekati kamar. Qowiyy terbangun dan menangis. Tapi isi rumah juga harus diselamatkan.

                Saya hampir putus asa. Air sudah masuk ke kamar dan ruang tamu. Saya tak tahu bagaimana menghentikan laju air dan banyaknya. Untunglah saya ingat sesuatu. Ya! Lubang air di teras belakang. Saya lupa telah menutupnya dengan ember berisi air karena sorenya keluar tikus besar dari lubang itu dan berkeliaran di dalam rumah. Hi! Ngeri dan menjijikkan.

                Seketika saya menuju teras belakang yang gelap. Saya angkat embernya. Qowiyy meronta-ronta saya biarkan saja. Saya pun langsung membersihkan air yang sudah terlanjur masuk ke dalam rumah. Memeras kain pel sampai berkali sambil terus menghibur Qowiyy yang masih menangis. Ada sekitar 1 jam lebih saya membersihkan rumah. Benar-benar tak bisa meninggalkan si kecil khawatir kotornya rumah malah jadi biang penyakit. Keringat menetes di mana-mana. Baju sudah ikut basah. Air mata pun takkuasa dibendung. Saya menangis. Berharap suami bisa pulang malam itu juga.

                Pukul 22.00 rumah sudah bersih. Saya lihat Qowiyy dia rupanya tertidur sendiri. Dia lelah menangis. Saya pandangi wajahnya tambah membuat saya tak bisa memejamkan mata walaupun sebenarnya saya juga sangat lelah. Saya merenungi kejadian yang baru saja terjadi. Betapa semuanya indah. Menjadi ibu 2 minggu tanpa suami mendidik dan mengasuh anak memang melelahkan. Namun, bahagianya lebih besar. Berjuang yang terbaik untuk anak ketika sendirian makin menyadarkan diri betapa beruntungnya bisa menjadi ibu. Sekaligus mengajarkan kepada anak begitulah hidup sesungguhnya. Ya, bersyukur dengan keadaan yang ada. Untung ya bukan banjir betulan yang besar! 

2 komentar:

  1. Haduh.. terbayang deh Mbak betapa paniknya.. alhamdulillah ya masih bisa teratasi banjirnya..
    Menjadi ibu memang memberikan kebahagiaan yang tak terkira ya, Mbak :)

    BalasHapus
  2. saya juga pernah mengalaminya mak, saat itu usia anak saya 6 bulan. Hanya saja, saya di rumah tdk berdua saja dgn anak, tapi ada suami saya, ibu mertua dan adik ipar karena kebetulan kami sedang di rumah ibu mertua saya.

    BalasHapus